Melalui Transisi yang Berat, dari Pra ke Pasca-“Insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton”
IMNEWS.ID – TRADISI “Nyadran” untuk mengirim doa, tahlil dan dzikir langsung di lokasi pusara makam para tokoh leluhur, bagi warga peradaban Jawa apalagi keluarga besar masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, sebenarnya merupakan cara memelihara tali silaturahmi atau ungkapan rasa menghormati atau berbhakti kepada para leluhur “pepundhen” yang telah berjasa kepada semua generasi keturunannya. Kata kunci yang menjadi esensi dalam tradisi “Nyadran” adalah, “mengingat”, “membalas” dan “memelihara” dalam arti positif, karena semua tatacaranya penuh nilai-nilai ketuhanan “Sangkan-paraning dumadi”.
Jasa-jasa para leluhur apalagi yang telah mewariskan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan baik secara pribadi keluarga, bagi warga peradaban secara luas itulah yang selalu diingat dan dibalas serta dipeliharan dengan ungkapan doa, tahlil dan dzikir. Uangkapan yang rutin dilakukan tiap tahun dan menjadi tradisi itu, kemudian disebut “nyadran” atau “Ruwahan, karena tatacara spiritual religi dan kebatinan itu oleh Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, ditunjukkan di dalam sistem penanggalan/kalender yaitu bulan “Ruwah” (Kalender Jawa) yang banyak bersamaan dengan bulan “Sya’ban”, karena mengkolaborasikan antara Kalender Saka dengan Kalender Hijriyah.
“Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, peradaban kraton yang pernah ada tidak pernah ada makam atau kuburan. Data yang saya dapat dari para peneliti sejarah, baru di sekitar kawasan Candi Trowulan (Jatim), ditemukan beberapa pusara makam/kuburan kuno, yang diduga menjadi salah satu tanda masuknya Islam di saat-saat akhir zaman Kraton Majapahit (abad 14-15). Karena, keyakinan peradaban dalam rentang sejarah kraton di tanah Jawa sebelum ada Islam, tidak mengenal pusara atau kuburan/makam,” jelas GKR Wandansari Koes Moertiyah saat memimpin rombongan “Nyadran” dari Kraton Mataram Surakarta di kompleks makam mertua Sinuhun PB IV di Kabupaten Pamekasan, Madura (Jatim), Ruwah Tahun Je 1955 atau 2022 lalu.
Semangat mengkolaborasikan dua kalender dari dua peradaban yang dilakukan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma selaku pendiri dan Raja pertama Kraton Mataram Islam, telah banyak menginspirasi warga peradaban Jawa hingga memiliki kekayaan untuk mengkreasi format pedoman tatacara adat “Nyadran” di lingkungan kraton penerus Mataram, hingga ditiru masyarakat peradaban secara luas sebagai tradisi. Jadi, tradisi “Nyadran” sudah lama sekali dilakukan warga peradaban Jawa termasuk Kraton Mataram Surakarta, tetapi pesan yang muncul dari zaman ke zaman tak selalu ditangkap sebagai informasi yang bernilai oleh warga peradaban.
Kraton Mataram Surakarta menggelar tatacara adat “Nyadran” juga sudah sejak lama, setidaknya yang diinisiasi GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa yang juga Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA), sejak “Kabinet 2004” terbentuk. “Nyadran” ke Astana Pajimatan makam Raja-raja Matara Imogiri di Kabupaten Bantul (DIY), tentu menjadi tugas yang “wajib” dilakukan keluarga besar masyarakat adat Mataram Surakarta, mungkin saja titik lokasi makam para leluhur Dinasti Mataram tidak sebanyak sekarang dan intensiitas publikasinya tidak setinggi sekarang.
Sebagai ilustrasi, sebelum 2017 Pengageng Sasana Wilapa yang akrab disapa Gusti Moeng itu mungkin hanya melakukan ritual “Nyadran” di Astana Pajimatan Imogiri, Astana Pajimatan Tegal Arum, Kutha Gedhe dan beberapa yang sudah diketahui waktu itu. Tetapi selama 2017 hingga 2022 ketika Gusti Moeng begitu intensif melakukan safari keliling “Tour de Makam dan petilasan/pesanggarahan” di berbagai daerah di Provinsi Jateng, Jatim dan DIY, jumlah titik lokasi makam leluhur Dinasti Mataram ternyata sangat banyak dan tidak semua bisa dijangkau selama bulan Ruwah di tahun 2022 dan bulan “Nyadran” di tahun 2023.
Selain jumlah titik lokasi makam/petilasan/pesanggrahan yang perlu diziarahi terutama di bulan “Ruwah” yang semakin banyak jumlah dan semakin luas serta jauh yang akan dijangkau, pelaksanaan tatacaranya juga semakin disesuaikan dengan format panduan tatacara adat yang kini diberi tajuk “Caos Bhekti Tahlil”. Tetapi, proses penyesuaian dengan panduan tatacara adat ritual “Nyadran” itu harus melalui masa transisi yang sulit dan berat, ketika Gusti Moeng baru bisa masuk kraton melalui “Insiden Gusti Moeng Kundur Ngedhaton” 17 Desember 2022 (iMNews.id, 8/12), dan untuk kali pertama mengadakan ritual itu sejak 23 Februari atau awal bulan Ruwah ini.
Untuk melewati masa transisi (pasca-insiden) yang membutuhkan biaya sangat besar karena terkait dengan berbagai kegiatan dan event dalam rangka “perdamaian” (iMNews.id, 3/1/2023), jelas menjadi alasan untuk meniadakan pentas wayang kulit “Ruwatan” untuk “Mapag Ruwah” karena kondisinya tidak memungkinkan. Situasi dan kondisinya sudah berubah dari sebelum (pra-insiden) “peristiwa 17 Desember 2022”, karena Gusti Moeng masih bisa menginisiasi pergelaran wayang “Mapag Ruwah” untuk memulai tradisi “Nyadran” di lingkungan kraton, walau hanya dilaksanakan di “ndalem Kayonan”, Baluwarti. (Won Poerwono-bersambung/i1)