Paparan Desain Revitalisasi Banyak Kekurangan, Kraton Ajukan Masukan dan Pertimbangan
SURAKARTA, iMNews.id – “Status quo” atau posisi yang tidak berubah sebelum ada insiden aksi hendak menggembok Kori Kamandungan, Senin (9/10) lalu, kini sedang berlangsung di Kraton Mataram Surakarta karena “pihak” Sinuhun PB XIII, melalui pengacaranya Ferry Nurwahyu SH mengajukan PK peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) dan menyusul mengajukan gugatan perlawanan eksekusi ke PN Surakarta. Dua jenis proses hukum itu ditempuh, karena ada putusan MA No:87/Pdt.G/2019/PN Skt, Jo No:545/Pdt/2020/PT Smg dan Jo No:1950 K/Pdt/2022 tanggal 29/8/2022 tertanggal 29 Agustus 2022 atas gugatan lima orang.
“Keputusan MA yang akan dieksekusi itu, kami anggap sebagai kemenganan semuanya (dua pihak-Red). Karena, esensi tujuannya adalah untuk menegakkan otoritas kewenangan di kraton, yang menjelaskan bahwa ‘Bebadan Kabinet 2004’ yang resmi atau memiliki legal standing secara hukum, memiliki otoritas yang berlaku di kraton. Tetapi, semangatnya kami ingin bersama-sama pihak Sinuhun untuk bekerja mengelola kraton ini dan melestarikan seni budaya yang ada. Tetapi apa yang terjadi, bulan Agustus 2023 melalui pengacaranya, pihak Sasana Putra malah mengajukan PK karena punya novum (bukti baru-Red),” jelas KPH Edy Wirabhumi saat “ngobrol” dengan iMNews.id, siang tadi.
Tidak hanya itu, lanjut Pimpinan Lembaga Hukum Kraton Surakarta (LHKS) itu, faktanya ada seorang figur keluarga yang diduga sudah lama masih bergerak mengatasnamakan sebagai Pengageng Parentah Kraton, hingga akhirnya memicu insiden saat berlangsung upacara kali pertama gamelan Sekaten ditabuh atau “ungeling gending” Sekaten di Bangsal Pradangga Kidul Masjid Agung, 22 September (iMNews.id, 22/9/2023). Padahal, dengan terbitnya keputusan MA tersebut, “Bebadan Kibinet” bentukan Sinuhun 2017 yang di dalamnya ada “Departemen” Pengageng Parentah Kraton, secara hukum sudah tidak berlaku alias ilegal.
Namun, sebut KPH Edy, karena ada insiden yang mengatasnamakan “Bebadan 2017” dan tetap berusaha mengurusi ritual Sekaten Garebeg Mulud 2023, pihak Pengageng Sasana Wilapa yang juga Lembaga Dewan Adat ingin mendapatkan kepastian hukum atas putusan MA tersebut, yaitu “mohon” dilakukan eksekusi atas putusan tersebut. Senin (9/10) pagi, PN Surakarta mengundang pihak penggugat yang juga didampingi KPH Edy dan pihak tergugat yang diwakili pengacaranya, untuk menjelaskan rencana eksekusi putusan MA tersebut, bertempat di PN setempat.
“Saat sedang mendampingi para keponakan Sinuhun (PB XIII-Red) di PN, saya mendapat telepon dari petugas Polsek, bahwa di kraton sedang terjadi aksi protes dan insiden hendak mengunci kembali (pintu utama) Kori Kamandungan. Sinuhun beralasan mau melakukan ritual atau apa istilahnya, intinya tidak masuk akal. Petugas tersebut bilang, kalau saya tidak segera datang ke kraton, bersitegang antara istri Sinuhun dengan Gusti Timoer, tidak akan segera selesai. Akhirnya saya meluncur ke kraton. Dan dengan duduk bersila, menyembah, saya baru matur. Tidak etis kalau Sinuhun duduk di atas kursi roda, saya matur sambil berdiri di hadapannya,” jelas penanggungjawab perencanaan revitalisasi kraton itu.
