Tatacara Adat Sesuai Paugeran Tampak Sangat Diperhatikan
SURAKARTA, iMNews,id – Tepat pukul 13.15, gamelan Kiai Guntur Madu yang berada di Bangsal Pradangga Kidul halaman kagungan-dalem Masjid Agung Kraton Mataram Surakarta ditabuh serempak sekuat tenaga hingga terdengar suara “jenggleng”, setelah Gusti Moeng memberi “dhawuh” kepada KRAT Hastonagoro untuk memulai memperdengarkan gamelan Sekaten 2023. Setelah bersama-sama sejumlah sentana dan abdi-dalem Putri Narpa Wandawa mengunyah “kinang” saat “tabuhan” (pukulan-Red) pertama, Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat dan para kerabat “Bebadan Kabinet 2004” itu meninggalkan Masjid Agung.
Gamelan pusaka Sekaten Kiai Guntur Madu terus menyajikan gending “Rambu” hingga selesai atau “suwuk”, lalu para pengrawit yang dipimpin KRAT Hastonagoro beristirahat. Hanya berselang beberapa menit, gamelan Kiai Gutur Sari yang berada di Bangsal Pradangga Lor segera menyusul bersuara “jenggleng” untuk menyajikan gending “Rangkung”. Satu gending berakhir, kemudian bergantian dengan gamelan yang ada di sisi selatan halaman Masjid Agung yang ditabuh, begitu seterusnya silih-berganti diperdengarkan hingga datang waktu salat Ashar.
“Betul, kalau Sekaten kebetulan melewati hari Kamis atau dimulai hari Kamis, harus tetap patuh pada paugeran adat yang sudah ditetapkan Sultan Agung (Raja Mataram ketiga atau Raja Mataram Islam-Red). Kalau kebetulan upacara adat Sekaten mulainya jatuh hari kamis seperti tadi, gamelan hanya boleh ditabuh hingga waktu salat Ashar. Selepas itu tidak boleh ditabuh, sampai datang hari Jumat, besoknya,” ujar Dr Joko Daryanto, seorang abdi-dalem karawitan dari Kantor Pengageng Mandra Budaya, saat dimintai konfirmasi iMNews.id, siang tadi.
Meski dua “pangkon” atau sepasang gamelan Sekaten hanya ditabuh masing-masing dua kali dari pukul 13.25 hingga sekitar pukul 15.00 WIB, itu berarti upacara adat Sekaten 2023 sudah resmi dimulai siang tadi. Tetapi pemandangan secara umum yang sempat dicatat iMNews.id menyebutkan, suasana pembukaan Sekaten 2023 ini jauh menurun dibanding sebelum 5 tahun lalu khususnya sebelum ada pandemi Corona. Itu sangat tampak dari para pengunjung yang lebih sedikit, karena tidak lagi terlihat ibu-ibu dan nenek-nenek mendominasi pengunjung yang berjejal-jejal di halaman masjid untuk mendengar suara gamelan “jenggleng”, lalu mengunyah “kinang” (sirih-Red).
Pemandangan seperti itu tidak tampak di halaman Masjid Agung pada pembukaan “Sekaten Damai” 2023 ini, baik di depan Bangsal Pradangga Kidul maupun Bangsal Pradangga Lor, karena biasanya menjadi pusat konsentrasi pengunjung yang ingin mendengarkan suara “jenggleng” kali pertama dan mengunyah “kinang”. Walau sedikit, pengunjung awal ritual Sekaten tetap ada, tetapi peminatnya sudah bukan generasi masyarakat yang merasa punya “kewajiban” untuk hadir dan “nginang” di awal Sekaten, melainkan usia muda dan anak-anak sekolah yang tadi kelihatan untuk keperluan studinya atau sekadar melihat-lihat.
Pembukaan upacara adat Sekaten 2023 yang perdana atau kali pertama setelah peristiwa “perdamaian” dicapai Sinuhun PB XII dengan adik kandungnya, Gusti Moeng, tanggal 3 Januari 2023, mulai siang tadi dengan pengunjung yang menurun drastis, juga tampak dari para pedagang keperluan saat ritual Sekaten dimulai. Beberapa barang yang banyak dicari pengunjung pada perayaan Sekaten di zaman dulu, adalah barang yang sangat khas, yaitu kinang, yang diyakini bisa membuat awet muda ketika dikunyah hingga memerahkan bibir. Selain itu, nasi liwet, “endhok kamal” (telur asin-Red), wedang ronde untuk kuliner khasnya dan sebagainya.
Sejumlah barang baik yang khas maupun kuliner khas serta mainan anak-anak yang khas seperti pecut, kodok-kodokan, celengan dan sebagainya, hanya terlihat beberapa saja sehingga halaman masjid yang biasanya penuh pedagang pada ritual Sekaten sebelum lima tahun lalau atau sebelum pandemi Corona, tapak masing kosong begitu luas dan longgar. Pandemi yang melanda Tanah Air sekitar 3 tahun, memang sangat melemahkan perekonomian secara umum, khususnya di kelas menangah ke bawah, yang hingga kini malah masih stagnan atau lebih buruk terutama kekuatan daya beli masyarakat.
Suasana seperti itu, juga terlihat di arena pasar malam pendukung Sekaten yang juga disebut “Maleman Sekaten”, baik yang menempati Alun-alun Lor maupun Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa. Di alun-alun memang sudah terisi merata berbagai stand dagang dan jasa hiburan, tetapi tak memperlihatkan bisa menghadirkan pengunjung dalam jumlah yang diharapkan. Banyak di antara stand dagang dan jasa hiburan, juga sudah bermetamorfosa menjadi format dagangan dan jasa modern misalnya jenis-jenis kuliner, jenis-jenis dagangan mainan yang sudah berbahan plastik serta hiburan musik yang rata-rata bukan konsumsi usia di atas 50-an.
Sebelum upacara adat Sekaten dibuka siang tadi, didahului dengan rangkaian upacara persiapan yaitu wilujengan di Bangsal Bale Bang dan Sitinggil Lor, Rabu malam (20/9) yang dipimpin Gusti Moeng sebagai tradisi mirip “midodareni” dalam hajadan menantu, tetapi ritual itu dilakukan malam menjelang upacara adat Sekaten atau sebelum dimulainya menabuh gamelan kali pertama. Wilujengan itu dihadiri para kerabat dan pejabat “Bebadan Kabinet 2004” serta sentana dan abdi-dalem garap. Wilujengan itu digelar untuk memohon doa keselamatan untuk menjalankan tradisi Sekaten, juga semua yang bekerja mempersiapkan segala keperluan Sekaten.
Pekerjaan mempersiapkan segala keperluan Sekaten, termasuk gotong-royong mengusung semua instrumen gamelan Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu yang dilakukan lebih seratus abdi-dalem, yang berlangsung dari ruang penyimpanan gamelan di bangsal Langen Katong menuju Masjid Agung. Pukul 09.00 WIB, gamelan sudah terkumpul di halaman depan Bangsal Marcukunda, dan setelah semua dilengkapi dengan “sangsangan” bunga melati, Gusti Moeng memberi “dhawuh” kepada “tindhih” (koordinator-Red) abdi-dalem KRAT Hastonagoro untuk memimpin para abdi-dalem mengusung gamelan ke Masjid Agung. (won-i1).