“Presiden Soekarno Pindah ke Jogja, Sutan Syahrir Pindah ke Surakarta”
SURAKARTA, iMNews.id – Setelah suasana peringatan kemerdekaan RI atau 17-an lewat, bagi keluarga besar Kraton Mataram Surakarta tidak hanya sampai di situ untuk mengenang dan memperingati “pengorbanan besar” yang telah dilakukan Sinuhun PB XII beserta kelembagaan “nagari” Mataram Surakarta yang dipimpinnya pada 17 Agustus 1945 itu. Tanggal 1 September Sinuhun PB XII menerbitkan “Maklumat Sunan PB XII” sebagai wujud komitmen Raja Mataram Surakarta itu terhadap keputusan Presiden Soekarno atas kepala pemerintahan NKRI yang telah menerbitkan “Piagam Kedudukan” Presiden Soekarno, 19 Agustus.
“Jadi jangan salah, Piagam Kedudukan itu bukan atas nama pribadi Presiden Soekarno. Tetapi juga atas nama atau mewakili pemerintahan NKRI, meskipun pada saat itu susunan kabinet pemerintahan belum lengkap. Jadi, selain Ir Soekarno sebagai Presiden RI, pengakuan atas kedudukan Kraton Surakarta itu juga diberikan sebagai wakil ata atas nama pemerintah NKRI,” tandas KPH Edy Wirabhumi yang mendapat kesempatan berbicara dalam diskusi sejarah yang digelar di Bangsal Smarakata, Kraton Mataram Surakarta, Minggu (3/9) siang tadi.

Forum diskusi sejarah yang diinisiasi Komunitas Societeit Surakarta, siang tadi, diikuti sekitar 20 anggota komunitas bersama dua anggota seniornya, yaitu Dani Saptoni SS selaku koordinator komunitas dan RM Restu Budi Setiawan yang bergiliran berbicara sebagai narasumber. Sebagai tuan rumah, KPH Edy Wirabhumi hadir mewakili GKR Wandansari Koes Moertiyah (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat) ikut mendapat kesempatan berbicara dan menerima lukisan foto Sinuhun PB XII waktu mengikuti KMB di Den Haag, September 1949. Peneliti sejarah dari Lokantara, Dr Purwadi, juga hadir sebagai peserta.
Menurut RM Restu Budi Setiawan yang mendapat giliran pertama berbicara, menyebut bahwa tampilnya Sinuhun PB XII di sekitar peristiwa kemerdekaan RI atau dua bulan sebelum 17 Agustus 1945 itu, disebut sebagai raja yang mendapat tantangan yang sangat besar di zaman perubahan setelah perang dunia (PD) II. Selain itu, situasi dan kondisi internal “nagari” Mataram Surakarta saaat PB XII hendak tampil menggantikan ayahandanya, PB XI, juga tidak kondusif karena ada sebagian keluarga yang tidak menghendakinya.

Dalam usia yang sangat muda, yaitu 20 tahun, Sinuhun PB XII tampil sebagai raja sekaligus kepala pemerintahan, tetapi baru dua bulan jumeneng nata, suasana sosial politik berubah drastis dengan datangnya peristiwa 17 Agustus 1945. Kalangan anggota BPUPKI yang berjumlah lebih 60 orang dan separonya berasal dari Kraton Mataram Surakarta, sempat bertanya kepada tentara Jepang, waktu itu, apakah semua yang berkait dengan “nagari” Mataram Surakarta akan dikembalikan pada posisi semula kalau (Jepang) kalah perang dengan sekutu?.
Tetapi, katanya, sebelum jawaban diberikan pihak Jepang, datanglah berita duka atas wafatnya Sinuhun PB XI, raja yang telah “menyumbang” sejumlah kerabatnya yang terdiri dari dokter dan para pemikir di BPUPKI itu. Suasana menjelang 17 Agustus benar-benar tak ada yang bisa dijadikan pedoman bertindak, di saat “nagari” Mataram Surakarta kehilangan “komando” karena Sinuhun PB XI wafat. Di saat “chaos” seperti itulah, BPUPKI tiba-tiba “diganti” menjadi PPKI, sebagian besar nama tokoh dari kraton hilang dari sana, dan dengan “spontan” proklamasi 17/8/45 terjadi, atas dorongan kalangan pemuda yang sudah tidak sabar.

“Jadi, peristiwa 17 Agustus 1945 itu murni sebagai spontanitas yang tidak pernah diduga dan direncanakan. karena PPKI belum pernah bersidang sekalipun. Sidang pertama baru dilakukan pada tanggal 18 Agustus. Dan di tanggal 18 Agustus itu, Sinuhun PB XII mengirim surat telegram untuk mengucapkan selamat kepada Presiden Soekarno, atas kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan. Jadi, Sinuhun PB XII dan nagari Mataram Surakarta yang dipimpinnya, adalah yang pertama menyatakan mengakui dan mendukung lahirnya RI atau NKRI. Karena Mataram Surakarta adalah ‘nagari’, maka dialah negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI,” sebut RM Restu.
Dalam tanya jawab yang dibuka, ada tiga peserta diskusi yang menanyakan soal, nasib Provinsi Daerah Istimewa Surakarta, bagaimana sikap Kraton Surakarta menghadapi zaman, bagaimana sikap kraton dalam posisinya sebagai masyarakat adat hingga masalah rencana revitalisasi kraton yang belakangan banyak memunculkan silang pendapat di medsos mempersoalkan pernyattan Wali Kota Surakarta yang bersama Sinuhun dan pengikutnya membahas revitalisasi itu. Merespon beberapa pertanyaan itu, Dani Saptoni berusaha menjawab dan memberi pemikiran, begitu pula KPH Edy Wirabhumi dan RM Restu.

Dani Saptoni mangajak kalangan anggota komunitasnya untuk membangun narasi yang benar tentang Surakarta, berdasarkan fakta dan data sejarah yang berkekuatan keilmuan, untuk memberikan keseimbangan atau meluruskan apa yang selama ini menghiasi dunia maya medsos tetapi sulit dipertanggungjawabkan kebenaran ilmiahnya. Sementara, KPH Edy berharap kalangan Komunitas Societeit Surakarta ikut bersama-sama kraton menjawab tantangan zaman yang kini dihadapi, karena menurutnya kraton akan tetap bermartabat apabila tetap mempertahankan identitas adatnya, tetapi pikirannya jauh ke depan mengikuti perkembangan zaman.
Sementara itu, di luar forum Dr Purwadi menyatakan, forum-forum diskusi seperti itu perlu terus digelar lebih intensif dan lebih luas. Dan dalam menyinggung materi bahasa diskusi, Maklumat Sinuhun PB XII berkait dengan banyak hal yang menyangkut eksistensi kraton dan pengorbanannya. Tetapi, berbicara soal pindahnya “Ibu Kota” ke Jogja, menurutnya hanya Presiden Soekarno dan staf yang ke situ, karena pemerintahan yang dipimpin Sutan Syahrir selaku Perdana Menteri, bersama para menterinya pindah ke Surakarta dan berkantor di Java Bank yang kini menjadi Kantor BI, kini di Jalan Jenderal Soedirman. (won-i1).