Upacara Adat Garebeg Syawal “Perdamaian” Perdana Sudah Dilewati (seri 1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 24, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Upacara Adat Garebeg Syawal “Perdamaian” Perdana Sudah Dilewati (seri 1-bersambung)
PRAWIRA ANOM : Bregada Prajurit Prawira Anom bersiap meninggalkan halaman Pendapa Sasana Sewaka untuk mengarak Gunungan hajad-dalem Garebeg Sawal menuju Masjid Agung untuk didoakan dan dibagi-bagikan, Minggu siang (23/4). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bergabungnya Dua Kesatuan Prajurit Menjadi Tanda Proses Penyesuaian

IMNEWS.ID – Upacara adat “hajad-dalem Garebeg Sawal” (Syawal-Red) sebagai tatacara adat Kraton Mataram Surakarta sebagai penerus Mataram Islam dalam menyambut Hari Raya Idhul Fitri atau Lebaran, sudah digelar pada Lebaran kedua, Minggu (23/4/2023), mulai pagi hingga siang. Dari sisi visualnya, peristiwa adat tradisi kraton dalam menyambut hari besar Islam itu sudah terlaksana dengan baik, lancar dan aman, meski tampak tetap “sepi dari wisatawan” selain sejumlah catatan yang ada di balik citra visualnya.

Dalam catatan iMNews.id, tak hanya peristiwa ritual “hajad-dalem Garebeg Sawal” yang memberikan banyak kesan sebagai informasi publik yang bermanfaat bagi warga peradaban secara luas. Hampir semua peristiwa adat dan di luar adat yang terjadi mulai saat peristiwa 17 Desember 2022 dalam tajuk “Insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton”, dan berlanjut dengan peristiwa “perdamaian” 3 Januari 2023, semuanya menjadi momentum “perdana” atau kali pertama dilakukan Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta beserta semua elemen yang berada di dalam.

“KODOK NGOREK” : Gamelan “Kodok Ngorek” adalah gamelan “pakurmatan” yang ditempatkan di Bangsal Pradangga. Fungsinya untuk memberi penghormatan saat prosesi kirab ritual hajad-dalem Garebeg Sawal diberangkatkan dari halaman Pendapa Sasana Sewaka, Minggu (23/4). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Proses terjadinya peristiwa “Insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” sampai peristiwa “perdamaian” antara Sinuhun PB XIII dengan sang adik kandung, Gusti Moeng, seakan menjadi keniscayaan, karena terjadi berturut-turut menjelang tutup tahun 2022 dan memasuki awal tahun 2023. Itu berarti, kerja adat yang dilakukan Gusti Moeng (Ketua LDA) beserta rangkaian “gerbong” LDA dan seluruh “penumpangnya”, benar-benar bisa dilakukan dari awal tahun seperti rutinitas kerja adat sebelum ada insiden “mirip operasi militer” yang berlanjut dengan kraton ditutup lebih 5 tahun (2017-2023).

Sepertinya sudah di luar jangkauan pikiran manusia, bahwa aktivitas kehidupannya di dunia dalam sistem pembagian waktu, yang sudah lewat dianggap sebagai lembaran lama yang selalu ditutup di akhir tahun, seterusnya selalu terbuka lembaran baru di awal tahun yang menjadi kesempatan manusia memulai melakukan aktivitas kehidupannya. Maka, ketika Gusti Moeng menyebut bahwa di Kraton Mataram Surakarta punya belasan upacara adat besar (Garebeg Mulud-Red) sampai yang terkecil (ritual Dhukutan-Red), semuanya seakan dimulai dari awal dan mengalir urut ke ritual berikut.