Akhirnya, jelas KPH Edy lebih lanjut, setelah dijelaskan dan disarankan semua bisa menahan diri, karena pada intinya putusan MA yang akan dieksekusi itu karena ada alasannya, yaitu dua hal di atas. Padahal, putusan MA atas gugatan lima nama keponakan Sinuhun itu sebenarnya tidak perlu ada eksekusi, karena bukan termasuk keputusan sengketa hak kepemilikan tanah atau bentuk lainnya. Keputusan MA untuk kraton ini, adalah penegasan dan penjelasan mengenai otoritas, tetapi semangat untuk bekerjasama meneruskan kerja adat pelestarian seni budaya dan menjaga kelangsungan kraton, harus dilakukan bersama-sama, semua pihak.
Dengan dua upaya hukum yang dilakukan pihak Sinuhun belakangan ini, disebutkan akan merubah makna “perdamaian” antara kedua pihak yang sudah bersama-sama bertemu Wali Kota, kemudian dijanjikan akan ada bantuan revitalisasi kepada kraton. Meski begitu, secara sepihak Sinuhun melakukan pembahasan soal rencana revitalisasi dengan Wali Kota Surakarta, bahkan sudah sampai tahap paparan desain tanpa melibatkan pihak Lembaga Dewan Adat/Pengageng Sasana Wilapa. Tak hanya sampai di situ, proses berikut sudah sampai lelang pekerjaan proyek, tetapi gagal karena disebut ada ketidaksesuaian.
Melihat perjalanan yang menyimpang jauh, pihak Lembaga Dewan Adat mengirim surat ke Kemen PUPR selaku otoritas pemilik bantuan proyek untuk revitalisasi, untuk memberi masukan berbagai hal, termasuk legal standing penerima proyek bantuan dan berbagai pertimbangan yang mendasar dan esensial proyek revitalisasi itu. LDA yang ditegaskan oleh keputusan MA memiliki legal standing, tetapi malah ditinggal, tak pernah diajak berunding. Padahal, melihat kopi desain perencanaan yang baru saja diberikan setelah tiga kali Kemen PUPR/Wali Kota) disurati, terdapat banyak kekurangan/penyimpangan terutama yang menyangkut esensi kraton sebagai “Living Heritage”.
“Seperti yang sudah banyak diberitakan, setelah Sekaten selesai pekerjaan proyek bisa dimulai. Tetapi, karena ada kabar lelang proyek gagal, maka baru akan dimulai akhir Nobember. Kami banyak memberi masukan. Karena yang terus disebut-sebut pekerjaan proyek revitalisasi akan dimulai adalah Alun-alun Lor dan Kidul, maka kami berikan masukan yang sifatnya akomodatif terhadap perkembangan zaman. Bahwa alun-alun, boleh dilepas pagarnya, diperindah dengan taman dan pedestrian, tetapi harus mempertimbangkan/mengakomodasi bila ada keramaian Sekaten. Karena, di situlah sumber yang bisa menghidupi kraton, juga banyak orang lain,” jelas Ketua Umum Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) itu.
Antara insiden ketegangan yang sudah reda, berkait secara kausal dengan keputusan MA dan rencana revitalisasi, untuk sementara sudah bisa diredakan dan proses lanjutan rencana pengerjaan proyek bisa dilakukan dengan berbagai catatan, antara lain masukan dari Lembaga Dewan Adat. Persoalan kraton yang berkait dengan belum diterima sepenuhnya legal standing “Bebadan Kabinet 2004” yang di dalamnya ada Lembaga Dewan Adat, diharapkan KPH Edy semakin mendapat ruang baik dari pemerintah maupun sebgian masyarakat adat yang terus menentang, karena tujuan idealnya adalah untuk kepentingan bersama. (won-i1).