Format Prosesi dan Rute Harus Berubah Karena Beberapa Akses Pintu Ditutup
IMNEWS.ID – KAMIS siang sekitar pukul 11.00 WIB, sekitar 200 orang rombongan peserta upacara adat dari Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Dewan Adat (LDA), sudah mulai menata barisan di jalan masuk Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Mereka bergegas berada dalam urutan barisan begitu turun dari dua bus besar dan sejumlah mobil pribadi yang mengangkutnya, sesuai yang sudah tersusun di Pendapa Sitinggil Lor, maupun saat berangkat dari Pawon Gandarasan yang menjadi awal proses upacara adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung itu.
Bila dirunut urut, pisowanan kecil di dapur umum Kraton Mataram Surakarta yang dikenal dengan nama Pawon Gandarasan itu, sudah dimulai pukul 08.00 WIB sesuai “dhawuh” dari GKR Wandansari Koes Moertiyah, baik selaku Ketua LDA maupun Pengageng Sasana Wilapa. Pawon Gandarasan, sejak Sinuhun Paku Buwana (PB) II mendirikan Kraton Mataram Surakarta pada 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745, berfungsi menjadi tempat mengumpulkan bahan-bahan kuliner, sekaligus tempat memasak segala macam kuliner keperluan logistik kedinasan di dalam, keluarga besar “raja” dan keperluan upacara adat yang digelar kraton sedikitnya ada 9 macam tiap tahunnya.
Karena salah satu pintu Pawon Gandarasan menghadap ke sebuah gang kecil di dalam tembok pembatas (Kelurahan) Baluwarti, maka menjadi alternatif yang baik bagi Pengageng Sasana Wilapa yang akrab disapa Gusti Moeng itu untuk menjalankan semua prosesi upacara adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung secara lengkap. Karena, beberapa akses pintu yang biasanya dilalui untuk prosesi membawa kepala kerbau dan segala macam kelengkapan uba-rampe upacara, ditutup rapat sejak insiden 2017. Sementara, untuk Sesaji Mahesa Lawung, harus dimulai dengan doa wilujengan yang dipimpin abdidalem jurusuranata di dalam Pawon Gandarasan.
Sebagai ilustrasi, akses pintu Pawon Gandarasan yang menuju ke gang, adalah pintu yang sudah ada sejak kraton dibangun, bukan baru-baru saja dibuka atau dirubah. Seperti perubahan yang terjadi pada beberapa sudut bangunan tata ruang kawasan kedhaton di dalam tembok Baluwarti, misalnya pintu “butulan” yang dijebol saat terjadi banjir besar melanda Surakarta di tahun 1966, serta sejumlah bangunan pendukung yang ada di luar Baluwarti tetapi dalam kawasan Kraton Mataram Surakarta di atas tanah seluas lebih dari 90 hektare itu.
Satu hal lagi yang berkait dengan ilustrasi tentang realitas keberadaan tata ruang kraton di kawasan inti kraton, kawasan sakral, kawasan kedhaton dan kawasan keseluruhan struktur kraton adalah yang berkait dengan beberapa jenis perubahan yang terjadi sejak 17 Agustus 1945, saat Sinuhun PB XII menyatakan menggabungkan “kedaulatan politik dan kewilayahannya” ke dalam NKRI. Pintu butulan yang sengaja dijebol karena untuk kebutuhan penanganan banjir besar Bengawan Sala, tetapi segala jenis perubahan lain termasuk “ndalem” Suryahamijayan dan ndalem Ngabeyan yang “dijual” kepada pribadi tertentu, tentu berhadapan dengan UU tentang perlindungan situs peninggalan sejarah dan purbakala yang baru muncul pada tahun 2010 yaitu UU BCB No 11/2010.
UU BCB No 11/2010 tentu harus dilaksanakan secara benar dan sungguh-sungguh, untuk melindungi semua kekayaan NKRI khususnya tentang situs-situs peninggalan sejarah dan purbakala, apalagi yang berkait dengan peradaban Mataram, bila berbicara tentang kekayaan sejarah yang masih bisa dilihat jejaknya di pulau Jawa khususnya peninggalan Mataram di Surakarta. Kekayaan sejarah dan budaya yang menjadi kekuatan NKRI selain sumber daya alamnya (SDA), sangat bisa diandalkan sebagai benteng ketahanan nasional, menjadi cirikhas kepribadian bangsa serta bisa menghasilkan devisa banyak ketika menjadi komoditas sektor pariwisata, seandainya pemerintah bisa mengajak masyarakatnya untuk merawat dengan baik segala macam peninggalan leluhur bangsa ini.
Berubahnya rute dan format prosesi upacara adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung, jelas bukan karena ada akses pintu Pawon Gandarasan, tetapi akibat konflik dan friksi di internal yang memuncak dan dimaknai secara salah oleh penguasa yang memerintahkan 2000 polisi (Brimob) dan 400 tentara dengan melakukan kegiatan “mirip operasi militer” pada tanggal 15 April 2017 itu. Pintu Pawon Gandarasan tetap lestari, apalagi menjadi bagian yang dilindungi UU BCB No 11/2010, dan Gusti Moeng selaku Ketua LDA yang juga Pengageng Sasana Wilapa, hanya ingin bekerja sesuai yang menjadi tugas, kewajiban dan tanggungjawabnya untuk melestarikan budaya Jawa dan menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta.
Tugas, kewajiban dan tanggungjawab itu di antaranya adalah menggelar upacara adat dengan prosesi yang tergolong sangat lengkap, yang dimulai dengan doa wilujengan yang dipimpin abdidalem jurusuranata MNg Irawan Wijaya Projodipuro di Pawon Gandarasan, Kamis pagi sekitar pukul 08.00 WIB. Prosesi kirab yang membawa kepala kerbau dengan segala kelengkapan uba-rampenya itu, berjalan keluar dari gang, dikawal beberapa bregada abdidalem prajurit dan korp musik drumband, untuk menuju tempat upacara di Pendapa Sitinggil Lor. (Won Poerwono-bersambung/i1)