Gamelan Diakui Unesco Menjadi Benda Budaya Warisan Dunia (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:September 21, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Pengakuan Terhadap Unsur Intangable, Bagaimana Unsur Tangable-nya?

IMNEWS.ID – PENGAKUAN Unesco terhadap gamelan Indonesia sebagai benda budaya warisan dunia yang sertifikatnya diserahkan kepada Kemenlu, 15 Desember 2021, adalah bentuk pengakuan terhadap unsur “intangable” atau “tak bendanya”. Dan pengakuan yang dimaksud tentu tertuju pada unsur auditifnya, berupa musik etnik dari instrumen gamelan yang konseptual dengan struktur yang sistematik seperti yang dituntut kaidah pengetahuan musik modern.

Apabila kaidah-kaidah yang dipersyaratkan ternyata bisa dipenuhi musik etnik gamelan Indonesia, bahkan memberi “bonus” lebih banyak elemen dari yang dipersyaratkan, itulah kehebatan musik gamelan Indonesia. Dalam porsi dan ciri peradaban masing-masing, konser orkestra musik gamelan tentu menjadi sejajar dengan konser orkestra “big band” yang sering digelar di Austria, Inggris, Belanda, Jerman dan beberapa negara di Eropa, di saat bersamaan dengan perayaan Natal dan menyambut Tahun Baru.

Dengan titik sentral unsur “intangable-nya” yang ditekankan, benar saja musik gamelan baru kini bisa diakui Unesco menjadi warisan dunia tak benda yang “hanya ada” di Indonesia. Penekanan titik sentral yang dipersyaratkan musik etnik gamelan menjadi warisan dunia, karena musik gamelan dinyatakan sudah menjadi musik universal yang dikenal dan bisa dimainkan siapa saja, tak terbatas wilayah negara dan latarbelakang bangsa mana.

Disangga Rancakan

GAMELAN PAKURMATAN : Konser musik gamelan “Manguyu-uyu” untuk memberitahukan adanya penobatan raja atau tingalan jumenengan, tergolong gamelan “pakurmatan” di Kraton Mataram Surakarta, dengan tatacara memainkannya lebih berat dari gamelan biasa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Musik gamelan ‘kan musik tradisional. Mungkin kita sendiri yang menganggap, musik itu tidak bisa diterima bangsa-bangsa lain. Tetapi, justru karena keunikan musik gamelan di Tanah Air, membuat bangsa-bangsa lain tertarik untuk mengenal, meneliti, mempelajari dan memainkannya, bahkan ikut memilikinya. Kita tentu bangga, kalau ada bangsa-bangsa lain yang menyukai, bisa memainkan bahkan ikut memilikinya. Kita tidak rugi. Toh nama gamelan dan wujud fisiknya tetap asli karya bangsa Indonesia”.

“Sebagai bagian dari masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta yang memiliki koleksi gamelan begitu banyak dan bervariasi peruntukannya, kami senang dan bangga bangsa-bangsa lain mau belajar musik dan memiliki instrumen gamelannya. Musik gamelan yang untuk konsumsi publik ‘kan agak beda dengan koleksi gamelan kraton yang spesifik untuk upacara adat. Tetapi, banyak lembaga universitas di luar negeri membuka program studi jurusan musik etnik gamelan, bahkan membeli gamelan dari Indonesia,” tunjuk GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta, saat dihubungi iMNews.id, kemarin.

Memang benar, sekalipun musik gamelan sudah menjadi musik universal sederajat dengan musik dunia (industri musik) seperti rock, pop, jazz, latin klasik dan sebagainya, sangat mungkin akan lahir pemahaman tentang tatacara operasional atau memainkannya. Karena, gamelan yang wujud fisiknya rata-rata ditopang dengan konstruksi kayu penyangga yang disebut “rancakan”, tentu juga dipahami bagaimana cara membunyikan atau menabuh atau memainkannya.

