Ekspor Mebel Ukir Jepara Pernah “Terdesak” Perkembangan Dagang Kudus
IMNEWS.ID – SETELAH Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645) berhasil memotong “persekongkolan dagang” antara kelompok sisa-sisa kekuatan (dagang) Bupati Jipang Arya Penangsang dengan para saudagar pendatang (China dan Teluk Persia) yang berbasis di Kudus, kegiatan ekspor berbagai jenis komoditas termasuk mebel ukir Jepara kembali lancar melalui pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai utara hingga Tanjung Perak (Surabaya). Persaingan dagang yang diciptakan oleh persekongkolan itu, sangat merugikan Jepara dan pelabuhan-pelabuhan di sekitar wilayah Muria dan pantai utara hingga Surabaya, karena semua dialihkan melalui pelabuhan Tanjung Priok.
Sebagai sebuah analisis dari temuan peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi tentang beberapa hal di atas, menjadi masuk akal ketika Sultan Agung mengirim kekuatan pasukannya untuk menghadang pasukan asing (Belanda, Portugis dsb) yang membonceng para pedagang dari Eropa dan Asia (China, Teluk Persia dsb). Aktivitas dagang yang semakin terpusat di Tanjung Priok, sangat merugikan sejumlah industri yang berbasis budaya seperti Jepara dalam waktu yang lumayan panjang, termasuk juga mengurangi pemasukan pelabuhan-pelabuhan yang dikelola Ratu Emas, seorang putri Bupati Purboyo (Kabupaten Lamongan-waktu itu), yang tak lain adalah permaisuri Sinuhun PB II (1727-1749).
Analisisi berikut bisa menjelaskan, bahwa dinamika sosial dan politik yang sangat fluktuatif dari zaman ke zaman yang cukup panjang termasuk persekongkolan dagang Arya Penangsang di Kudus, telah menyurutkan tonggak-tonggak aktivitas ekonomi yang pernah dipancangkan Ratu Kalinyamat bersama sang suami, Pangeran Hadirin. Peran Ratu Emas yang bisa dipersepsikan sebagai representasi “negara” dan pemerintah Mataram Kartasura (waktu itu-Red), jelas disemangati oleh tindakan tegas Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengembalikakan fungsi-fungsi beberapa pelabuhan hingga Tanjung Perak, dalam rangka melindungi berbagai sumber penghidupan kaum pribumi.
Dinamika Politik Krusial
Hal-hal yang termasuk tajam ke dalam dan krusial seperti itu, memang tidak dilontarkan Dr Purwadi dalam “Jagong Budaya” atau sarasehan yang digelar di halaman Padepokan Seni Hadipuran, untuk memaknai dan melengkapi event “Peringatan Haul Eyang Sentono; Kirab Agung Ganti Lurup Hinggil”, belum lama ini (iMNews.id, 2/11/2022). Temuan data-data yang masih perlu dikaji secara ilmiah kalangan intelektual kampus ini, sungguh menjadi informasi temuan sejarah yang sama sekali “baru”, khususnya bagi publik secara luas di Kabupaten Jepara, juga otoritas Pemkab Jepara, yang malam itu mewakilkan Nyonya Ria (Dinas Pariwisata dan Budaya) untuk ikut berbicara dan memberi penjelasan.
Di depan forum yang dihadiri sekitar 200 peserta dari berbagai kalangan dan usia, memang bukan termasuk komunikan yang tepat untuk diajak berkomunikasi dengan intensitas kedalaman menganalisis dan menggunakan penalaran kritis, karena pesan-pesan tentang hiruk-pikuk sejarah masa lalu Jepara, memiliki latarbelakang krusial dari sisi dinamika sosial dan politiknya. Oleh sebab itu, Dr Purwadi banyak memancing dan mengajak untuk memahami hal-hal yang ringan, misalnya tentang adanya nama Desa Sukodono, tentang makna nama besar Ratu Kalinyamat dan RA Kartini dalam sisi kepahlawanannya, juga pentingnya nama Pangeran Hadirin.
“Dukuh tempat Eyang Sentono dimakamkan itu, dinamakan Dukuh Sentono. Jalan desanya, juga diberi nama Jalan Sentono. Bahkan, salah satu sungai yang melintas di Jepara, diberi nama sungai Sentono. Hal-hal seperti ini yang perlu dipahami masyarakat Jepara, terutama generasi mudanya. Apapun dan di manapun di sekitar kita, ketika ada jejak sejarah berupa nama saja, itu pasti memiliki latarbelakang sejarah penting. Pemilik nama itu pasti tokoh penting, bahkan leluhur penting warga peradaban. Maka, event yang baru kali kedua ini, jelas memiliki nilai manfaat mengedukasi masyarakat, agar mengenal tokoh-tokoh leluhur dan menghargai karya-karyanya. Ini akan menjadi kebanggaan dan dorongan semangat warga desa setempat, juga masyarakat lebih luas lagi,” harap KRA Bambang Setiawan Adiningrat.
