Momentum untuk Mengagumi Diri dan Budayanya
IMNEWS.ID – DARI berbagai momentum yang manfaatnya bisa dirasakan saat berada di tengah-tengah peristiwa upacara adat tingalan jumenengandalem SISKS Paku Buwana XIII, Kamis Pon (16/2), Rejeb, Tahun Ehe 1956 (iMNews.id, 16/2/2023) itu, adalah lahirnya kekaguman. Aspek manusiawi yang secara spontan muncul itu, menjadi bagian dari berbagai aspek dan sejumlah sinyal yang menjadi simbol “message” dari upacara itu, yang bisa dimaknai sangat jauh ke sumber asal yang telah membuat kagum, yaitu yang berada di dalam nilai-nilai ketuhanan (teologi).
Salah satu sikap kekaguman secara spontan terhadap sesuatu yang berasal dari nilai-nilai ketuhanan, tertuju pada wujud visualisasi diri semua yang sedang “sowan” mengenakan busana adat secara lengkap, penuh estetika dan etika, serta digenapi dangan “solah-bawa, tindak-tanduk dan tatabasa” yang mencerminkan bagian dari satu-kesatuan yang tak terpisahkan dari budaya Jawa. Karena, pada saat-saat berada di tengah upacara adat seperti itulah, secara tidak sadar sebagian besar atau kecil atau berapapun, secara spontan berkata dalam hati merasa kagum terhadap diri-sendiri, yang bisa diidentifikasi ketika melakukan selfi, berfoto bersama, berkaca memantas diri, bertanya untuk melihat apakah ada kekurangan dalam berbusana dan sebagainya.
“Hanyenyandhang mono, dadya sarana memangun manungsa njaba-njero, marmane pantesen ngenganggonira. Trepna trapsilaning panganggonira, jumbuhna kalawan kahananning badanira, kalungguhan, miwah pepangkatira”. Itu tadi adalah petikan dari pesan bijak Sinuhun Paku Buwana IX (1861-1893), yang dikenal telah mendeklarasikan stelan busana “Langenharjan” untuk kaum lelaki. Nama baru dari stelan busana jas bangsa Belanda yang dipotong melengkung hampir setengah lingkaran di ujung belakangnya itu, diberikan saat dikenakan KGPAA MN IV yang sowan Sinuhun PB IX di Pesanggarahan Langenharjo (kini masuk Kabupaten Sukoharjo).
Bila dijelaskan secara umum pesan bijak Sinuhun PB IX itu adalah, “Berbusana itu, adalah sarana memantaskan manusia secara fisik (luar) dan nonfisik (dalam). Oleh sebab itu, berpantas dirilah dalam berbusana. Sesuaikan dengan tata nilai kepantasan (etika) anda dalam berbusana. Sesuaikan busana anda dengan kondisi fisik (lebih dari segala ukuran-Red), kedudukan dan jabatan/pangkat anda”. Selain ini, masih ada kata bijak Sinuhun PB X yang menegaskan bahwa : “Ajining Raga/Sarira, Dumunung Ana ing Busana”, yang kurang lebih bermakna bahwa nilai dari tubuh/fisik kita, ada pada (kepantasan) busana yang kita kenakan.
Dari satu sisi bagaimana cara berbusana yang pantas dan sesuai dengan kondisi diri secara riil, menjadi pelajaran/edukasi yang sangat berharga dari peristiwa pisowanan agung tingalan jumenengandalem ke-19 Sinuhun PB XIII, dan juga peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi di Kraton Mataram Surakarta dari ratusan tahun lalu hingga kini. Dengan demikian, peristiwa itu berulang-ulang terjadi setiap tahun yang lebih dari sekali, karena kraton memiliki banyak sekali upacara adat yang harus dilegitimasi pada pisowanan agung yang digelar.
Oleh sebab itu, dengan melihat aspek berbusana adat secara tepat dan benar sesuai dengan kepantasannya saja, peristiwa “tingalan jumenengan perdamaian” itu sudah memberi manfaat edukasi yang luar biasa kepada keluarga besar masyarakat adatnya, bahkan kepada publik secara luas. Bahkan di situlah letak kepribadian yang secara simbolik menjadi bagian dari “Taman Bunga Nusantara” yang bhineka itu di satu sisi, dan di situlah letak peradaban Jawa yang secara simbolik sudah mencapai puncaknya itu.
“Kala wingi tasih kathah ketingal ingkang mangangge kirang trap kalian pepangkatanipun. Mugi-mugi wonten ing pepanggihan pisowanan agung sane lan salajengipun ingkang badhe dumugi, saya sami ngugemi lan nindakaken paugeran adat kanthi jangkep lan sae. Utaminipun tatacara nyandhang panganggenipun para abdidalem. Tasih kedah dipun paringi sesuluh ingkang kathah, lumantar kesempatan pepanggihan menapa kemawon. Wonten lingkungan parepatan pengurus Pakasa cabang, ugi sae kangge paring sesuluh bab menika,” ujar KRAT Seviola Ananda Reksobudoyo dalam bahasa Jawa krama inggil, saat dihubungi iMNews.id, kemarin.
Ketua Pakasa Cabang Trenggalek (Jatim) itu, adalah figur generasi muda yang karena usianya masih 30-an tahun, dipercaya memimpin Pakasa Cabang Trenggalek, dan karenanya menjadi ketua Pakasa termuda di antara pengurus Pakasa yang tersebar di semua wilayah provinsi. Meski begitu, fakta muda usia dan perbedaan generasi itu justru membuatnya sangat pantas menjadi contoh bagi generasi muda lain, khususnya yang ada di wilayah masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta dan jangkauan wilayah peradaban Jawa.
Tak hanya KRAT Seviola dan rombongan Pakasa cabang dari Kabupaten Trenggalek, ritual “tingalan jumenengan perdamaian” yang baru saja lewat itu juga menjadi “eforia” sekaligus pengalaman yang berharga bagi rombongan pengurus dan warga cabang-cabang Pakasa dari berbagai daerah kini semakin luas. Karena, animo warga cabang yang ingin sowan dengan stelan busana adat, sekaligus berwisata di kraton yang belakangan sering muncul di berbagai media karena peristiwa penutupan selama 5 tahun lebih itu, ternyata sangat besar.
Besarnya animo warga dan pengurus cabang yang ingin ikut “sowan” ini harus dimaknai sebagai semakin besarnya dukungan legitimasi terhadap kraton sebagai sumber budaya Jawa. Kalau di dalamnya juga banyak generasi muda yang mulai mencintai stelan busana adat Jawa yang masih dalam kadar “kontes mode”, haruslah dimaknai sebagai awal kecintaan terhadap budaya Jawa, dan awal dari proses terbentuknya potensi pelestarian budaya dan penguatan terhadap upaya menjaga eksistensi Kraton mataram Surakarta. Seiring dengan itu, kerja penegakaan sistem tata-nilai paugeran adat juga harus ditingkatkan intensitasnya. (Won Poerwono-bersambung/i1)