Bukan Berarti berhenti dari Segala Aktivitas Berkarya
SURAKARTA, iMNews.id – Renovasi kecil-kecilan untuk memperbaiki sayap teras bangunan pendapa Bangsal Marcukunda yang patah dan jadwal latihan rutin atau “gladen” tari Bedaya Ketawang, harus tetap berjalan di Kraton Mataram Surakarta, walau berada dalam suasana menjalankan ibadah puasa di bulan Pasa tahun Ehe 1956 atau Ramadhan 1444 Hijriyah tahun 2023 ini. Karena, beribadah puasa bukan berarti berhenti dari segala aktivitas kehidupan rutin, apalagi aktivitas itu sangat diperlukan demi kebaikan atau untuk menghindari sesuatu yang tak diinginkan.
Ada dua pemandangan yang terjadi di Bangsal Marcukunda yang posisinya di utara menara ikon Kraton Mataram Surakarta yaitu Panggung Sangga Buwana, beberapa pekerja bangunan sedang sibuk merenovasi batang penyangga saya teras bagian utara yang sejak beberapa tahun lalu patah. Padahal, lokasi bangunan yang “ikonik” karena selalu disebut-sebut dalang kondang Ki Anom Suroto dalam “janturan” pentas pedalangannya sebagai bangunan yang indah, bahkan bangunan ini menjadi “ikon” sekaligus nama lembaga kursus juru pranatacara berbahasa Jawa yaitu “Sanggar Pasinaon Pambiwara” yang sering disebut dengan nama “Sanggar Marcukunda”.

Batang sayap teras bagian utara Bangsal Marcukunda itu, sejak pagi hingga siang tampak masih dikerjakan para pekrja bangunan yang diperkirakan seminggu lagi sudah selesai sejak mulai digarap sekitar seminggu lalu. Batang penyangga sayap teras yang patah, di bagian luar adalah adonan material teknologi masa lalu yang tanpa semen, sedangkan di dalamnya ada balok kayu jati yang panjangnya 4 meter, lebar 30 cm dan tinggi 30 cm. Karena, batang kayu yang konstukriknya knock-down dengan batang tengah ambang pendapa, saat dilepas sudah berlubang besar tengahnya karena kropos dimakan usia, karena dibangun pada masa Sinuhun PB X (1893-1939) dan sebelumnya belum pernah tersentuh pekerjaan renovasi sekalipun.
Di saat shalat Dhuhur/Luhur pukul 12.00 WIB, para pekerja bangunan beristirahat, sementara sekitar 15 menit kemudian, Pendapa Sasana Sewaka yang ada di selatan menara Panggung Sangga Buwana menampakkan pemandangan lain, yaitu Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Ketua LDA) sedang berjalan menuju teras Paningrat Kidul. Ada lebih dari 9 penari Bedaya Ketawang termasuk Ika Puspawinahyu selaku Lurah Bedaya berjalan mengikuti di belakangnya dan berhenti di tengah Pendapa Sasana Sewaka, lalu masing-masing mengambil posisi duduknya di lantai pendapa.

Setelah abdidalem keparak yang bertugas membawa segala macam uba-rampe ritual sudah sampai di tempat para “pradangga” atau seniman karawitan duduk di teras Paningrat Kidul bersama Gusti Moeng, para penari langsung membentuk formasi awal tari Bedaya Ketawang. Tak lama kemudian, koor “panembrama” yang menjadi awal “pambuka” atau pembukaan karawitan iringan terdengar, lalu diikuti suara gamelan iringan ditabuh di bawah komando KPH Raditya Lintang Sasangka sebagai “tindhih” (koordinator) karawitan, sebagai pertanda “gladen” atau latihan tari dimulai dari gerakan menghormat berupa sikap “sembah”.
“Gladen” tari Bedaya Ketawang itu berlangsung hingga sekitar dua jam kemudian, yang diikuti semua penari khusus Bedaya Ketawang dari Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin Gusti Moeng sebagai ketua sekaligus salah satu instrukturnya. Khusus untuk “gladen” tari bedaya Ketawang, menurut Gusti Moeng tidak diliburkan walau hampir semuanya menjalankan ibadah puasa. Karena, latihan di bulan puasa itu, menurutnya justru saat yang baik untuk melatih kesabaran dan konsentrasi, bahkan memudahkan penguasaan semua gerak dan posisinya.

Sementara itu, aktivitas “ngesis wayang” yang biasanya juga digelar berurutan dengan dengan “gladen” tari Bedaya Ketawang di saat weton Anggara Kasih, memasuki bulan puasa kali ini diliburkan dan jadwal rutin “mengangini” wayang baru akan dilanjutkan lagi setelah Hari Raya Lebaran. Ritual “Ngesis Wayang” di Kraton mataram Surakarta, sebelum 2017 kraton ditutup selalu rutin diadakan tiang Selasa Kliwon atau Anggara Kasih, sebagai salah satu cara perawatan yaitu menghindari hama dan jamur yang bisa merusak warna cat, kulit (lembu, kerbau-Red) bahan dasar wayang atau gapitnya.
Pada weton Anggara Kasih lalu, Pengageng Sasana Wilapa mengizinkan kotak anak wayang Kanjeng Kiai (KK) Jimat untuk dikeluarkan dalam ritual “ngesis wayang”. Empu dalang spesialis wayang “Gedhog”, Ki KRT Dr Bambang Suwarno (72), menjadi koordinator tim teknis yang dipercaya Gusti Moeng untuk menangani secara teknis proses perawatan wayang melalui ritual itu. Sekotak wayang KK Jimat yang isinya “wayang Gedhog”, karya Sinuhun PB IV (1788-1820), dirawat dengan baik beberapa dalang anggota tim teknis, antara lain Ki Sigit Purnomo, Ki Suluh Juniarsah dan Ki Rudy Wiratama.

Selain dua pemandangan terpisah itu, Kraton Mataram Surakarta juga sedang bersiap-siap untuk menggelar ritual hajad-dalem “Malem Selikuran” pada Selasa Pahing, 11 April, mendatang. Selain persiapan untuk upacara yang dimulai dari berbuka puasa bersama hingga kebutuhan untuk kirab “ting” dan doa, tahlil, dzikir di Masjid Agung, persiapan juga dilakukan warga Pakasa Cabang dari sejumlah daerah yang ingin “sowan” untuk “ngalab berkah” sekaligus memeriahkan uapacara adat hajad-dalem untuk menyambut hari besar “Turunnya Wahyu Illahi” atau “Lailathul Qadar” itu.
Dua pengurus Pakasa cabang dari wilayah Jatim, yaitu KRAT Seviola Ananda Reksobudoyo (Ketua Pakasa Kabupaten Trenggalek) dan KRT Sukoco (Ketua Pakasa Kabupaten Nganjuk) bahkan KRT Bagiyono Rumeksonagoro (Ketua Pakasa Kabupaten Magelang), sudah bersiap-siap memimpin rombongan untuk “sowan” di upacara adat “Malem Selikuran”. Begitu pula Pakasa Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, bahkan Pakasa Cabang Ponorogo yang dipimpin KRRA MN Gendut Wreksodiningrat dan Pakasa Cabang Jepara yang dipimpin KRA Bambang Setiawan Adiningrat, jauh-jauh hari sudah merancang rencana keberangkatannya ke Kraton Mataram Surakarta, untuk ikut memeriahkan ritual “Malam Seribu Bintang” itu. (Won-i1)