Jika Berkalung Samir

GAMELAN AGENG : Gamelan Ageng yang merupakan perpaduan antara gamelan Slendro Kiai Mangunharja dan gamelan Pelog Kiai Harjabinangun di Kraton Surakarta, mirip gamelan musik universal. Tetapi, kelengkapan dan tatacara memainkannya jelas lebih berat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Meskipun sudah menjadi musik universal, cara memainkan gamelan mungkin agak sulit dilakukan kalau asumsinya sama dengan memainkan instrumen musik modern semisal band atau big band dengan segala kelengkapan daya dukungnya. Untuk itu perlu mengedukasi kepada publik yang ingin mengenal, tertarik belajar, ingin menjadi musisi etnik gamelan atau bahkan ingin memiliki gamelan. Misalnya, edukasi tentang tatacara memainkan, yang bisa menyangkut sikap badan saat organ tangan menabuh gamelan untuk pencapaian hasil auditif yang sempurna.

“Saya merasa terhormat dilibatkan dalam konser “Mahambara Gamelan Nusantara”, kemarin itu. Tetapi saya lebih senang kalau event besar konser musik etnik gamelan seperti itu, disertai sesi edukasi kepada para penontonnya secara simbolik, singkat dan sederhana saja. Karena, banyak penonton yang notabene warga Kota Surakarta atau sekitarnya, awam tentang gamelan, apalagi sangat awam tentang tatacara yang benar untuk memainkannya”.

“Misalnya, kalau Gamelan Sekaten atau gamelan pakurmatan yang ditampilkan, ya dilengkapi dengan edukasi tentang adanya elemen esensial berupa untaian kembang melati di ‘rancakannya’. Cukup dijelaskan bisa langsung, atau lewat slide. Syukur bage diwujudkan riil. Termasuk mengenakan atribut yang mempertegas identitas musik gamelan yang disajikan, misalnya berkalung samir,” tegas Dr Joko Daryanto yang tinggal menunggu wisuda atas gelar doktoralnya itu.

Edukasi Tata Cara

MUSIK SANTISWARAN : Kraton Mataram Surakarta juga punya koleksi musik gamelan yang unik dan langka, yaitu musik Santiswaran. Jenis musik ini juga dikenal di kalangan masyarakat tertentu, karena lebih banyak untuk mengiringi kegiatan spiritual religi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bila berbicara tentang bermusik atau sekadar ingin memainkan musik, memang ada kebebasan berekspresi di sana. Apalagi, musik modern dan kini menyusul musik etnik gamelan sudah menjadi universal, yang sangat mungkin diasumsikan ada kebebasan dalam memainkannya atau menggunakannya. Tetapi, oleh siapan, kapanpun dan di manapun musik dimainkan, tentu ada kaidah aturan atau tata nilainya, terlebih ketika ditampilkan dalam sebuah konser orkestra di atas panggung, dan dilihat banyak orang dalam suasana panggung terbuka atau pertunjukan ekslusif di gedung kesenian.

Dalam sebuah format event konser musik etnik sejenis yang ditampilkan di halaman balai Kota Surakarta, Jumat malam (16/9) itu misalnya, seandainya yang tampil adalah grup band, orkes keroncong, grup dangdut campursari sekalipun, tentu tidak elok kalau para senimannya mengenakan kaos, bercelana pendek dan bersandal jepit. Di situ tetap ada tatacara yang di dalamnya ada tata nilai yang membatasinya, yaitu berpenampilan pantas, elegan dan terhormat karena mungkin saja para penontonnya adalah orang-orang terhormat, yang bersama para penonton lain ingin memberi penghormatan kepada semua yang tampil.

Dalam kerangka seperti inilah, edukasi tentang tata cara dan tata nilai harus disertakan, terlebih ketika yang dimainkan dan disajikan adalah musik etnik gamelan. Apalagi, ketika melihat wujud fisik gamelannya, jelas tidak mungkin dimainkan dalam konser orkestra dengan cara berdiri dan berjoget jingkrak-jingkrak. Ada tata nilai berupa busana adat khas Jawa terutama bila gamelan gaya Surakarta, yang harus dikenakan, dan harus duduk bersila ketika memainkan gamelan di depannya yang disangga “rancakan” dengan ukuran tepat setinggi ujung siku seniman yang memainkannya. (Won Poerwono-bersambung/i1)