Wayang Gedhog Kanjeng Kiai Jayeng Katong, Baru Separo Selesai Dibuat Ditinggal Wafat (seri 1 -bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 2, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:5 mins read
You are currently viewing Wayang Gedhog Kanjeng Kiai Jayeng Katong, Baru Separo Selesai Dibuat Ditinggal Wafat (seri 1 -bersambung)
ELEMEN BERKELAS : Sekotak wayang kulit Kanjeng Kiai (KK) Jayeng Katong, adalah elemen seni pertunjukan wayang kulit berkelas karya abdidalem Empu wayang di zaman Sinuhun PB IV. Gusti Moeng memimpin tatacara mengeluarkan sekotak wayang ini dalam ritual "Ngesis Wayang weton Anggara Kasih", Selasa Kliwon (28/2) lalu.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karya Fisik dan Non-Fisik Para Empu, yang Berkualitas dan Berkelas

IMNEWS.ID – SENI pertunjukan wayang kulit atau pedalangan atau pakeliran, merupakan salah satu puncak peradaban Jawa sekaligus puncak peradaban Mataram, dan juga puncak karya seni budaya yang dihasilkan Mataram Surakarta. Sebab, karya seni pertunjukan wayang kulit bisa menghimpun beberapa komponen dan menyatukan beberapa elemen seni yang menjadi satu-kesatuan karya, yang sulit ditandingi oleh karya peradaban apapun di masanya.

Di zaman sekarang, dengan peralatan teknologi modern, karya sinematografi berupa film atau video bisa melukiskan hasil karya penyatuan berbagai komponen dan elemen yang dibutuhkan untuk menyajikan sebuah gambaran kehidupan, mendekati utuh. Dengan peralatan dan teknologi ala-kadarnya atau mungkin saat itu sudah dianggap modern, para Empu wayang, Empu gamelan, Empu gending dan para Pujangga Jawa, bisa menghasilkan karya hebat dan mendekati kesempurnaan puncak karya yang melukiskan kehidupan, yaitu seni pertunjukan wayang kulit.

JENIS BERKUALITAS : Abdidalem dalang Ki KRT Dr Bambang Suwarno paham betul semua koleksi wayang pusaka kraton yang dikeluarkan dengan ritual “Ngesis Wayang weton Anggara Kasih”, Selasa Kliwon (28/2), adalah jenis karya berkualitas dan berkelas yang pantas menjadi pusaka kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hampir sama dengan karya sinematografi atau audio-visual atau video, seni pertunjukan wayang kulit bisa disajikan kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja, asalkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Sama-sama punya konten artistik, estetik dan etik, kalau film bisa dilihat di gedung bioskop, TV dan HP, sedangkan seni pertunjukan wayang kulit yang komponen dan elemennya “full” artistik, estetik dan tata-nilai etik, lebih menghasilkan respon apresiatif kalau dilihat secara manual atau “live show” ketimbang di film, video atau HP/Youtube.

Semua unsur komponen dan elemen bisa terpenuhi, kalau syarat-syarat yang dibutuhkan masing-masing jenis seni pertunjukan itu juga terpenuhi. Tetapi, sebagai satu-kesatuan puncak karya peradaban ketika disajikan di ruang publik dengan maksud untuk berbagai keperluan, minimal entertainment (hiburan), sekadar informatif atau tujuan ideal eduktif, terpenuhi atau tercapainya tujuan yang “full” artistik, estetik dan tata-nilai etik itu, sangat tergantung siapa “figur dalang” untuk seni pertunjukan wayang atau sutradaranya (pertunjukan sinematografi).

PALING TINGGI : Koleksi sekotak wayang KK Jimat yang dikeluarkan Gusti Moeng pada ritual “Ngesis Wayang weton Anggara Kasih”, Selasa Kliwon (24/1), adalah jenis karya tatah sungging wayang di zaman Kraton Mataram Kartasura yang dikategorikan sebagai berkualitas kelas 1 atau paling tinggi di antara anak wayang yang ada. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kini, melihat seni pertunjukan wayang kulit secara “live” atau “live show”, memang sudah sangat jarang, bahkan langka terjadi di perkotaan atau kota-kota besar dibanding puluhan tahun sebelum 1998 dan belasan tahun setelah 1998 dan sebelum “politik identitas” dan pandemi Corona melanda Republik yang berbasis budaya ini. Seni pertunjukan wayang kulit “live show” semakin tidak memungkinkan ada, salah satunya karena faktor biaya yang sangat mahal, karena untuk menggelar pentas yang nilai biayanya ditentukan figur dalangnya dari kelas medium saja, sedikitnya perlu tersedia dana Rp 50 juta.

Dengan berbagai pertimbangan secara ekonomis dan non-ekonomis yang sama-sama berat di atas, kalau tujuannya hanya ingin mendapatkan referensi pengetahuan dan edukasi tentang karya bersejarah, yang artistik, estetik dan kuat pula unsur tata-nilai etiknya, cukup dengan berwisata di Kraton Mataram Surakarta tiap datang weton Selasa Kliwon. Setiap 35 hari sekali tepat pada hari weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, di kraton digelar ritual “ngesis wayang” atau mengeluarkan sekotak anak wayang pusaka, untuk diangin-anginkan atau “diangini” sebagai cara yang uni untuk menjaga agar anak wayang itu berumur panjang.

SELALU MENJAGA : KPP Wijoyo Adiningrat selalu hadir dan menjaga berlangsungnya tatacara mengeluarkan sekotak wayang KK Jimat pada ritual “Ngesis Wayang weton Anggara Kasih”, Selasa Kliwon (24/1). Karena, ritual pusaka kraton itu menjadi bidang tugas dan tanggungjawabnya sebagai Wakil Pengageng Mandra Budaya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kraton Mataram Surakarta, sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu punya tatacara untuk merawat anak wayang yang cujup unik, karena dilakukan dalam sebuah proses ritual atau upacara adat dan sudah menjadi tradisi rutin yang harus dilakukan, sebagai bagian dari perilaku menjalankan sistem tata-nilai adat di lingkungan internal kraton. Hingga kini, ritual itu tetap bertahan sebagai upacara adat yang hanya untuk kalangan terbatas atau internal yang bertugas atau yang punya otoritas di dalam kraton.

Ritual “ngesis wayang” itu, menjadi salah satu di antara belasan jenis upacara adat yang dijalankan di kraton, karena sekotak anak wayang yang dikeluarkan dari tempat penyimpanannya khusus di gedhong Lembisana, adalah wayang pusaka yang proses pembuatannya oleh abdidalem Empu wayang di kraton, dengan proses fisik dan non-fisik. Karena dihasilkan melalui proses kerja fisik dan non-fisik, serta menggunakan bahan-bahan berkelas, tentu saja hasilnya juga berkualitas, berkelas dan tak sekadar wujud fisik anak wayang seperti koleksi para dalang di luar kraton, tetapi sudah dianggap sebagai pusaka. (Won Poerwono-bersambung/i1)