“Ting-ting Hik, Jadah Jenang Wajik, Aja Lali Tinge Kobong….” (1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 28, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Budaya Jawa Menjadikan Tradisi Malam Selikuran Bertabur Keindahan

IMNEWS.ID – JUMAT malam tanggal 22 April lalu, Kota Surakarta mendapat cuaca cerah, setelah beberapa hari sebelumnya diguyur hujan sedang hingga berat. Malam itu, walau suhunya terasa masih panas karena ada sedikit mendung, tetapi langit termasuk bersih karena sinar bulan tua masih ada, bintangpun juga lumayan banyak. Serasa benar-benar mendapat karuniaNya yang paling penuh atau maksimal, suasana indah malam itu seakan benar-benar menghiasi Keraton Mataram Surakarta yang sedang menggelar upacara adat Malem Selikuran atau di malam menyambut tanggal 21 (selikur-Red) Pasa tahun Alif 1955 (kalender Jawa) yang persis tanggal 21 Ramadhan tahun 1443 H (kalender Hijriyah).

Karunia Allah SWA, Tuhan YME pada Jumat 22 April malam itu serasa benar-benar hendak menunjukkan bahwa suasana malam yang indah seperti itulah yang disebut malam Lailatul Qadar, malam di saat Nabi Muhammad SAW turun dari gunung Jabal Nur yang juga disebut Malam Seribu Bulan. Singkat kata, ritual Malem Selikuran yang digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) malam itu, benar-benar tepat pada suasana malam yang diimajinasikan dan diyakini, sebagai malam yang paling indah selama berada di bulan puasa.

“Tradisi Malem Selikuran ini bahkan sudah ada pada zaman Keraton Demak (abad 15). Berkat karya-karya Islami permaisuri Sinuhun Paku Buwana (PB) I atau Kanjeng Ratu Paku Buwana I (Ratu Mas Balitar) yang mempersembahkan sebuah acara penyambutan untuk cucunya (kelak bertahta sebagai Sinuhun PB II), upacara-upacara adat untuk hari-hari besar Islam terus lestari. Baik di Dinasti Mataram kartasura, apalagi Mataram Surakarta. Baik peringatan Nuzulul Qur’an maupun Lailatul Qadar, selalu diperingati dengan upacara adat,” jelas KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil I menjelasakan saat ditanya iMNews.id, kemarin.

Aksara dan Bahasa Jawa

MUSIK RELIGI : Hadirnya musik religi samrohan atau terbangan dari sejumlah pemuda santri, membuat barisan kirab ritual menyambut Malem Selikuran atau Lailatul Qadar menjadi lebih hidup dan meriah di malam bertabur keindahan, yang digelar LDA Keraton Mataram Surakarta, Jumat malam (22/4). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Abdidalem Kanca Kaji itu mengutip sebagian dari penulisan riwayat lahirnya upacara adat Lailatul Qadar berjudul “Sejarah dan Makna malem Selikuran” (Lailatul Qadar) yang diminta GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta. Dosen pengajar di IAIN Ponorogo (Jatim) ini sejak lama suwita di keraton karena memiliki kemampuan dalam meneliti dan merekonstruksi dokumen peningalan sejarah, utamanya dari sisi keislaman Mataram sebagai Keraton Islam di Jawa terbesar hingga di Surakarta setelah Keraton Demak.

Hasil-hasil penelitian KRT Ahmad Faruq itu dulu banyak dibutuhkan KP Winarno Kusumo (alm) saat bertugas Keraton Mataram Surakarta sebagai Humas atau Juru Penerang Budaya yang sekaligus sebagai Wakil Pengageng Sasana Wilapa. KP Winarno Kusumo adalah tokoh kepercayaan Gusti Moeng atau GKR Wandansari Koes Moertiyah yang disegani berbagai pihak di dalam dan di luar keraton, karena kemampuannya membaca dokumen sejarah yang hampir semuanya tertulis dengan aksara dan Bahasa Jawa.

Kolaborasi antara karya dua tokoh itu sangat diperlukan pada saat-saat penting, misalnya dalam pelaksanaan upacara adat, baik dalam penyajian data informasi kesejarahan maupun untuk keperluan publikasi untuk khalayak luas. Sepeninggal KP Winarno Kusumo tiga tahun berjalan ini, LDA banyak menginisiasi untuk mengisi kekosongan tugas dan fungsi-fungsi itu di keraton, khususnya yang diperlukan di saat mempersiapkan agenda-agenda upacara adat.

