Forum Diskusi “Tiban” Membuat Wayang Bisa “Bercerita” Tentang Masa Lalu
IMNEWS.ID – DALAM pentas pakeliran terutama wayang kulit “Purwa” yang banyak menyajikan lakon-lakon dari Mahabharata yang diadaptasi dalam sejumlah karya sastra para Pujangga sejak zaman Kediri (abad 12), Majapahit (abad 14) hingga zaman Mataram Surakarta (1745-1945), sering digunakan para figur dalang untuk melukiskan suasana kehidupan pada zamannya atau di lain zaman. Pada perkembangannya, seni pertunjukan wayang kulit diandalkan sebagai media penyampaian message tentang apa saja, termasuk sebagai saluran kritik sosial atau pendapat publik dari masyarakat atau rakyat yang “diwakilinya”.
Makna yang bisa banyak lahir setelah sekotak anak wayang dimainkan seorang figur seniman dalang dalam seni pertunjukan wayang kulit, adalah bukti sisi keunggulan tersendiri karya seni kriya tatah sungging wayang kulit. Di tangan dalang, wayang yang “disimping” atau digelar di atas “gedebog” (batang pohon pisang) di sisi kanan dan kiri, bahkan yang masih di dalam kotak bisa memberikan makna banyak sekali ketika sudah dituturkan dalam rangkaian cerita yang ada, dalam dimensi kehidupan masa lalu, kini bahkan mendatang.
Bila sudah difungsikan sebagai alat utama dalam seni pertunjukan wayang kulit, kisah dan cerita yang akan muncul dari karya seni kriya wayang sangat tergantung dari bingkai lakon dan sosok figur dalangnya. Karena, sebagai media ekspresi dan alat komunikasi, wayang bisa menyampaikan pesan apa saja, termasuk situasi dan kondisi kehidupan kekinian yang mencakup semua sendi kehidupan. Karena segala elemen dan alat perlengkapan seni pertunjukan wayang ketika sudah digelar sebagai satu-kesatuan karya seni, direpresentasikan sebagai realita alam “jagad” yang “gumelar”, lengkap dengan segala isi dan persoalan makhluk yang hidup di atas bumi.
Itu adalah penjelasan tentang hebatnya karya seni kriya wayang kulit karena punya banyak sisi keunggulan, apalagi ketika sudah tersaji dalam seni pertunjukan ringgit wacucal, lengkap dengan insrtumen iringan, perlengkapan tata rupa pentas, seniman karawitan pengiring, termasuk figur-figur pesinden, kemudian adanya komponen yaitu para penonton yang menjadi apresian dan audience-nya. Oleh sebab itu, dari sekotak wayang kulit Kiai Mangu atau belasan kotak wayang pusaka lainnnya di Kraton Mataram Surakarta, akan bisa memberi banyak penjelasan ketika dikeluarkan dalam ritual “ngisis wayang”.
Dan penjelasan itu terlahir ketika terjadi diskusi kecil yang sering terjadi saat ritual “ngisis wayang” digelar setiap Anggara Kasih untuk wayang pusaka kelas “Kanjeng Kiai” dan wayang pusaka kelas “Kiai” misalnya “wayang padintenan” atau “wayang para” Kiai Mangu yang diritualkan pada Kamis (22/6) lalu. Diskusi itu tak pernah dirancang tetapi secara spontanitas atau “tiba-tiba” terjadi saat Gusti Moeng, sudah duduk di ambang pintu “gedhong” Sasana Handrawina, baik sambil memegang anak wayang yang menjadi tokoh favorit tiap kotak yang dikeluarkan atau tidak.
Forum diskusi “tiban” saat Gusti Moeng menikmati waktu jeda menunggu durasi mengangini anak wayang itulah, yang telah banyak memaknai karya seni kriya wayang kulit ketika keluar dari kotak untuk keperluan ritual “ngisis wayang”. Karena Dr Purwadi (peneliti sejarah dari Lokantara Pusat-Jogja), empu dalang wayang Gedhog Ki KRT Dr Bambang Suwarno, Ki Rudy Wiratama (kandidat doktor FIB UGM), RM Restu Budi Setiawan (kandidat doktor UNS), Ki RT Suluh Nata Adipura SSn MA, Ki RT Purnomo Carito Adipuro, KPP Wijoyo Adiningrat (Wakil Pengageng Mandra Budaya), KP KP Purwo Taruwinoto (Sekretaris Pengageng Mandra Budaya) sering hadir bersamaan, walau “tanpa diundang”.
Fosrum diskusi ringan dan segar yang secara tiba-tiba terjadi, misalnya ketika Gusti Moeng membawa keluar beberapa anak wayang menonjol didari kotak Kiai Mangu berupa anak wayang yang melukiskan aneka tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, tanaman sayur-mayur dan sebagainya. Ki KRT Dr Bambang Suwarno yang juga pakar seni kriya tatah sungging, menunjukkan kekayaan ragam yang melukiskan kekayaan alam Nusantara di bumi Mataram Surakarta atau Tanah Jawa, yang ternyata sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Misalnya tanaman buah sawo, buah siwalan, kolang-kaling, tanaman lombok, tomat, mentimun, waluh dan sebagainya.
Dari contoh-contoh wayang yang dibawa keluar Gusti Moeng di forum “jagongan” itu, secara tidak langsung menjelaskan bahwa sejak masa lampau nenek moyang leluhur kita sudah menunjukkan betapa kayanya bumi Nusantara ini. Kekayaan aneka ragam tumbuh-tumbuhan yang lengkap, telah memberi penghidupan melimpah kepada manusia yang tinggal di sekitar/lingkungan itu. Segala informasi tentang wujud wayang yang diulas dan dibahas di forum diskusi “tiban” itu, secara tidak langsung mengungkap bahwa, teknologi budidaya pengembangan tanaman pangan sudah ada sejak pemerintahan Mataram baik saat di Kartasura maupun Surakarta, atau bahkan jauh sebelum itu.
“Kalau, dari Serat Centhini karya Sinuhun PB V (1820-1823) sudah menyebut ada lebih dari 300 jenis karya menu kuliner, itu berarti ilmu pengetahuan tentang kuliner di zaman Mataram terutama mulai Kartasura, sudah sangat tinggi dan berkembang pesat. Itu juga berarti, pengetahuan dan teknologi budidaya tanaman pangan sudah berkembang pesat. Dan mulai saat Sinuhun PB II masih di Ibu Kota Kartasura itu, produk kuliner asli dan khas Jawa, sudah dikembangkan dan sangat banyak jumlahnya. Kuliner khas itu lalu berkembang ke mana-mana, termasuk di Jogja dan di berbagai daerah yang sangat mungkin berubah nama sesuai kekhasan daerahnya,” tandas Dr Purwadi.
Berbagai data informasi tentang kekayaan kuliner asli Jawa yang tereksplorasi dari “ngisis wayang” itu, seakan berkaitan dengan tema sebuah forum workshop “Pengembangan Kapasitas SDM Usaha Mikro Melalui Vokasi di Sektor Kuliner” yang diinisiasi Dinas KUKMP Kabupaten Sukoharjo dan Deputi Bidang Usaha Mikro Kemenkop UKM di Hotel Solio Surakarta, 6-8 Mei. Gusti Moeng dihadirkan untuk berbicara di situ, karena tema kuliner yang diangkat adalah “Ayam Panggang Daun Talas” sebagai salah satu kuliner khas kraton yang sudah diperkenalkan Sinuhun PB II waktu Kraton Mataram masih di Ibu Kota Kartasura sampai tahun 1745. (Won Poerwono-bersambung/1)