Untuk Mengingatkan Warga Peradaban Bersiap Nyadran ke Makam Para Leluhur
SOLO, iMNews.id – Pentas wayang kulit purwa yang secara khusus untuk mempersiapkan diri memasuki bulan Ruwah menjelang Ramadan, nyaris terlupakan oleh masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta, karena setelah tahun 1970-an pentas wayang menyerupai ”ruwatan” ini sudah tidak digelar di keraton. Padahal, pementasan wayang kulit durasi pendek yag juga mengambil lakon ”ruwatan” berjudul ”Murwa Kala” itu, dulu digelar di Sasana Parasedya atau di kawasan inti kedhaton, untuk mengingatkan agar warga peradaban secara luas bersiap-siap untuk ”nyadran” atau berziarah ke makam para leluhur, mendoakan arwahnya agar mendapatkan Surga.
”Iki sing kudu dieling-eling. Wayang mapag Ruwah utawa Ruwahan, perlu digelar meneh saben tahun. Merga, aku dicritani bapa-biyungku warga dalang, saben mapag Ruwah utawa sasi Ruwah, neng Keraton Surakarta Hadiningrat mesti nggelar wayangan. Pancen wujude kaya ruwatan. Nanging sing diruwat kahanane, supaya ayem-tenterem, murah sandang-pangan, cepak rezekine kanggo tilik leluhur utawa nyadran,” ujar Kiai Semar Badranaya bertutur kepada ketiga anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong pada adegan pathet 6 pentas berdurasi 2 jam (pukul 20.00-22.00 WIB), di ndalem Kayonan, Baluwarti, Kamis (3/3).
Saat pentas yang disajikan abdidalem dalang wanita, Nyi KMT Rumiyati Anjangmas Puspodiningrum itu, posisinya masih Kamis (3/3) atau tanggal 30 Rejeb Tahun Alip 1955, namun dalam kalender Jawa sudah memasuki tanggal 1 Ruwah Tahun Alip 1955 sampai Jumat (4/3) sore ini. Sebab itu, menurut dalang wanita senior hebat dan terkenal setelah Nyi Suharni Sabdowati (almh) itu, pementasan malam itu bisa disebut ”mapag Ruwah” atau pentas Ruwahan.
Mengingat situasi dan kondisinya yang masih harus mematuhi prokes ketat, pementasan persiapan ”nyadran” malam itu hanya digelar di ndalem Kayonan, diiringi seperangkat gamelan Slendro saja atau hanya melibatkan 10 orang termasuk Nyi KMT Rumiyati Anjangmas Puspodiningrum dan pesinden Nyi MT Cendaniraras. Sementara, penontonnya hanya tuan rumah keluarga Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) GKR Wandansari Koes Moertiyah dan beberapa sentana dan abdidalem yang seluruhnya tidak lebih dari 40 orang.
Bikin Ruwet dan Peteng
”Pentas ini lebih berupa spontanitas. Karena, mbak dalang (Nyi Rumiyati), memberitahu saya baru 3 hari yang lalu. Intinya disebutkan, dulu keraton kalau mendekati Ruwah pasti wayangan. La, sekarang ini situasi dan kondisinya pas, sambil ngruwat situasi dan kondisi pandemi. Mudah-mudahan segera sumingkir dari bumi Nusantara. Termasuk, ngruwat yang sedang bikin ruwet dan peteng kahanan di keraton,” ungkap Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta yang akrab disapa Gusti Moeng, menjawab pertanyaan iMNews.id.
Disebutkan, pementasan wayang ruwatan ”mapag Ruwah” memang selalu digelar para raja Keraton Mataram Surakarta, bahkan sejak Keraton Mataram masih di Kartasura. Terakhir diketahui Gusti Moeng, pentas wayang yang dihiasi banyak sesaji ruwatan itu, masih digelar di saat Sinuhun PB XII jumeneng di tahun 1970-an, tetapi setelah itu saya sudah tidak mendengar ceritanya.
”Pentas wayang seperti ini, memang mirip ruwatan. Tetapi, bukan figur-figur tertentu atau manusianya yang diruwat. Pementasannya, selalu di Bangsal Parasedya (wilayah sakral inti kedhaton-Red) Keraton Mataram Surakarta. Dalang yang diizinkan pentas, ya dalang abdidalem yang sudah sepuh. Dulu yang saya tahu, ya Ki RT Redi Suta (alm) dari Wonogiri itu,” jelas KPP Wijoyo Adiningrat, salah seorang sesepuh paranpara nata di keraton, yang dimintai pandangannya di sela-sela menyaksikan pentas malam itu. (won-i1)