SENTANA-DALEM : Gamelan Kodok Ngorek yang ditempatkan di Bangsal Pradangga, adalah gamelan “pakurmatan” yang ditabuh oleh para abdi-dalem karawitan yang dipimpin seorang sentana-dalem, KPH Raditya Lintang Sasangka, untuk memberi penghormatan saat prosesi ritual “garebeg” diberangkatkan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Begitu seterusnya dilakukan sampai sepanjang tahun 2023 ini berakhir dengan tutup tahun di penghujung tahun menjelang Tahu Baru 2024. Oleh sebab itu, semua kerja adat dalam peristiwa upacara adat yang akan dilakukan sepanjang tahun ini, bisa menjadi peristiwa upacara adat “perdana” atau “kali pertama”, setelah lima tahun lebih kraton ditutup (April 2017-Desember 2022). Selama lima tahun lebih kraton ditutup, bukannya sama sekali tidak ada peristiwa upacara adat. Ritual-ritual penting yang besar dan dicatat publik masih ada, tetapi “kualitas adatnya” sangat mengecewakan.

Beberapa ilustrasi di atas bisa ditambah, bahwa selama 5 tahun lebih kraton ditutup, tetap ada ritual “tingalan jumenengan”, tetapi sangat terbatas selama ada pandemi dan tata-laksana adat terutama sajian tari Bedaya Ketawang, termasuk yang masuk kategori sangat mengecewakan, karena sumber materi dan tatacara penyajiannya “asal ada”. Ritual besar dan penting seperti Kirab Pusaka di malam 1 Sura juga ada, tetapi tatacara dan tatalaksana secara adat terutama penyajiannya, juga “asal ada”, sangat jauh dari ukuran apa saja.

IKUT MELEPAS : Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, tampak menyapa sejumlah sentana-dalem saat ikut melepas barisan prosesi kirab hajad-dalem Garebeg Sawal di halaman Pendapa Sasana Sewaka, Minggu pagi (23/4). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selama lima tahun kraton ditutup, upacara adat besar dan penting seperti Garebeg Mulud, Garebeg Syawal dan Garebeg Besar juga ada, tetapi tatacara dan tatalaksananya yang sekadar “asal ada”. Begitu Gusti Moeng sudah kembali pada posisinya sebagai Pengageng Sasana Wilapa, mulai 17 Desember 2022 itu, semua kerja adat untuk menjalankan berbagai upacara adat sesuai agenda rutin di kraton selama setahun, seperti yang sudah pernah dilakukan di dalam sebelum 2017, maupun beberapa yang bisa dilakukan di luar kraton (2017-2022), sudah kembali terlaksana satu-persatu.

Dari citra visual yang tampak, ritual hajad-dalem Garebeg Sawal yang digelar kraton Minggu (23/4), ya tidak banyak berbeda dengan ritual serupa yang berlangsung tahun-tahun sebelumnya, apalagi sebelum 2017. Terutama, dari sisi tatacara dan tata-laksana sajiannya, meski ada sedikit perubahan, tetapi sulit bisa dilihat publik secara luas. Tetapi hal yang sama dan menjadi cirikhas pelaksanaan ritual Garebeg Syawal, yaitu selalu “sepi dari wisatawan”, karena hari Lebaran kedua masih menjadi kesibukan berlebaran di dalam keluarga masing-masing warga pada umumnya.

CARA BALEN : Gamelan Cara Balen dan Bregada Prajurit Panyutra, adalah satu-kesatuan unsur pertahanan dan simbol eksistensi kraton di masa lalu, yang menjadi pemandangan menarik di masa kini. Keberadaannya sangat berfungsi pada pelaksanaan ritual hajad-dalem Garebeg Sawal, Minggu (23/4). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Intinya, karena berbagai faktor, sebagai sebuah atraksi wisata grafik ritual Garebeg Sawal hanya di urutan bawah dari sejumlah daya tarik wisata atau destinasi wisata di wilayah Surakarta, pada saat-saat libur Lebaran. Kondisi seperti itu sudah berjalan berpuluh-puluh tahun, setidaknya sejak tahun 1980-an. Salah satu penyebabnya, karena ritual itu nyaris tidak pernah atau “tidak dianggap” sebagai komoditas wisata, dan oleh karenanya nyaris tidak pernah dipromosikan secara profesional sebagai objek wisata di pasar wisata lokal, regional, nasional maupun internasional.

