Kearifan Lokal Budaya Jawa Dalam Mengekspresikan Hari Besar Idhul Fitri
SURAKARTA, iMNews.id – Tradisi open house yang selama ini diselenggarakan kalangan pejabat yang intinya berupa kunjungan silaturahmi dalam rangka merayakan Idhul Fitri atau halal-bihalal, sebenarnya meneladani atau meniru apa yang telah dilakukan para leluhur terutama di lingkungan Dinaasti Mataram yang disebut tradisi “ngabekten”. Tradisi marayakan Hari Lebaran ini merupakan produk akulturasi antara budaya Jawa dan Islam, yang melahirkan cara atau gaya masyarakat Jawa dalam mengekspresikan makna fitri atau fitrah yang berarti dimaafkan segala kesalahannya.
“Tradisi ngabekten sudah sejak Sultan Agung mulai dilakukan di lingkungan keluarga besar Keraton Mataram, lalu diteladani oleh dinasti penerusnya dan menyebar luas di kalangan masyarakat. Yang saya pelajari, tradisi ini tidak pernah ditemukan di negara-negara Arab, sebagai asal agama Islam. Itu murni hasil akulturasi antara budaya Jawa dengan Islam. Artinya, itu merupakan ciri kearifan lokal masyarakat Jawa dalam mengekspresikan makna Idhul Fitri”.
“Mengeratkan tali silaturahmi dan bermaaf-maafan yang kemudian dikenal luas di masyarakat dengan halal-bihalal, adalah tradisi yang positif ini. Ini sangat layak menjadi milik bangsa Indonesia, yang bisa menjadi ciri kepribadian secara nasional dan bisa membedakan dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang sama-sama merayakan Idhul Fitri,” jelas KRRA Budayaningrat, menjawab pertanyaan iMNews.id, di sela-sela pisowanan yang digelar Keraton Mataram Surakarta melalui Lembaga Dewan Adat (LDA) di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, tadi siang.
Menurutnya, tradisi “ngabekten” yang berasal dari zaman Mataram tentu meneladani para pendahulunya terutama para Wali Sanga yang telah menyebarkan Islam melalui seni budaya yang berkembang di dalam amsyarakat Jawa. Setelah itu, tradisi “ngabekten” berkembang menjadi open house yang digelar kalangan pejabat, yang inti acaranya sama, yaitu kunjungan silaturahmi sambil saling bermaafan.
Berikutnya, lanjut dwija di Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta ini, tradisi “ngabekten” yang berkembang luas di kalangan masyarakat, lalu dikenal dengan nama halal-bihalal. Sebagai masyarakat Jawa yang sudah berganti generasi dalam ratusan tahun itu, halal-bihalal sudah melekat sebagai bagian dari kehidupan spiritual rohaniahnya, dan tidak ada salahnya menjadi tradisi secara nasional yang dihiasi kearifan lokal wilayah masing-masing.
“Saya sangat setuju dengan pendapat ahli di atas. Alhamdulillah, saya bangga masyarakat Jawa dan bangsa Indonesia memiliki tradisi itu. Karena, saya dilahirkan dari keluarga besar Jawa dan tumbuh besar di lingkungan masyarakat Jawa. Apalagi kakek buyut saya adalah ulamadalem Sinuhun PB X yang ditugaskan sebagai takmir di Masjid Kepatihan”.
“Maka, tradisi halal-bihalal ini adalah tradisi masyarakat Jawa untuk memuliakan hari besar Islam, Idhul Fitri. Niatnya, berkumpul untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Subekhanallah. Indah sekali,” ujar KRAT Hendri Rosyad Wrekso Puspito melukiskan kegembiraan pada Idhul Fitri tahun lalu yang akan segera berulang pada hari pertama Lebaran, Senin (2/5).
Disebutkan cicit ulamadalem yang mendapat penghargaan gelar kekerabatan Kangjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT) dari Keraton Mataram Surakarta melalui LDA atas pengabdiannya dalam syiar budaya itu, dalam beberapa tahun terakhir dirinya merasa benar-benar menjadi orang Islam yang berkepribadian Indonesia, karena “njawani” atau bercirikhas budaya Jawa. Karena, saat tiba Hari Raya Lebaran, semua anak-cucu dan menantu bisa berkumpul di kediamnnya, lalu berhalal-bihalal untuk saling memaafkan kesalahan. (won-i1)