Terbuka Komunikasi yang Konstruktif untuk Menata Lingkungan “Pendukung” Kraton (seri 3 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 25, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Terbuka Komunikasi yang Konstruktif untuk Menata Lingkungan “Pendukung” Kraton (seri 3 – bersambung)
MEMBERI RUANG : "Kabinet 2004" yang terbentuk di alam republik ketika NKRI memasuki era "demokrasi kepartaian", Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua LDA banyak memberi ruang dialog kepada publik warga Baluwarti, misalnya saat membahas PKL di Alun-alun Kidul, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Masyarakat Baluwarti Sadar, Status Huniannya Hanya “Nunut”

IMNEWS.ID – SELASA Wage, 14 Maret malam itu menjadi malam yang istimewa di Bangsal Smarakata Kraton Mataram Surakarta, karena peristiwa yang terjadi di situ termasuk sangat langka bagi kraton selama 78 tahun berada di alam republik (NKRI). Bahkan juga langka atau tidak mungkin terjadi ketika Kraton Mataram Surakarta masih di alam “negara” Mataram sebelum 17 Agustus 1945, karena peristiwa yang terjadi seperti Selasa Wage malam itu, tidak mungkin pernah ada mengingat situasi dan kondisi sosial politik saat itu belum memungkinkan adanya saluran dialog dan komunikasi seperti yang terjadi dialam demokrasi seperti sekarang ini.

Ketika masih berstatus negara monarki, satu-satunya saluran untuk mengungkapkan pernyataan pendapat atau “protes”, adalah “aksi” atau “tapa pepe” (berjemur di bawah terik matahari-Red) di tempat yang disediakan baru mulai zaman Sinuhun PB X, yaitu di depan Gapura pintu masuk Gladag. Sifat peristiwa yang terjadi bukan komunikasi dan dialog dua arah yang aktif sesuai azas kesetaraan seperti yang terjadi di Bangsal Smarakata, Selasa Wage malam itu, melainkan hanya satu arah melalui petugas jaga, petugas penghubung yang melaporkan, lalu diteruskan pejabat di dalam kepada raja atau terlebih dulu disampaikan kepada pepatih dalem, tergantung apa isi pernyataan atau protes yang disampaikan.

DI LUAR BALUWARTI : Di luar Baluwarti, “Kabinet 2004” yang terbentuk di Kraton Mataram Surakarta, mulai dibiasakan Gusti Moeng memberi ruang kepada publik untuk berdialog, misalnya saat membahas eksistensi dan tatacara pemanfaatan Pesanggarahan Langenharjo, Sukoharjo, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Melihat beda jauh prinsip-prinsip komunikasi yang terjadi antara kraton dengan “warga pendukungnya” dan tangan panjang penguasa NKRI atau pamong kelurahan, dibanding dengan tatacara mekanisme prosedur komunikasi di masa sebelum 1945, maka peristiwa Selasa Wage malam itu patut dicatat sebagai bagian dari sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta di alam republik pasca-1998. Selain peristiwa pertemuannya yang bisa disebut forum sarasehan, dialog dan komunikasi, menjadi hal penting untuk dicatat dalam sejarah mengenai isi pertemuan yang dibahas antara ketiga pihak, malam itu.

Pada dua seri tulisan sebelumnya sudah disinggung mengenai berbagai persoalan yang dialami kawasan kraton sebagai wilayah yang dilindungi UU BCB No 11/2010 dan kawasan Baluwarti dari aspek manusia yang ada di dalamnya, baik yang ada pada posisi keluarga “raja” dan aktivitas yang terjadi di dalam kraton atau kerajaan. Kemudian ada aspek warga yang berbaur dengan masyarakat adat pendukung, yang terwadahi dalam wilayah adat tetapi sudah diatur dalam tata aturan kewilayahan administratif Kelurahan Baluwarti yang diwujudkan dalam simbol keberadaan kantor Kelurahan Baluwarti.

PAMONG KELURAHAN : Dialog dengan para pamong Kelurahan Baluwarti sudah termasuk sering dilakukan Kraton Mataram Surakarta mulai terbentuknya “Kabinet 2004”, misalnya yang dilakukan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua LDA saat membahas PKL di Alun-alun Kidul, beberapa waktu lalu.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jalannya pertemuan Selasa Wage malam itu, memang tidak begitu dianggap penting aspek peristiwanya yang sangat langka itu, karena hampir semua yang hadir di situ rata-rata datang sudah berbekal sebuah keinginan untuk mengungkapkan berbagai hal yang dirasakan, dialami dan diketahui tentang keberadaan mereka bermukim di dalam tembok baluwarti. Selanjutnya, sangat berharap mendengar penjelasan tentang apa yang selama ini ingin dimengerti, dipahami dan “ingin disumbangkan” kepada kraton selaku pemilik wilayah adat di satu sisi, juga kepada pemerintah wilayah kelurahan yang memiliki otoritas wilayah Kelurahan Baluwarti yang notabene berada di bawah kendali pemerintah Kecamatan Pasarkliwon, dan Pemerintah Kota Surakarta itu.