Meski Kraton Mataram Surakarta punya “Museum Art Gallery” yang disebut-sebut sebagai salah satu objek wisata sejarah, budaya dan atraksi upacara adat, tetapi ritual seperti hajad-dalem Garebeg Syawal dan Garebeg Besar, dianggap publik secara luas tak ada kaitannya dengan kraton. Atau karena sejak dulu tidak pernah dijelaskan/dipromosikan kepada publik sebagai bagian dari kraton dan layak menjadi objek wisata. Itu semua adalah faktor-faktor penyebab citra visual ritual Garebeg Sawal terkesan selalu “sepi wisatawan”.

SEPASANG GUNUNGAN : Sepasang Gunungan hajad-dalem Garebeg Sawal dan sejumlah prosesi kirab ritual lain yang digelar Kraton Mataram Surakarta, hampir semuanya punya daya tarik wisata yang kuat. Tetapi, nyaris luput dari kebijakan promo wisata dari pihak mana saja. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena sejumlha faktor itu pula, maka ketika hajad-dalem Garebeg Sawal digelar Kraton Mataram Surakarta, Minggu (23/4) dari pagi pukul 10.00 WIB hingga berakhir sekitar pukul 13.00 WIB, wisatawan yang sangat mungkin pengunjung lokal Kota Surakarta, atau dari daerah terdekat sekitar kota, bisa dihitung dengan jari, karena tampak tidak sampai seratusan orang. Suasana saat “berebut” Gunungan di depan topengan Masjid Agung dan di halaman Kamandungan, karena faktor para abdi-dalem petugas pengusung Gunungan yang malah mendahului merebut/menjarah.

Karena berbagai faktor yang hampir sama dengan penyebab “sepinya wisatawan” ritual Garebeg Syawal, sangat mungkin akan tampak pada pelaksanaan ritual “Garebeg Besar” pada peringatan hari raya Idhul Adha di bulan Besar tahun Ehe 1956 atau bulan Djulhijjah tahun 1444 Hijriyah sekitar dua bulan mendatang. Citra visual upacara adat kraton menyambut Lebaran Haji itu kurang lebih sama, atau mungkin lebih sepi lagi, karena hari libur resmi dari pemerintah hanya 1 hari dan bukan menjadi tradisi mudik publik secara luas.

BARU SEPASANG : Baru sepasang Gunungan saja yang dikeluarkan dalam ritual hajad-dalem Garebeg Sawal, sudah tampak sibuk ketika harus melewati pintu keluar Sri-Manganti Lor, Minggu pagi (23/4). Bagaimana jika kelak kraton bisa mengeluarkan Gunungan sampai 10 pasang?. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Secara keseluruhan, publik secara luas hanya bisa menangkap citra visual pelaksanaan ritual hajad-dalem Garebeg Sawal, Minggu mulai pagi itu hanyalah sekadar atraksi tradisi “rayahan Gunungan” yang sudah bebas, tak perlu ada protokol kesehatan atau bahkan ditiadakan sama sekali antara tahun 2020, 2021 dan 2022 karena adanya pandemi Corona. Publik secara luas mungkin hanya bisa melihat dari tayangan berita di berbagai media mainstream, terutama dari medsos dan media konsvensional, yang sangat tidak mungkin melihat apa yang berada di balik peristiwa ritual Garebeg Sawal.

Publik yang datang langsung menyaksikan peristiwa ritual hajad-dalem Garebeg Sawal, apalagi yang menyaksikan melalui berbagai jenis media publikasi, jelas tak akan bisa melihat wajah-wajah para tokoh pengurus Pakasa cabang dari Kabupaten Jepara, Kabupaten Pati, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Trenggalek (Jatim) yang hadir mengikuti “pisowanan hajad-dalem garebeg Sawal”. Publik secara luas juga tidak bisa menyaksikan wajah-wajah dari dua “kesatuan” prajurit kraton di bawah Manggala (komandan) KRAT Alex Pradnjono Reksoyudo yang sudah mulai berkolaborasi. (Won Poerwono-bersambung/i1)