Dosen Asga Persembahkan Tari Bedaya Ladrang “Mangun-Kung” untuk SIJ MN X (1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 21, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Tertunda Beberapa Tahun, Tapi Momentumnya Malah Tepat

IMNEWS.ID – TANGGAL 10 Juni yang jatuh pada hari Jumat Pahing, belum lama ini, menjadi catatan sejarah bagi beberapa pihak yang terlibat dalam peristiwa pergelaran tari Bedaya Ladrang Mangun-Kung di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran. Pengageng Pura yang baru beberapa bulan dinobatkan sebagai Sampeyandalem Ingkang Jumeneng (SIJ) KGPAA Mangku Nagoro (MN) X, tentu menjadi pihak utama yang mendapatkan makna sekaligus momentum lahirnya koleksi baru tari bedayan khas Pura Mangkunegaran itu.

“Bahkan, itu karya perdana di awal jumenengnya Kanjeng Gusti Mangkunagoro X. Luar biasa. Semua menjadi serba tepat. Baik makna, momentum dan kebutuhannya. Dalam sejarah raja-raja Dinasti Mataram, atau bahkan jauh sebelumnya, karya selalu menjadi semacam kebanggaan dan ukuran ketokohannya. Tetapi juga bisa disebut sebagai bentuk legitimasi. Termasuk Bedaya Ladrang Mangun-Kung yang baru saja dipusungsungkan itu,” tegas Widodo Ari Wibowo, sejarawan kandidat doktor dari Akademi Seni Mangkunegaran (Asga) Surakarta, yang diamini beberapa tokoh yang terlibat dalam diskusi santai di kantor Mandrapura, Pura Mangkunegaran, Senin sore (20/6).

Di kantor sekretariat Pura Mangkunegaran sore itu, ada dosen jurusan tari Roesini SKar yang juga pensiunan dosen ISI Surakarta, Samsuri SKar selaku Pengageng Kemantren Langen Praja yang masih mengajar di jurusan tari ISI Surakarta, RT Supriyanto Waluyo selaku Pengageng Mandrapura, sejarawan Widodo Ari Wibowo dosen Asga dan beberapa abdidalem. Karena iMNews.id sedang mengumpulkan data informasi tentang tarian Bedaya Ladrang Mangun-Kung, maka diskusi banyak tertuju pada repertoar tari yang sama sekali baru disusun dan baru 4 kali dipentaskan itu.

Persembahan Untuk MN X

TERIMA PENGHARGAAN : Roesini SKar saat berfoto bersama SIJ KGPAA MN X, GRA Ancilla Sura Marina Sudjiwo dan penata gending serta pamong karawitan Pura Mangkunegaran, menerima penghargaan seusai pergelaran tari “Bedaya Ladrang Mangun-Kung” dan penganugerahan penghargaan di Pendapa Agung, Jumat malam (10/6).(foto : iMNews.id/dok)

Ketika diskusi tertuju pada repertoar kategori tari “Bedayan” itu, maka Roesini SKar-lah yang banyak memberi penjelasan, karena banyak mendapat pertanyaan. Dan dialah tokoh wanita yang kini berusia sekitar 70-an tahun itu, yang telah menyusun karya tari berjudul Bedaya Ladrang “Mangungkung” itu. Mulai disusun sejak tahun 2011, tetapi baru bisa jadi beberapa tahun kemudian, dan sedianya akan dipersembahkan atau sebagai “pisungsung” untuk SIJ KGPAA Mangkunagoro (MN) IX, tetapi karena banyaknya rintangan menghadang termasuk pandemi Corona, akhirnya baru bisa dipisungsungkan di saat SIJ KGPAA MN X jumeneng di tahun 2022 ini.

“Saya tidak tahu, mengapa yang mulai saya susun tahun 2011, tetapi sampai berlarut-larut dan baru sekarang bisa saya pisungsungungkan. Dan kebetulan di awal jumenengnya Kanjeng Gusti Mangkunagoro X. Mohon maaf, waktu itu sedianya ingin misungsung beksan ini kepada Kanjeng Gusti Mangkunagoro IX. Semua serba kebetulan. Saya tidak tahu kenapa begitu. Yang jelas, saya merasa bangga, bersyukur dan berterima kasih. Karena pisungsung saya sudah diterima Kanjeng Gusti,” jelas salah seorang seniwati yang juga salah seorang putri pemeran tokoh Gatutkaca di WO atau wayang “wong” Sriwedari, Rusman Harjowibakso (alm).

Menjawab beberapa pertanyaan iMNews.id, Roesini SKar merasa lebih pas disebut sebagai penyusun tari, bukan pencipta tari, seperti yang disepakati kalangan seniman khususnya seniman tari sejak Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) lahir di tahun 1960-an, kemudian berubah menjadi Sekolah Tinggsi Seni Karawitan Indonesia (STSI) dan akhirnya menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) hingga sekarang ini. Sebagai salah seorang lulusan jurusan tari ASKI, Roesini benar-benar berusaha memahami cirikhas dan karakter karya tari rumpun “Bedayan” maupun “Srimpen” baik gaya Kraton Mataram Surakarta, maupun gaya Pura Mangkunegaran, serta rumpun tari klasik lainnya.

