“Hamemayu-hayuning Bawana” Juga Bermakna Menjaga Keseimbangan Alam
IMNEWS.ID – BILA dipahami lebih dalam, makna dari “prasetya” pertama dari “Tri Prasetya” yang ditegaskan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma dalam kalimat “Hamemayu-hayuning Bawana”, sangat dekat dengan makna keselaran kehidupan atau keseimbangan alam semesta di jagad raya ini mutlak perlu dijaga. Karena, komposisi kehidupan di alam terbuka di jagad ini tidak bisa menekan atau memperkecil atau mengalahkan antara satu komponen isi dari komponen isi yang lain. Ketika komponen isi alam di jagad ini tidak seimbang, maka yang terjadi adalah bencana.
Sudah banyak analisis dan kajian ilmiah terhadap adanya sebuah percobaan teknologi sebagai terapan dari ilmu yang dikembangkan, kemudian menyebabkan atau menginginkan adanya perubahan, hasilnya di satu sisi ada hasil positif yang bermanfaat bagi manusia. Tetapi di sisi lain, pasti ada ekses negatif yang mempengaruhi komposisi atau keseimbangan alam jagad ini, yang pada gilirannya merugikan kehidupan, walah prosesnya tidak terasa dan sedikit demi sedikit dalam waktu yang panjang.
Efek rumah kaca sebagai bukti kemajuan teknologi di bidang konstruksi bangunan, sudah terbukti meningkatkan temperatur udara global yang telah mencairkan alam bersalju di beberapa benua, yang pada gilirannya telah menambah volume air laut hingga meningkatkan tinggi permukaan air laut, yang paga gilirannya menyebabkan genangan banjir atau rob. Genangan banjir akibat tinggi permukaan air laut meningkat dalam dua dekade ini, sudah dirasakan di beberapa daerah di Tanah Air, antara lain wilayah Kota Semarang dan sekitarnya, Kabupaten Pekalongan dan sekitarnya.
Pemanasan global atau meningkatnya suhu udara di tempat terbuka, memang bukan hanya disebabkan teknologi rumah kaca, tetapi ada beberapa faktor lain yang menyebabkanya. Meningkatnya gas pembuangan knalpot berbagai jenis kendaraan, gas buang proses produksi berbagai pabrik dan industri serta semakin berkurangnya luas hutan yang fungsinya menahan sinar matahari dan meredam suhu udara, juga ikut andil. Kebakaran hutan di negara-negara tropis seperti di Indonesia, selain pengurangan luas wilayah hutan akibat alih fungsi dan pertambangan, jelas berpengaruh pada peningkatan suhu permukaan bumi.
Peristiwa tanam bersama bibit pohon Sawo Kecik di tempat peribadatan umat Budha di Taman Maha Bodhi milik KP Ricky Suryo Prakoso, Sabtu (3/6), memang bukan untuk menjawab perubahan iklim global atau menanggulangi secara langsung perubahan komposisi isi alam di jagad ini atau terganggunya keseimbangan alam dan keselarasan kehidupan. Namun, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa ingin mencoba mewujudkan salah satu kalimat dari “wewaler” yang pernah ditandaskan Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma dalam peringatan “Tri Prasetya”.
Gusti Moeng ingin mewujudkan salah satu tugas dan tanggung jawab Kraton Mataram Surakarta dengan menginisiasi menyumbang bibit pohon Sawo Kecik di tempat peribadatan di Taman Maha Bodhi yang ada di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Magelang, sore itu, sebagai wujud nyata sumbangan kraton kepada warga peradaban secara luas. Satu sisi merupakan tugas dan kewajiban kraton untuk memenuhi fungsi Mataram Islam yang “rahmatan lil ‘alamin” bagi umat Budha, di sisi lain adalah memperlihatkan contoh edukasi dalam banyak makna selain “nyebar kabecikan” atau menebar kebajikan.
Salah satu makna selain menebar atau menanam kebaikan sesuai makna harafiah “Sarwa Becik”, adalah edukasi tentang kebiasaan menanam pohon untuk tujuan mengembalikan keseimbangan komposisi isi alam di jagad ini, setelah dalam waktu berabad-abad manusia seakan dibiarkan menebang pohon dan merusak hutan karena berbagai alasan dalam kehidupannya. Ini menjadi “wewaler” sekaligus “pepeling” yang mengedukasi warga peradaban secara luas di zaman apapun sampai kapanpun, bahwa kehidupan khususnya manusia harus menjadi pihak paling utama untuk selalu menjaga keseimbangan komposisi isi alam itu.
“Prasetya dari ‘wewaler’ yang pertama itu sangat mendesak dan penting untuk selalu diedukasi dan diwujudkan oleh kita ini. Kapanpun, di zaman apapun dan sampai kapanpun, pepeling itu harus terus diedukasi dan diwujudkan. Itu artinya, nenek moyang kita, dalam hal ini Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, sudah lebih dari 300 tahun lalu memberi peringatan kepada kalangan anak-cucunya, termasuk bangsa ini. Itulah pemimpin sesungguhnya, yang punya visi harapan suasana kehidupan ideal jauh ke depan. Jadi, perusakan lingkungan alam bumi kita ini, sejak dulu tidak dibenarkan,” tegas Gusti Moeng.
Setelah “wewaler” atau “pepeling” pertama yang berbunyi “Hamemayu-hayuning Bawana, penerima penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award di Jepang tahun 2012 itu menyebut, “wewaler” atau “pepeling” kedua dari Tri Prasetya yang berbunyi “Mangisis Eseming Budi” juga sangat penting. Sebagai seorang raja, kepala pemerintahan dan pemimpin agama, Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma sangat memahami dan mewujudkan makna dari kalimat yang secara harafiah berbunyi “selalu menebar senyum yang terpancar dari paduan hati dan pikirannya”, ketika menghadapi masalah dan menyelesaikan persoalan seberat apapun.
Ketika dianalisis lebih dalam, cara-cara menerima masalah dan menyelesaikannya tanpa amarah dan emosi, tetapi dengan sikap teduh dan ucapan yang menenangkan itu, sangat mirip dengan ajaran-ajaran yang dipelajari di lingkungan umat Budha. Oleh sebab itu, peringatan Hari Raya Waisak yang dirayakan umat Budha keluarga besar MUNI bersama Kraton Mataram Surakarta yang diinisiasi bersama oleh KP Ricky Suryo Prakosa selaku CEO PT Meccaya dan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat, merupakan gagasan yang cerdas sekali ketika menyumbangkan bibit pohon “Sarwa Becik”. (Won Poerwono-bersambung/i1)