Jadi Ikon Jepara
Membangun aktivitas tradisi yang belum pernah atau merekonstruksi tradisi yang sudah “terkubur” berabad-abad, memang sangat sulit dan banyak dihadapi tantangan serta hambatan, seperti yang dirasakan KRA Bambang Setiawan Adiningrat selaku Ketua Pakasa Cabang Jepara maupun pengurus dan warga organisasi yang dipimpinnya. Karena, selain ketersediaan sumber daya keuangan (SDK), sangat diperlukan SDM yang memiliki kapasitas sesuai kebutuhan, kemudian sumber daya sinergitas (SDS) yang sangat dibutuhkan ketika membutuhkan potensi, koordinasi/komunikasi, legalitas serta berbagai bentuk dukungan dari luar organisasi misalnya pihak otoritas penguasa desa hingga wilayah kabupaten.
Oleh sebab itu, ketika rintisan event baru kali kedua, sangatlah wajar bila masih terlihat ada yang kurang di balik sukses besar yang dipetik dari jalannya event dari awal hingga akhir yang berlangsung lancar, aman dan tersampaikan esensi isi pesannya. Salah satu yang terasa kurang itu, adalah ketidakhadiran pemimpin pamong desa alias Kepala Desa, bahkan Sekretaris Desa Sukodono tidak tampat, begitu juga Camat Tahunan yang tak kelihatan sama sekali diri dan utusannya. Anehnya, Petinggi atau Kepala Desa Semat, Ali Suwarno, justru tampak hadir, ikut duduk di panggung mengikuti sarasehan.
“Mudahan-mudahan, pada event tahun mendatang, semakin banyak tokoh-tokoh penting bisa hadir dan bersama-sama terlibat aktif mengelola tradisi ini. Karena, upacara adat ini bukan untuk kepentingan individu, tetapi harus menjadi milik bersama. Karena ini bisa menjadi kebaikan bersama warga Desa Sukodono. Bahkan bisa jadi ikon wilayah kecamatan Tahunan atau Kabupaten Jepara. Potensi ini bisa disinergikan dengan sentra-sentra industri kerajinan ukir yang ada di setiap rumah/keluarga, minimal yang di Desa Sukodono,” harap MNg Darjo Diprojo, pengurus pakasa dari Komunitas SUGEK dan Komunitas Literasi Aksamala Cinta yang sibuk membantu kelancaran tiap bagian event itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Tantangan Tersendiri
Event Hari Jadi atau ulang tahun Kabupaten Jepara yang diperingati tiap tanggal 10 April dan genap ke-472 tahun di tahun 2022 ini, bisa menjadi tantangan tersendiri bagi warga Pakasa Cabang Jepara yang sudah punya pengalaman mengelola event ritual tradisi “Peringatan Haul Eyang Sentono; Kirab Agung Ganti Lurup Hinggil”. Sinergitas yang harus dibangun antara Pemkab dengan Pakasa cabang, sangat diperlukan agar event hari jadi semakin berwarna dan bermakna, baik sebagai sikap “Mikul dhuwur, mendhem jero” kepada para leluhurnya, maupun memberi sentuhan yang semakin berasa terhadap semua insan Jepara khususnya kalangan generasi mudanya, untuk tetap menghargai karya-karya para leluhur dan tetap melestarikan sebagai cirikhas kebhinekaannya.
Rintisan event ritual religi yang diinisiasi Pakasa Cabang Jepara ini sangat patut dihargai dan diacungi jempol, mengingat di saat-saat inilah bangsa yang terbingkai dalam NKRI ini sedang mengalami goncangan hampir di segala lini. Bukan hanya karena pandemi Corona selama 2 tahun lebih, melainkan juga oleh potensi anasir radikalisme dan intoleransi yang berusaha merusak cirikhas kebhinekaan dan ketahanan budaya lokal, sebagai ekses politik identitas yang mulai muncul ke permukaan di Pilkada DKI 2017. Merintis dan membangun tradisi ritual, di saat sekarang ini memang berat, tetapi Pakasa cabang Jepara sudah mencoba dua kali dan kelihatan hasil positifnya.
Dengan tingkat variasi persoalan yang berbeda-beda, apa yang dirintis Pakasa Cabang Jepara tergolong berat karena harus dari nol besar, berbeda dengan Pakasa Cabang Grobogan, ritualnya bisa berjalan “tanpa” Pakasa cabang. Atau Pakasa Pati, yang tinggal memperkuat kelengkapan lembaga organisasinya di tingkat cabang dan menggenapi di sejumlah anak cabang. Jauh berbeda dengan Pakasa Cabang Ponorogo (Jatim), yang tinggal meningkatkan kualitasnya dari tahun ke tahun, karena sinergitas antara Pakasa dengan Pemkab dan berbagai elemen kabupaten sudah terbentuk solid. Begitu juga Pakasa Klaten, yang tinggal memperkuat soliditas organisasi dengan membersihkan bercak warna-warni simbol partai politiknya. (Won Poerwono/i1-habis)