Mataram Surakarta, “Negara” Pertama yang Mengakui Kemerdekaan RI
IMNEWS.ID – BULAN Agustus baru saja berlalu. Bulan itu, bisa disebut bulan “puncak berkah”, karena di tahun 1945 Tuhan YME Allah SWT memberi berkah yang luar biasa kepada bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan bangsa di Nusantara ini serta terbentuknya Negara Kesatuan RI (NKRI). Tiap tahun, bulan “puncak berkah” itu diperingati segenap bangsa ini dengan berbagai kegiatan dengan penuh syukur kepada Sang Khalik, yang selalu mengingatkan kepada bangsa ini untuk bersyukur atas kemerdekaan dan terbentuknya sebuah negara berdaulat, wadah dari segala macam suku yang tersebar dan terbentang di Nusantara.
Namun, sudah selama 78 tahun bangsa dan negara ini terbentuk serta memperingati momentum 17 Agustus 1945 sebagai “puncak berkah” itu, sepertinya ada kurang atau terlupakan dari peristiwa gegap-gempita dan hiruk-pikuknya peringatan dan perayaan Kemerdekaan RI. Karena, bangsa dan negara ini tak pernah terus-terang dan jujur menegaskan bangsa dan negara ini terbentuk dari unsur apa? dan ada apa dan siapa saja sebelum bangsa dan NKRI terbentuk?. Bangsa dan negara ini seakan-akan meyakini, yang dirintis dan diperjuangkan sampai titik Proklamasi Kemerdekaan 17/8/45 ada begitu saja tanpa ada asal-usulnya.
Para pemimpin bangsa ini “sengaja lupa” menjelasakan secara terus-terang dan jujur, bahwa 17 ribu pula yang dihuni 250-an kraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat yang terbentang di Nusantara itu, adalah pemilik sah seluruh wilayah di Nusantara yang sudah sejak ratusan tahun lalu eksis, sebelum momentum 17 Agustus 1945. Mereka itulah yang berkorban menyumbangkan wilayah dan kedaulatannya untuk membentuk bangsa Indonesia dan NKRI. Mereka adalah “negara-negara kecil yang bersifat monarki”, yang rela berkorban untuk NKRI dan menyumbangkan budayanya sebagai identitas dan cirikhas bangsa Indonesia.
Dan “nagari” atau “negara” Mataram Surakarta (1745-1945), adalah “negara” pertama yang menyatakan mengakui dan mendukung lahirnya NKRI, karena Sinuhun PB XII mengirim telegram ucapan selamat kepada Presiden Soekarno, tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah peristiwa proklamasi Proklamasi Kemerdekaan RI. Peristiwa penting 18 Agustus 1945 itu, segera disambut Presiden Soekarno dengan jawaban berupa “Piagam Kedudukan” yang diterbitkan pemerintah dan ditandatangani presiden, tanggal 19 Agustus 1945. Ini adalah rangkaian peristiwa penting yang berkait antara eksistensi NKRI dan “nagari” Mataram Surakarta.
Rangkaian peristiwa berikutnya, adalah jawaban tegas “nagari” Mataram Surakarta yang disampaikan Sinuhun PB XII selaku kepala negara, pemimpin adat sekaligus pemimpin agama yang tentu telah mendapat masukan/pertimbangan dari lembaga Kepatihan, yaitu berupa “Maklumat SP Sinuhun PB XII” tanggal 1 September 1945. Maklumat Sri Paduka (SP) Sinuhun PB XII (1/9/45) ini, menggarisbawahi sekaligus “mengamini” atas keputusan Presiden Soekarno melalui “Piagam Kedudukan” tanggal 19 Agustus, yang inti penting esensi isinya berupa pengakuan pemerintah atas Provinsi Daerah Istimewa Surakarta.
“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan : Ingkang Sinohoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono Senopati Ing Ngalogo Abdoerrahman Sajidin Panotogomo, Ingkang Kaping XII ing Soerakarta Hadiningrat. pada kedoedoekannja dengan kepertjajaan, bahwa Seri (Sri-Red) Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan Repoeblik Indonesia….”. Itulah inti isi “Piagam Kedudukan” dari presiden, 19 Agustus 1945, sebagai jawaban atau “ucapan terimakasih” pemerintah kepada Sinuhun PB XII atas nama kraton yang telah “mengakui” dan “mendukung” Kemerdekaan RI.
Melalui “Piagam Kedudukan” itu, presiden hendak menegaskan bahwa Kraton Surakarta dan Sinuhun PB XII tetap pada kedudukannya sebagai “Raja” di kraton “wilayah Surakarta”. Piagam kedudukan juga diberikan kepada SP Mangkoenagoro VIII atas wilayahnya. Dua piagam kedudukan itu diberikan secara terpisah dan seolah-olah kedudukan antara keduanya sama, karena diduga ada salah persepsi dan cara pandang atau diduga hanya mengikuti saja kondisi yang ada saat itu, karena selama penjajahan Jepang (1942-1945), keduanya diperlakukan dalam kedudukan yang sama sebagai “Kochi” atau daerah istimewa, pemerintahannya disebut “Kooti”.
Sedangkan “Maklumat SP Sinuhun PB XII” tanggal 1 September 1945 sebagai tanggapan atas “Piagam Kedudukan” dari Presiden Soekarno itu, ada 4 poin yang antara lain menegaskan bahwa “Negeri Soerakarta jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Repoeblik Indonesia, dan berdiri di belakang Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia” (poin pertama). Kemudian Sinuhun menegaskan, “Perhoeboengan antara Negeri Soerakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia bersifat langsoeng” (poin ketiga).
Beberapa hal di atas muncul dalam forum diskusi membahas “Maklumat SP Sinuhun PB XII” tanggal 1 September 1945 yang diinisiasi Komunitas Societeit Surakarta (KSS) bersama Kraton Mataram Surakarta bertempat di Bangsal Smarakata, belum lama ini (iMNews.id, 3/9/2023). Diskusi yang digelar dalam rangka peringatan momentum 1 September, diisi RM Restu Budi Setiawan selaku pengantar diskusi sekaligus pembicara, yang menurutnya, walau diskusi digelar Minggu 3 September, tetapi makna tanggal 1 September 1945 juga sama pentingnya untuk diperingati, karena menjadi rangkaian dari peristiwa 17 Agustus 1945.
Selain kandidat doktor RM Restu selaku senior di KSS, ada Dani Saptoni SS selaku koordinator KSS berbicara sebagai narasumber, begitu juga KPH Edy Wirabhumi selaku tuan rumah yang menggantikan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat Kraton Surakarta) karena tidak bisa hadir. Beberapa sumber seperti dari peneliti sejarah Lokantara Pusat, Dr Purwadi (Ketua), buku “Suara Nurani Kraton Surakarta” (Dr Sri Juari Santosa), buku “Propinsi Daerah Istimewa Surakarta” (Julianto Ibrahim SS MHum) juga banyak memperkaya data pada tulisan ini. (Won Poerwono-bersambung/i1)