Tetap Jadi Pedoman

NYARIS SESAK : Suasana di topengan kagungandalem Masjid Agung Keraton Mataram Surakarta saat barisan kirab tiba, tampak nyaris penuh sesak karena peserta ritual Malem Selikuran yang digelar LDA Keraton Mataram Surakarta, Jumat malam (22/4), lebih dari 1000 orang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kini, penyelenggaraan ritual Lailatul Qadar sudah hampir kembali ke akselerasi format ideal seperti semula, antara lain dengan semangat KRT Ahmad Faruq yang sangat proaktif untuk menyediakan hasil-hasil kajian keislaman sejarah Mataram, yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan ritual Keraton Mataram Surakarta menyambut hari-hari besar Islam. Kini ada KRA Siswanto dan beberapa tokoh kader juru pambiwara yang diharapkan mampu mengampu tugas dan fungsi seperti yang dialami KP Winarno Kusumo, sahih dalam membaca naskah dokumen kuno, proaktif berkolaborasi dengan bidang tugas KRT Ahmad Faruq, lalu menggunakannya sebagai bahan public speaking pada upacara-upacara adat.

Tak hanya untuk ritual Lailatul Qadar, kolaborasi dua bidang tugas berbeda untuk keperluan penyelenggaraan upacara adat juga berguna bagi semua ritual, bahkan agenda-agenda acara di luar itu seperti menyusun kalender untuk kebutuhan agenda ritual keraton beberapa tahun ke depan. Karena bagaimanapun Keraton Mataram Surakarta sebagai penerus Mataram Islam, tetap dijadikan panutan dan pedoman khalayak luas dalam kehidupan sehari-hari, khususnya warga peradaban yang menggunakan kalender Jawa sebagai bentuk adaptasi kolaboratif dari kalender Hijriyah, karya Sultan Agung Hanyakrakusuma yang begitu lengkap.

Nah, ketika Lailatul Qadar digelar pada malam tanggal 21 atau Malem Selikuran yang tepat pada hitungan hari malam Sabtu Wage (23/4) itu, keindahan malam menyambut datangnya Seribu Bulan itu menjadi benar-benar terasa. Karena pada suasana malam yang cerah tetapi agak gerah itu, lebih dari seribu orang datang untuk ngalab berkah dengan mengikuti kenduri wilujengan, tahlil dan dzikir yang digelar LDA di kagungandalem Masjid Agung Keraton Mataram Surakarta.

Malam Paling Indah

ABDIDALEM KANCA KAJI : Sejak 2004, Gusti Moeng selaku Ketua LDA mulai menginisiasi dibentuknya kembali unit abdidalem Kanca Kaji untuk memperkuat abdidalem juru suranata yang pernah ada sejak Mataram Islam didirikan. Eksistensinya, sangat diperlukan seperti ketika menggelar ritual Malem Selikuran di Masjid Agung, Jumat malam (22/4). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Keindahan Malem Selikuran seakan disempurnakan oleh Allah SWA, karena selain suasana dan cuaca sangat mendukung, peserta kirab berlipat-lipat jumlahnya dibanding pelaksanaan selama dua tahun dilanda pandemi Corona tahun 2020 dan 2021. Tak hanya jumlah pesertanya, ragam macam peserta kirab prosesinya juga bertambah atau kembali wutuh dan sesempurna yang dikehendaki Allah SWA, yaitu hadirnya musik terbangan atau samroh dari kalangan santri, musik karawitan Santiswaran, musik drumband bregada prajurit Korp Musik serta hadirnya abdidalem Kanca Kaji yang sejak beberapa tahun ini memperkuat barisan abdidalem juru suranata.

Barisan prosesi kirab yang indah di malam bertabur keindahan itu, juga karena adanya hiasan ting atau lentera warna-warni dan nyala ratusan oncor atau pelita yang menjadi simbol sinar malam Seribu Bulan. Barisan kirab seperti ini, ketika berjalan kaki dengan kecepatan 5 KM/jam mengelilingi jalan lingkar dalam Baluwarti untuk menuju masjid Agung, tentu menciptakan pemandangan malam yang kebanyakan tanpa lampu penerangan umum itu menjadi tampak indah, penuh etika dan estetika.

Sama ketika KP Winarno Kusumo (alm) sesorah membacakan riwayat lahirnya Malem Selikuran, KRA Siswanto malam itu juga sempat mengisahkan riwayat lahirnya “tetembangan Ting-ting hik, Jadah jenang wajik, Aja lali tinge kobong, Aja kobong-kobong tinge, Kobonga cuplakane”. Tembang yang biasa dinyanyikan mengikuti irama musik Santiswaran sambil kirab itu, adalah berasal dari karya gubahan Pujangga Yasadipura I dan referensi dari Serat Wulangreh karya Sinuhun PB IV yang merupakan karya kearifan lokal yang akulturatif untuk mengingatkan warga peradaban agar tetap waspada ketika mata berjaga saat menyambut Malem Selikuran. (Won Poerwono-bersambung/i1)