Tak Bisa Dibantah Lagi, Mataram Surakarta adalah Kelanjutan Mataram Islam

  • Post author:
  • Post published:September 14, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Tak Bisa Dibantah Lagi, Mataram Surakarta adalah Kelanjutan Mataram Islam
DEWA "BULUS" : Tokoh wayang yang diperlihatkan abdi-dalem RT Suluh Juniarsah Natacarita dalam "ngisis wayang", Rabu siang tadi, nyaris tak pernah didapati di luar kraton. Tokoh Dewa yang juga pendeta unik karena berbadan "kura-kura" atau "bulus" itu bernama "Bedawangan Nala". (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Fakta Banyaknya Aset Peninggalan Sejarah dan Riwayat Pindahnya Kraton

SURAKARTA, iMNews.id – Upacara adat “ngisis wayang” Kamis (14/9) siang tadi dan tiap Anggara Kasih (Selasa Kliwon) yang sudah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun di Kraton Mataram Surakarta, selain sebagai kegiatan tradisi adat yang menjadi ciri kraton sebagai “Living Monumen” juga memberi bukti penting di bidang kesejarahannya. Yaitu memperlihatkan bukti bahwa Kraton Mataram Surakarta adalah kelanjutan dari Mataram Islam yang dideklarasikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645), maupun kelanjutan Kraton Mataram yang didirikan Panembahan Senapati (1588-1601).

“Jadi, dengan melihat koleksi kagungan-dalem ringgit ini saja sudah menjadi bukti, bahwa Mataram Surakarta adalah penerus dan kelanjutan dari Mataram Islam maupun sebelumnya. Karena, banyak sekali aset pusaka peninggalan sejarah dari Mataram Kartasura, yang berada atau dimiliki Mataram Surakarta. Dan, berbagai aset dari Mataram Kartasura, tidak dimiliki Kraton Jogjakarta. Contohnya ringit ini, yang masih tersimpan di dalam 18 kotak. Di antaranya banyak yang dibuat pada zaman Kartasura. Kalau di Jogja, jumlahnya lebih sedikit dan dibuat pada zaman Sultan Hamengku Buwana atau setelah tahun 1755,” tandas kandidat doktor RM Restu Budi Setiawan.

ENAM KIAI SEMAR : Dari satu kotak wayang Kiai Pramukanya yang dikeluarkan dalam ritual “ngisis wayang”, Rabu siang tadi, ada enam sosok tokoh Kiai Semar Badranaya dalam berbagai karakter yang berbeda-beda. Kekayaan seni kriya dan pedalangan luar biasa milik Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

RM Restu Budi Setiawan yang juga Ketua Sanggar Pawiyatan Tata Busana dan Paes Pengantin Jawa Kraton Mataram Surakarta siang tadi ikut sibuk dalam upacara adat “ngisis wayang” pusaka dari kotak Kiai Pramukanya. Badi-dalem yang sering bertugas mencatat jumlah dan kelengkapan saat ritual “ngisis wayang” berlangsung, menggenap sejumlah abdi-dalem dalang dari kantor Pengageng Mandra Budaya yang secara rutin bertugas dan bertanggung-jawab dalam ritual mengangin-anginkan anak wayang seisii kotak koleksi kraton, yang siang tadi ada sekitar 10 orang yang dipimpin RT Suluh Juniarsah Natacarito SSn MSn selaku “tindhih abdi-dalem”.

Menjawab pertanyaan iMNews.id, RM Restu memberikan banyak contoh yang meyakinkan bahwa Kraton Mataram Surakarta merupakan penerus atau kelanjutan dari Mataram Kartasura, Mataram Islam Sultan Agung dan Mataram yang kali pertama didirikan Panembahan Senapati. Pernyataan itu juga dikuatkan dengan penjelasan KPP Wijoyo Adiningrat, seorang sentana-dalem yang menjabat Wakil Pengageng Mandra Budaya, yang termasuk rajin menunggui setiap upacara adat digelar yang menjadi bagian tugas kantor Pengageng Mandra Budaya, misalnya ritual “ngisis wayang”, baik tiap kamis maupun Selasa Kliwon atau Anggara Kasih.

GAYA SISIRAN : Gaya “kepangan” rambut kribo yang trend di kalangan etnis “negro” di berbagai negara dewasa ini, ternyata “mencontoh” tokoh Gareng dan Petruk dari kotak wayang Kiai Pramukanya yang diperlihatkan RM Restu saat ritual “ngisis wayang”, Rabu siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Menurut KPP Wijoyo, selain banyaknya aset budaya bersejarah dimiliki Kraton Mataram Surakarta sebagai bukti kelanjutan Mataram Kartasura maupun Mataram Islam, masih banyak bukti lainnya yang tidak dimiliki kraton-kraton lain misalnya Kraton Jogja, yang sering menyebar informasi melalui dunia maya bahwa. Salah satu bukti itu adalah, peristiwa arak-arakan “boyong kedhaton” beberapa hari sebelum tanggal 17 Sura tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745, untuk memindahkan Ibu Kota Mataram dari Kartasura ke Surakarta, tidak pernah terjadi di Jogja dan tidak pernah ada “boyong kedhaton” dari Kartasura ke Jogja.