Identik Wanita Tangguh

BERFOTO BERSAMA : Roesini SKar selaku koreografer/penyusun tari,  para penari dan pendukung pergelaran tari “Bedaya Ladrang Mangun-Kung”, berfoto bersama setelah pergelaran tari sebagai “pisungsung” untuk SIJ KGPAA MN X di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran, Jumat malam (10/6). (foto : iMNews.id/dok)

Karena proses pemahaman dan pembelajaran yang dilakukan dengan baik dalam waktu begitu panjang, maka tidak aneh kalau Roesini SKar menjadi seorang koreografer sekaligus instruktur yang bisa menyusun karya tari Bedaya Ladrang “Mangungkung”, selain beberapa karya lain, baik secara mandiri maupun bersama penyusun lain. Termasuk pula,  sejumlah seniman lulusan ASKI, STSI bahkan ISI, seperti Wahyu Santosa Prabowo SKar, Sunarno SKar (alm) dan banyak nama lagi, baik di jurusan tari, karawitan maupun seni pedalangan.

Dalam diskusi hingga tiba waktu magrib itu, ada beberapa masukan Widodo Ari Wibowo yang bisa bersifat mengkritisi karya tari Bedaya Ladrang “Mangungkung”, terutama setelah karya itu dipergelarkan pada malam pentas dan penganugerahan penghargaan atas karya itu di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran, Jumat (10/6). Yaitu mengenai makna kata “Mangungkung” yang dipahami Roesini SKar, dan kata “Mangun Kung” yang dipahami Widodo Ari Wibowo berdasar dokumen literasi kesejarahan yang dimiliki, berikut unsur estetika penampilan para penarinya ketika menggenggam senjata “Wedhung”.

“Saya memahaminya sebagai ‘Ladrang Mangungkung’ yang sifatnya penuh semangat dan greget. Tetapi kalau dari data sejarah tepatnya adalah ‘Mangun Kung’, saya juga bisa memahami dan bisa direvisi. Meskipun, sifat-sifat dan karakter gerak tariannya tetap punya semangat tinggi, walau namanya berubah sedikit. Nyuwun pangapunten dan terima kasih masukannya. Juga visual senjatanya yang pas apa, memang bisa disesuaikan. Karena terus terang, karya ini berangkat dari angan-angan setelah banyak memahami tentang adanya prajurit wanita yang tangguh saat Pangeran Sambernyawa (KGPAA MN I) jumeneng nata,” ujar Roesini yang juga disepakati RT Supriyanto Waluyo yang akrab disapa “Thithot”, Samsuri SKar apalagi sejarawan Widodo Ari Wibowo.

Pentas Catur Sagatra

SAAT BERLATIH : Para penari dari Kemantren Langen Praja, saat berlatih tari  “Bedaya Ladrang Mangun-Kung” yang disusun Roesini SKar di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran, sebagai persiapan pergelaran sekaligus pisungsung untuk SIJ KGPAA MN X. (foto : iMNews.id/dok)

Dari sisi harafiahnya, “Ladrang” adalah jenis sifat irama gamelan dan “Mangungkung” adalah sifat dan karakter auditif irama gamelan yang ritmik uncontrolled intake of dietary supplements men can meninggi, intervalnya rapat, ajeg dan bisa membangun suasana semakin bersemangat. Sedangkan “Mangun Kung”, yang dipahami Widodo Ari Wibowo dari dokumen literasi kesejarahan tentang nama satuan prajurit wanita di zaman KGPAA MN I itu adalah kendali kuda tunggang yang ujungnya diselipkan di perut. Sudah menjadi ciri khas prajurit wanita Pangeran Sambernyawa, rata-rata sangat lihai berperang sambil menunggang kuda, yang kendalinya diatur oleh ujung lutut kanan dan kiri.

“Dan senjata andalan prajurit wanita ‘Ladrang Mangun-Kung’ ini, adalah tombak pendek. Jadi, prajurit wanita itu seukuran tinggi rata-rata orang Asia Tenggara, tetapi bisa mengendalikan kuda tinggi-besar peranakan kuda Arab. Dikendalikan dengan dengkul, sambil memainkan tombak pendek begitu cekatan, tangkas dan lihai. Tangan kanan pegang tombak, tangan kiri pegang senjata lain. ‘Mangun Kung’ sendiri, arti harafiahnya adalah menebar pesona daya tarik,” jelas Widodo menjawab pertanyaan iMNews.id.

Terlepas dari segala kekurangannya, karya tari “Bedaya Ladrang Mangun-kung” adalah termasuk karya besar, karena dihasilkan dari proses penyusunan yang panjang, muncul di penghujung masa pandemi dan menjadi hadiah pada awal jumenengnya SIJ KGPAA MN X. Dan yang lebih bermakna lagi, hadirnya karya tari ini bersamaan dengan datangnya agenda Pentas Budaya Catur Sagatra (Kraton Mataram Surakarta, Kraton Jogja, Pura Mangkunegaran, Pura Pakualaman) rutin tiap tahun, yang menekankan tampilnya karya tari khas masing-masing lembaga, tetapi merupakan susunan baru, yang agendanya akan digelar beberapa bulan lagi.  (Won Poerwono-bersambung/i1)