“Kurang Diminati” Para Dalang, Tetapi Asli Karya Kreatif Para Empu Negeri
IMNEWS.ID – PROSESI ritual “ngesis wayang” weton Anggara Kasih yang dilakukan Kraton Mataram Surakarta terhadap sekotak wayang Gedhog Kanjeng Kiai Jayeng Katong atau Dewa Katong, (iMNews.id, 4/3/2023), jelas menjadi bagian yang mandiri bisa disuguhkan sebagai hiburan yang mendidik. Karena, kisah diciptakannya jenis wayang ini kaya sekali data informasi tentang proses pembuatannya, ide ceritanya hingga kemudian menjadi salah satu koleksi “pusaka” di kraton yang selalu dirawat secara turun-temurun oleh keluarga besar masyarakat adat di kraton, sejak Sinuhun PB IV (1788-1820) hingga kini.
Tak hanya tentang wayang Gedhog Kiai Dewa Katong dalam upacara adat “Ngesis Wayang” pada weton Anggara Kasih yang menarik, jenis “Wayang Madya” yang dikatagorikan berdasar lakon pementasannya bersumber dari babon buku/naskah Serat Pustaka Raja Madya itu sendiri juga sangat menjadi. Baik sebagai tambahan kekayaan referensi literasi pengetahuan seni pedalangan, maupun ketika urutan kisah/cerita dalan buku Serat Pustaka Raja Madya yang hingga kini tersimpan baik di perpustakaan kraton yang bernama Sasana Pustaka itu, digelar dalam seni pertunjukan wayang Gedhog atau “madya”.
“Betul sekali, ketika sudah menjadi seni pertunjukan khusus wayang Gedhog atau wayang madya, menarik sekali untuk disimak. Karen kisah yang diceritakan dalam pementasan pakeliran jenis lakon ini, adalah kisah para tokoh dari Kraton Kediri (abad 12). Tokoh-tokohnya antara lain Raden Panji Inu Kertapati, Dewi Angreni dan sebagainya. Tetapi, bagi pecinta pertunjukan wayang yang sudah terbiasa dengan lakon dari kisah Ramayana dan Maha Bharata, wayang Gedhog dianggap asing, tidak dikenal. Maka tidak menarik,” jelas Rudy Wiratama kandidat doktor bidang “Kajian Budaya” di UGM, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Menurut abdidalem anggota tim teknis ritual “ngesis wayang” yang dipimpn dalang spesialis wayang Gedhog, Ki KRT Dr Bambang Suwarno selaku koordinatornya itu, jangankan masyarakat pecinta seni pakeliran apalagi masyarakat awam, sebagian besar dalang profesional yang pernah ada di wilayah seni pedalangan lintas gaya terutama gaya (Gagrag) Surakarta, rata-rata tidak suka belajar mendalang wayang Gedhog. Padahal, segala jenis kesenian produk budaya Jawa, termasuk wayang Gedhog, bisa dikenal luas dan melahirkan pemahaman serta kecintaan terhadap produk kesenian itu antara lain dari praktik seni pertunjukan pedalangan yang dilakukan para dalang profesional.
Penjelasan Rudy Wiratama selaku abdidalem dari Kantor Pengageng Mandra Budaya itu bukan sekadar sinyalemen, karena berdasar fakta riil yang diteliti karena muncul dari waktu ke waktu pada masa yang panjang. Dari catatannya yang diperoleh calon doktor yang mengaku lebih suka menjadi peneliti sejarah wayang itu, dalam setengah abad lebih hingga saat ini, hanya tercatat lima nama dalang spesial wayang Gedhog yaitu Ki Hawicarita Jogopradonggo (zaman Sinuhun PB X, 1893-1939), Ki Soemardi (dosen ASKI) di tahun 60-70-an, Ki Marwanto (dosen ASKI) di tahun 80-90-an, Ki Subantar (guru Konservatori) di tahun 60-an dan yang hingga kini masih aktif berkarya adalah Ki KRT Dr Bambang Suwarno.
“Jadi, dalang wayang Gedhog memang benar-benar langka, sejak dulu. Karena, menjadi dalang wayang ‘Madya’ tidak segampang dalang wayang ‘purwa’. Ada beberapa persyaratan yang dinilai para calon peminatnya cukup berat. Yaitu misalnya, harus paham tata letak dan struktur bangunan kraton ketika njantur (menuturkan tiap bagian dari bangunan kraton yang dalam cerita itu digunakan para tokohnya, secara urut dan tepat). Misalnta, tempat pisowanan para abdidalem. Harus paham siapa saja yang boleh duduk di Sri Manganti, Bangsal Parasedya, Bangsal Marcukunda, Kamandungan, Pendapa Pagelaran dan sebagainya,” sebut Rudy terhadap sebagian dari struktur bangunan di Kraton Mataram Surakarta.
Meski tidak menjadi dalang spesialis wayang Gedhog, Ki Anom Suroto merupakan dalang senior yang pernah belajar mendalang wayang “Purwa” pada Sanggar Pawiyatan Dalang Kraton Mataram Surakarta di tahun 1970-an. Dia sering menyebut beberapa struktur bangunan di kraton, misalnya keindahan Bangsal Marcukunda, dalam “janturan” yang diucapkannya ketika pentas. Peneliti dari Lembaga Olah Kajian (tentang) Nusantara (Lokantara) Pusat di Jogja, Dr Purwadi, Kraton Mataram Surakarta, banyak mendokumentasi dan mengaktualisasi sejarah leluhur dari Kraton Kediri.
“Itu sangat masuk akal. Karena, kisah leluhur dan nenek moyangnya sendiri yang hidup pada abad 12 yang diabadikan dan diteladani. Bukan fiksi yang dilukiskan dalam Maha Bharata dan Ramayana. Meskipun, para Empu yang menghasilkan cerita seni pedalangan, termasuk sangat genius. Karena, tidak menelan mentah-mentah fiksi cerita Ramayana dan Maha Bharata dalam karya-karya naskah dan seratnya. Melainkan sudah diadaptasi dan diperindah dengan unsur yang situasional, dari lingkungan kecil hingga besar, waktu itu,” jelas Dr Purwadi dalam beberapa kali kesempatan diskusi dengan iMNews.id, beberapa waktu lalu. (Won Poerwono-bersambung/i1)