GAYA BERBEDA : Walau banyak mempelajari gaya mendalang almarhum sang ayah, tetapi Ki Medhot Samiyono punya gaya yang berbeda dari sang ayah dalam penyajian pentasnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)
Akibat Pandemi, Daya Beli Secara Umum Masih lemah, Rp 7,5 Juta “Disambar”
SURAKARTA, iMNews.id – Meski Indonesia termasuk salah satu negara yang tidak sampai bangkrut kondisi perekonomiannya akibat dilanda pandemi Corona yang hingga kini belum berakhir, namun aktivitas perekonomian skala kecil di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah telah melemahkan unsur daya beli di hampir semua sektor, termasuk sektor jasa. Dan sektor jasa hiburan yang sangat kuat sebelum pandemi, kini tinggal sisa-sisanya saja yang rata-rata sudah hancur atau bangkrut dan sebagian lagi kehilangan tenaga/modal, bahkan sampai ada yang “mutung” tak mau lagi berkecimpung di dunia showbis atau jasa hiburan (iMNews.id, 25/6).
“Di kalangan seniman dalang, kalau ada yang masih bisa bertahan, saat menerima job pentas rata-rata diselesaikan dengan model ‘sambatan’. Artinya, honor bagi teman-teman karawitan dan pesinden nilainya tetap. Tetapi, untuk bagian untuk figur dalangnya yang dikurangi. Dalangnya yang ngalah. Nggak mungkin mengurangi jatah yaga dan pesinden. Kasihan…,” jelas Ki Medhot Samiyono yang di beberapa kesempatan menggunakan nama almarhum sang ayah dengan sebutan “Ki Medhot Soedarsono Oye” itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Anak lelaki tertua almarhum dalang terkenal Ki Manteb Soedarsono ini melukiskan secara singkat situasi dan kondisi kalangan seniman pakeliran, yang dinilai rata-rata senasib dengan dirinya akibat “dihantam” pageblug pandemi Corona yang sudah dua tahun belum bisa berakhir. Karena akibat pandemi ada PPKM yang membatasi ruang gerak publik secara umum, kalangan seniman pedalangan jelas terkena dampak cukup telak, mengingat sifat pertunjukan wayang kulit bisa menampung kegiatan dagang/jasa aneka produk, gratis dan selalu mengundang penonton dalam jumlah besar hingga menciptakan kerumunan padat, bahkan sampai “jejel-riyel” atau berdesak-desakan.
Dan pentas kesenian wayang kulit yang nyaris tak terdengar selama 2 tahun itu, lanjut Ki Medhot, punya elemen pendukung berupa jasa sewa gamelan apabila si dalang tidak punya, jasa sewa tarub atau tenda, jasa sewa panggung atau bancik, jasa sewa sound system, jasa sewa mobil angkutan orang dan barang, bahkan sekelompok pedagang kaki lima yang biasa mengikuti kemanapun si dalang pentas. Belum lagi, semua unsur yang terlibat ketika pentas wayang berlangsung di sebuah tempat yang luas misalnya lapangan bola, karena dipastikan event itu pasti akan menjadi keramaian pasar malam.
Menurutnya, bagi kalangan seniman yang memiliki sumber penghasilan lain di luar profesi sebagai dalang dan kelompok pendukungnya, diyakini masih bisa bertahan hidup hingga kini, dan tidak perlu menjual peralatan yang menjadi modalnya menjalankan profesi seniman. Tetapi bagi yang memang hanya berkesenian sebagai satu-satunya sumber penghasilannya, diyakini pasti hancur perekonomian rumah-tangganya, bahkan sampai ada yang “mutung”.
“Bagi yang masih laku mayang dengan cara ‘sluman-slumun slamet’ itu, pasti kena imbas pandemi juga. Selain jumlah tanggapan berkurang, nilai tanggapannya juga terpengaruh. La wong daya beli masyarakat menurun kok. Dulu saja, sebelum ada pandemi, pentas rutin di sebuah lembaga di Solo Rp 7, 5 (juta) saja disambar. Apalagi sekarang, kalau masih ada pentas. Dulu Rp 22,5 juta jadi rayahan, apalagi sekarang. Tetapi, rata-rata yang ngalah figur dalangnya. Seperti saya, terima sedikit nggak apa-apa. Yang penting teman-teman karawitan bisa kembali dapat makan, ajeg,” tutur kakak Ki Danang Suseno, anak almarhum Ki Manteb Soedarsono yang belum lama “ditanggap” pentas di asrama/markas TNI AD Grup Kopassus Kandang Menjangan (iMNews.id, 9/6). (won-i1)