Peristiwa “boyong kedhaton” yang dilakukan dengan tatacara upacara adat Jawa yang dilakukan kraton, waktu itu, merupakan simbol perpindahan dari “kediaman” dan pusat pemerintahan lama di Kartasura, ke tempat atau “kediaman” dan pusat pemerintahan baru atau Ibu Kota baru di Surakarta. Oleh KPP Wijoyo, segala tatacara upacara adat yang dilakukan dalam setiap kegiatan kraton, selalu melekat nama Mataram, termasuk “gaya shalawatan”, abdi-dalem ulamanya dan sebagainya. Pindahnya kraton akibat aksi perebutan tahta antara RM Garendi terhadap kekuasaan Sinuhun PB II yang menyebabkan kerusakan besar, karena disertai pembakaran.

GENERASI PENGGANTI: KPP Wijoyo Adiningrat selaku Wakil Pengageng Mandra Budaya berharap agar segera munculgenerasi muda di kraton yang akan menggantikan tugas-tugasnya di kantor Mandra Budaya, seperti ritual “ngisis wayang” Rabu siang tadi. Karena sentana-dalem generasinya sudah lanjut usia, bahkan nyaris habis. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam hasil kajian Dr Purwadi dari Lokantara Pusat di Jogja, pindahnya Kraton Mataram Kartasura ke Surakarta walaupun karena alasan dari sisi spiritual kebatinan kraton yang sudah dirusak/terbakar dianggap memiliki “angsar” atau keberuntungan yang tidak baik. Tetapi dari sisi lain, sebenarnya Sinuhun PB II memang ingin memindahkan kraton di Surakarta sementara Kartasura akan dijadikan istana kedua. Para pendahulu Sinuhun PB II selalu mendirikan istana lebih dari satu untuk berbagai kebutuhan mendukung tugas pemerintahannya, misalnya Pesanggrahan Tegalganda (Delanggu-Klaten) dan Istana Pamase, Banyumas pada zaman Sinuhun Amangkurat Agung.

Ritual “ngisis wayang” selain memperlihatkan contoh-contoh yang meyakinkan bahwa Mataram Surakarta penerus Mataram Sultan Agung, juga terkait dalam peristiwa Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 yang membuktikan bahwa Sinuhun PB III tidak ada dalam perjanjian antara Nicholas Hartings selaku wakil Belanda dan Pangeran Mangkubumi. Karena yang bertandatangan di situ Sultan Paku Buwana yang ternyata Pangeran Mangkubumi yang menggunakan nama “Paku Buwana” tetapi di depannya “Sultan”, lalu ditegur Gubernur Jenderal Belanda agar tidak menggunakan nama “Paku Buwana”.

PENINGGALAN MATARAM : Koleksi wayang Kraton Mataram Surakarta yang jumlahnya 18 kotak, seperti Kiai Pramukanya, adalah peninggalan peradaban Mataram yang harus dijaga kelestariannya, agar berumur lebih panjang lagi dan bisa disaksikan generasi anak-cucu ratusan tahun nanti. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Yang jelas, Sinuhun PB III ketika memberikan lokasi yang kemudian dibangun Kraton Jogja dan pusaka Ki Kopek, sama sekali tidak menyebut ‘palihan nagari’ atau ‘palihan budaya’. Itu terbukti, hampir semua aset pusaka peninggalan sejarah yang ada di Kartasura, berada di Mataram Surakarta. Aset wayangnya saja, mikik Mataram Surakarta komplet sekali dan lebih banyak dibanding milik Jogja. Dan wayang yang dibuat dari Kartasura, misalnya Kiai Pramukanya dan Kiai Banjed Nem itu, menjadi babon atau masterpiece wayang gagrag Surakarta yang dijadikan kiblat seniman pedalangan dan kriya wayang di luar kraton hingga kini,” sebut RM Restu.

Sementara itu, ritual “ngisis wayang” yang selalu menjadi tugas abdi-dalem “serabutan” seperti KRT Rawang Gumilar Lebdadipura itu, segera berakhir pada pukul 12.00 WIB, karena bisa dimulai pukul 10.00 WIB dan sempat ditunggui sebentar Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat. Sejak Gusti Moeng bekerja kembali di dalam, kotak anak wayang Kiai Pramukanya, sudah dua kali dikeluarkan dalam ritual yang sama sejak yang pertama di bulan Mei. Tetapi 28 anak wayang yang rusak dari 313 anak wayang isi kotak, belum bisa diperbaiki, karena untuk mereparasinya harus dikerjakan di dalam kraton. (won-i1).