Tak Sepantasnya Jadi Lirik Lagu Tapi Terkesan Merendahkan
SRAGEN, iMNews.id – Setelah lokasi Astana Pajimatan di tiga kompleks makam terpisah di Kabupaten Ponorogo (Jatim) diziarahi dalam sehari, Minggu (26/2), selama sehari Senin siang (1/3) tadi Pengageng Sasana Wilapa memimpin rombongan Kraton Mataram Surakarta untuk “Caos Bhekti Tahlil” di tiga makam terpisah di wilayah Kabupaten Karanganyar dan Sragen. Tetapi, rombongan “Tour de Makam” kali ini sekitar 30-an orang yang semuanya wanita, anggota Putri Narpa Wandawa, dan dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng.
Agenda perjalanan keliling Nyadran di sejumlah makam para leluhur Dinasti Mataram yang mirip “Tour de Makam”, sampai Senin (1/3) sudah menginjak kesempatan atau hari ketiga. Yang pertama dimulai di awal bulan Ruwah Tahun Ehe 1956 dengan “nyekar” dan “Caos Bhekti Tahlil” di makam Kyai Ageng Henis di Astana Pajimatan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Surakarta, Kamis (23/2) yang menjangkau empat lokasi Astana Pajimatan di wilayah Pengging, Kabupaten Boyolali, salah satunya “petilasan” Kebo Kenanga.
Hari ketiga siang tadi, “Caos Bhekti Tahlil” kepada para leluhur Dinasti Mataram diawali dengan “Nyadran” di makam Jaka (Joko-Red) Tingkir atau Mas Karebet yang kemudian menjadi raja di Kraton Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya (1550-1582). Pajang, kini hanya sebatas nama wilayah seukuran desa yang masuk wilayah Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.
Di satu kompleks makam Astana Pajimatan Butuh yang terletak di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen itu, juga terdapat makam tokoh leluhur lainnya, Kyai Ageng Kebo Kenanga yang menjadi Adipati di Kadipaten Pengging, ketika Mataram masih BerIbu Kota di Kartasura (1645-1745). Selain makam putra Kyai Ageng Kebo Kanigara itu, juga ada makam(KP) Benawa atau Pangeran Benowo dan makam belasan tokoh lain, termasuk Kyai Ageng Ngerang dan istrinya, Nyi Ageng Ngerang.
“La, di sini makam sebenarnya eyang Kebo Kenanga dan istrinya (Nyai Ageng Kebo Kenanga). Kalau yang di Pengging itu, hanya petilasannya. Tetapi, ada juga yang meyakini, makam Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir yang sebenarnya ada di daerah (Kecamatan) Tawangsari, Sukoharjo. Di sini juga ada makam RAy Kodok Ijo, yang sebenarnya RAy Kedok Ijo,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id saat mengikuti “Tour de Makam”, siang tadi.
Karena Jaka Tingkir adalah seorang Raja di Kraton Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya yang notabene tokoh besar dalam sejarah kraton di Jawa, menurut peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi, tidak selayaknya nama kecil raja Mas Karebet alias Jaka Tingkir itu dijadikan lirik lagu dangdut koplo, tetapi terkesan direndahkan dalam kalimat “Joko Tingkir ngombe dawet…. (Aja dipikir ndak gawe mumet-Red)”.
“Mosok membahasakan Raja kok ngombe dawet. Kalangan anak muda bisa bikin lagu berbahasa Jawa, patut dihargai di masa kini. Tetapi, sebaiknya digunakan kata-kata yang tidak menyinggung perasaan masyarakat (Jawa), yang sangat menghormati tokoh Jaka Tingkir. Karena, beliau adalah Raja di Kraton Pajang, bergelar Sultan Hadiwijaya,” sentil Dr Purwadi saat mengikuti pisowanan agung “tingalan jumenengan perdamaian” SISKS PB XIII, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 16/2).
Agenda perjalanan Nyadran” di bulan Ruwah “Caos Bhekti Tahlil” yang dilakukan Kraton Mataram Surakarta dan dipimpin langsung oleh Gusti Moeng selaku pengageng Sasana Wilapa yang juga Ketua LDA di tahun ini, memang tidak serapat jarak waktunya dengan agenda “Tour de Makam” atau “Ruwahan” di tahun lalu. Di sela-sela dia agenda perjalanan, ada waktu tiga sampai 5 hari istirahat, tetapi waktu istirahat Selasa Kliwon (28/2) tetap saja diisi dengan memimpin ritual Anggara Kasih, yaitu “Ngesis Wayang” di gedhong Sasana Handrawina, dilanjutkan gladen tari Bedaya Ketawang di Pendapa Sasana Sewaka.
Yang membedakan ritual “Caos Bhekti Tahlil” di Astana Pajimatan Butuh, makam Kebo Kenanga, Sultan Hadiwijaya dan belasan tokoh leluhur Dinasti Mataram itu, adalah rombongan yang mengiringi Gusti Moeng, yang biasanya terdiri dari sentanadalem pimpinan bebadan dan jajaran abdidalem garap “Kabinet 2004” yang rata-rata laki-laki ditambah ibu-ibu dan kaum perempuan yang jumlahnya di atas 50-an. Khusus “Tour de Makam” siang tadi, jumlahnya 30-an tetapi semuanya perempuan, yaitu anggota organisasi Putri Narpa Wandawa.
Organisasi itu sama kedudukan dan “tujuan politik”nya dengan organisasi Paguyuban Kawula Kraton Surakarta atau Pakasa, yang diinisiasi berdirinya oleh Sinuhun PB X di tahun 1931, tetapi beda hari dan bulan kelahirannya. Dari Astana Pajimatan Butuh, rombongan melanjutkan perjalanan ke kompleks makam Kragilan, Margayoso, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar. Dari makam eyang buyut Gusti Moeng, rombongan mengakhiri “nyadran” di makam leluhur dari garis ibunda yang ada di Desa Botok, Kecamatan Kerjo, Kabupaten Sragen, dalam suasana hujan deras, menjelang pukul 16.00 WIB. (won-i1)