Karena secara umum apa yang ingin didapat warga dan para pamong kelurahan disampaikan di awal MNg Suparno selaku penghubung yang juga MC ketika membuka sarasehan, maka GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku representatif otoritas lembaga Kraton Mataram Surakarta dalam kedudukan Pengageng Sasana Wilapa dan Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA), langsung memberikan penjelasan panjang-lebar. Tak hanya yang menyangkut segala wujud fisik yang mengisi kawasan kraton seluas 90-an hektare itu, melainkan juga latar belakang sejarah dan sistem tata-nilai paugeran adat yang menjadi dasar aturan bagi masyarakat adat yang berada di wilayah adat Kraton Mataram Surakarta.

PENDUKUNG KRATON : Bagaimanapun, keberadaan masyarakat kelurahan Baluwarti yang notabene ada di dalam tembok Baluwarti, secara adat adalah pendukung secara legitimatif terhadap eksistensi Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Porsi waktu sekitar 20 menit yang diberikan kepada Pengageng Sasana Wilapa yang akrab disapa Gusti Moeng itu, memang tak mungkin bisa mengungkapkan berbagai hal yang menyangkut wujud fisik, kawasan wilayah dan latarbelakang sejarah secara lengkap. Begitu pula, sangat tidak memadai dalam soal kecukupan waktu ketika mulai berbicara soal berbagai bentuk pelanggaran dan kesalahan yang terjadi selama ini sejak NKRI lahir, dalam rangka pemanfaatan atau peruntukan yang berkait dengan kehidupan warga Baluwarti, khususnya tentang tatacara bermukim di wilayah adat yang dilindungi UU BCB No 11/2010.

“Karena Baluwarti ini adalah bagian dari wilayah adat, bahkan di lingkungan terdekat inti kraton atau pusat otoritas adat, maka yang berlaku adalah aturan yang sesuai dengan paugeran adat atau hukum adat. Intinya, semua yang tinggal di kompleks ndalem Pangeran itu statusnya ‘hanggaduh’ atau meminjam. Aturan ‘hanggaduh’ yang biasa disebut ‘magersari’, dulunya hanya untuk selama hidupnya. Begitu yang bersangkutan meninggal, lalu dikembalikan atau dilaporkan kepada kraton (Kantor Pengageng Pasiten-Red). Kalau mau diteruskan ahli warisnya, juga melalui permohonan resmi. Bukan dilakukan secara diam-diam sepihak seperti yang selama ini banyak terjadi,” tandas Gusti Moeng saat berbicara, malam itu.

SUDAH DIBERSIHKAN : Selama tahun 2017 hingga Gusti Moeng kembali masuk kraton, 17 Desember 2022, ruang di depan pintu barat kawasan kedhaton selalu tampak kumuh dan mengkrak. Tetapi sejak kegiatan resik-resik kraton digerakkan Gusti Moeng awal Januari 2023 lalu, calon akses jalan keluar objek wisata kraton itu kini sudah tampak bersih. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mendengar penegasan Gusti Moeng dalam soal tatacara hukian di wilayah hukum adat, apalagi kawasan intik kraton, seorang warga bernama Gatot yang juga salah seorang warga UMKM binaan saat mendapatkan kesempatan berbicara menyatakan, bahwa dirinya sangat menyadari bermukim di dalam tembok Baluwarti itu hanya “nunut” atau menumpang. Kesadaran serupa diyakini juga dimiliki semua warga Baluwarti, karena memang sudah sangat banyak yang bermukim di dalam tembok itu berasal dari luar Baluwarti. Bahkan banyak yang tidak ada kaitan adat dengan kraton, tetapi menyewa kaplingan berupa bilik-bilik dari kompleks ndalem Pangeran yang sudah dialihtangankan secara sepihak dan diam-diam dalam kurun waktu yang lama.

Bentuk pelanggaran penghunian dan proses alih-tangan itu, menurut Gusti Moeng ada yang sudah sampai 5 kali baru terdeteksi kraton melalui Kantor Pengageng Pasiten yang waktu itu dijabat GKR Retno Dumilah sejak 2004 sampai akhir hayat, 2021. Berbagai bentuk pelanggaran yang hingga kini menjadi persoalan yang sulit diselesaikan itu, muncul ketika ada aksi beberapa warga dari kampung Hordenasan (sisi barat Baluwarti) yang menuntut pelepasan status tanah adat agar bisa disertifikasi (SHM), begitu juga ketika ada program bantuan dari pemerintah untuk rumah tidak layak huni (RTLH) kepada warga miskin Baluwarti, yang salah satu syaratnya adalah pemilik rumah berstatus sertifikat hak milik (SHM). (Won Poerwono – bersambung/i1)