Kali Kedua untuk Tari Bedaya Ketawang, Setelah 20 Desember 2022
IMNEWS.ID – SELASA Kliwon tanggal 24 Januari yang akan segera tiba, merupakan ritual atau upacara adat pertama “Ngesis wayang” yang akan digelar Pengageng Sasana Wilapa setelah “libur panjang” karena lebih 5 tahun Kraton Mataram Surakarta ditutup dan hanya upacara adat tertentu saja digelar sejak April 2017. Ritual mengeluarkan sekotak wayang dari tempat penyimpanannya secara bergiliran tiap 35 hari sekali atau weton Anggara kasih itu, banyak tujuan yang bisa dicapai baik secara spiritual maupun secara teknis yang di antaranya untuk menghindarkan kulit bahan anak wayang itu dari hama jamur ketika mendapatkan angin langsung di udara terbuka dalam beberapa jam.
Sebelum adanya “insiden mirip operasi milter” yang terjadi April 2017 yang membuat kraton ditutup, upacara adat ini secara rutin digelar kraton dan selalu mendapat perhatian GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa, KGPH Puger selaku Pengageng Sasana Pustaka yang juga bisa mendalang serta para pekerja seni di bidang pedalangan dari luar kraton. Dan bersamaan dengan ritual “Ngesis wayang”, weton Anggara Kasih juga menjadi jadwal khusus para penari Bedaya Ketawang dari Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton pimpinan Gusti Moeng, untuk melakukan “gladen” atau latihan di Pendapa Sasana Sewaka.
Khusus untu ritual “Ngesis wayang” atau mengangin-anginkan wayang, tiap waktu ritual tiba hanya dikeluarkan sekotak dari 17 kotak wayang koleksi kraton. Tetapi urutan kotak yang dikeluarkan, tidak harus mengikuti giliran waktu masing-masing nama sekotak wayang, melainkan harus dilihat kondisinya apakah sudah mendesak untuk dikeluarkan atau “diesis” sambil direparasi apabila ada kerusakan kecil, atau tidak.
Ritual “Ngesis wayang” ini, biasanya Pengageng Sasana Wilapa menugaskan kepada figur abdidalem dalang senior yang sudah dipercaya dan dibantu para abdidalem lain dari Kantor Pengageng Mandra Budaya dan sejumlah seniman dalang dari luar kraton seperti ISI Surakarta, SMKI dan dalang profesional yang dipercaya untuk membantunya. Terakhir sebelum kraton ditutup 2017, abdidalem dalang senior asal Nganjuk, Ki KRT Panut Darmoko yang selalu memimpin ritual “Ngesis wayang”.
“Yang jelas, Anggara Kasih yang akan datang (24 Desember), upacara adat Ngesis wayang harus dilakukan. Sudah terlalu lama tersimpan di dalam ruang, bisa jamuran semua. Saya belum menunjuk siapa yang bertanggungjawab memimpin. Ki Panut Darmoko sudah tidak ada (Meninggal-Red). Ya, mestinya abdidalem dalang senior yang sudah benar-benar ‘sepuh’. Mas Sihanto juga sudah tidak ada (meninggal-Red),” ujar Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.
Sebelum 2017, ritual “Ngesis wayang” lebih sering digelar di dalam “gedhong” Sasana Handrawina, yang dimulai sekitar pukul 10.00 Wib hingga pukul 13.00 WIB lebih. Tiap anak wayang dikeluarkan dari kotak, lalu dikaitkan menggantung di tambang yang dibentang hampir melingkari empat saka guru atau tiang penyangga tengah Sasana Handrawina. Sekotak yang isinya rata-rata 200 buah anak wayang dijajar di tambang, sedang bila ada kerusakan kecil misalnya benang yang menjadi engsel tangan didapati putus, saat itu pula langsung dibetulkan. Begitu pula kalau ada “gapit” yang putus, langsung direparasi.
Dari 17 kotak wayang itu, tidak semuanya jenis wayang kulit yang tokoh-tokohnya masuk katagori wayang purwa, tetapi ada juga wayang madya dan Gedhog, bahkan ada wayang kancil/kidang. Rata-rata produk pembuatannya pada zaman Sinuhun PB II atau malah sebelumnya, saat Kraton Mataram masih berada di Ibu Kota Kartasura hingga tahun 1745. Koleksi wayang kraton menjadi acuan bagi dunia seni pedalangan dan insan seniman dalang secara luas tak hanya di wilayah etnik Jawa, termasuk pula referensi pengetahuan tentang lakonnya, oleh sebab itu seni pedalangan “gaya” Kraton Mataram Surakarta menjadi gaya tersendiri yang dikenal luas sebagai “gaya” atau “Gagrak” Surakarta.
Sejumlah dalang senior dari bekas wilayah Mataram Surakarta atau yang menjadi sebaran seni pedalangan “Gagrag” Surakarta, hingga kini rata-rata masih menjadikan pedalangan “Gaya” Surakarta sebagai referensi dan babon serta panduan aktivitasnya berkesenian secara profesional di wilayahnya. Namun, hanya sedikit nama yang dipercaya kraton menjadi abdidalem, apalagi diberi kepercayaan untuk memimpin ritual “Ngesis wayang”. Karena, setelah Ki Redi Suta (Wonogiri) di tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an, hanya Ki Panut Darmoko yang muncul melanjutkan hingga kraton ditutup di tahun 2017 dan di sekitar tahun itu dalang “sepuh” asal Nganjuk itu meninggal.
Dengan kembali dibukanya kraton untuk bisa dikunjungi publik, di satu sisi ada peluang upacara adat “Ngesis wayang” tiap weton Anggara Kasih itu menjadi objek pemandangan yang menarik untuk disaksikan, karena nilai edukasinya sangat tinggi. Namun juga perlu dipertimbangkan bagaimana tatacara penyajiannya ketika dilihat wisatawan, agar tidak mengganggu dan mengurangi makna dan tujuan utama ritualnya.
Bila ritual “Ngesis Wayang” disajikan di “Gedhong” Sasana Handrawina pada weton Anggara Kasih, itu jelas waktunya hampir bersamaan dengan aktivitas “gladen” tari Bedaya Ketawang yang selalu digelar di tempat yang bersebelahan, yaitu Pendapa Sasana Sewaka. Namun, latihan menari yang biasanya diikuti dua tim penari atau 18 penari itu lebih sering dimulai setelah pukul 12.00 WIB, yang seakan berurutan dengan ritusl “Ngesis Wayang”. (Won Poerwono-i1)