Putra Mahkota Didaulat Foto Bersama di Tengah Para Penabuh Gamelan
IMNEWS.ID – SEBUAH keniscayaan yang terbingkai dalam tema besar ”Nut jaman (zaman) kelakone”, adalah benar-benar merupakan kenyataan yang sudah terbukti dan tidak bisa diingkari dari eksistensi Keraton ”Mataram” Surakarta ketika memasuki zaman modern milenial di dalam panji-panji NKRI sekarang ini. Antara harapan dan kenyataan seperti adanya sebuah pertanyaan yang kemudian ada jawaban, prosesnya silih-berganti seakan sudah ”ditata” dan ”disiapkan”.
Kira-kira seperti itulah untuk melukiskan ”perjalanan” dan ”eksistensi” Keraton Mataram Surakarta, baik ketika dipahami sebagai variabel terpisah maupun variabel terkait. Demikian pula ketika hendak melukiskan apa yang dialami keraton dalam ”perjalanan” dan ”eksistensi” (nya) di zaman modern nan-milenial sekarang ini. Walaupun Sinuhun Paku Buwono (PB) XII (1945-2004) mengistilahkan, besarnya keraton tinggal ‘sak-megroking payung” (selebar payung mengembang).
Maka, ketika mencermati bagian demi bagian dalam perjalanan dan eksistensi itu dalam batas zaman modern-milenial, banyak sekali muncul ke permukaan fakta dan bukti keniscayaan yag seakan-akan ”bisa menjawab” atau ”sesuai dengan keinginan” kalimat ”Nut jaman kelakone” itu. Sebuah kalimat singkat yang selalu diucapkan Sinuhun PB XII, yang ternyata merupakan ekspresi sikap ”pasrah”, akomodatif dan berpengharapan demi kelangsungan dan demi eksistensi Keraton Mataram Nusantara di masa mendatang.
Sikap ”pasrah” Sinuhun PB XII memang tidak menjadikan Keraton Metaram Surakarta benar-benar ”selesai” seperti ”jangka” (prediksi) Prabu Jayabaya, raja Keraton Kediri (abad 12) yang juga filsuf sekaligus futurolog hebat itu. Melainkan sebaliknya ketika Gusti Moeng dan para pengikutnya tampil berjuang melakukan ”wiradat” (upaya) bersama berbagai elemen yang lahir selama ”perjalanan, yang membuktikan banyaknya indikator ”eksistensi”, yang bisa tampil akomodatif dan berusaha menjawab pengharapan.
Sebuah hajad kecil, sagat sederhana dan berlangsung di tengah perkampungan di Kelurahan Kedondong, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk (Jatim), Minggu siang (16/1), menjadi salah satu contoh yang bisa menjawab berbagai variabel di atas. Peristiwa upacara wisuda bagi 40-an abdidalem penerima gelar sesebutan, juga pelantikan pengurus Pakasa Cabang (Kabupaten) Nganjuk yang berlangsung di rumah KRT Sukoco Madunagoro (Ketua Cabang) siang itu, sangat meyakikan bisa menjawab (pertanyaan) semua variabel itu.
Peristiwa yang disebut bisa memenuhi variabel ”akomodatif”, adalah peristiwa kesekian kali yang dilakukan Lembaga Dewan Adat yang diketuai Gusti Moeng, sejak 2004 masih aktif menjabat Pengageng Sasana Wilapa di dalam keraton, maupun ketika berada di luar keraton sejak insiden April 2017. Akomodatif yang bisa diartikan sebagai bentuk keniscayaan bahwa Keraton Mataram Surakarta sudah berada di dalam pangkuan NKRI yang ”didirikannya”, yang dilukiskan sangat meyakinkan saat Pangarsa Punjer Pakasa KPH Edy Wirabhumi mengambil sumpah pelantikan pengurus Pakasa Cabang Nganjuk yang diketuai KRT Sukoco Madunagoro (iMNews.id, 1/16).
Peristiwa di Kabupaten Nganjuk (Jatim), Minggu siang (16/1) itu, hanya berjarak sekitar seminggu setelah LDA Keraton Mataram Surakarta membuka lembaran baru tahun 2022 dengan kegiatan pertama berupa upacara wisuda bagi 100-an penerima gelar sesebutan. Bertempat di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, Minggu siang (9/1), ada seratusan abdidalem dari Pakasa Cabang Ponorogo, Trenggalek, abdidalem korp musik dan prajurit serta tokoh pejabat Wakil Wali Kota Bekasi (Jabar).
Upacara ”wisudan” kedua yang digelar LDA di Kabupate Nganjuk, selain warga Pakasa Cabang kabupaten setempat yang diwisuda, ada pula sejumlah abdidalem warga Pakasa Cabang (Kabupaten) Trenggalek yang dipimpin KRT Seviola (sekretaris) da beberapa warga Pakasa Cabang Kediri. Mereka memang belum ”sempat” diwisuda di keraton, tetapi menjadi lebih tepat ketika bergabung diwisuda di kantor Pakasa Cabang Nganjuk, karena LDA dan Ketua Pakasa Pusat punya formula beda dalam jemput bola ketika berbicara soal variabel ”wiradat”.
Dalam rangka itu pula, dua minggu lagi LDA dan Pakasa Pusat mengagendakan bersafari ke Kabupaten Sidoarjo, daerah kedua di Jatim yang akan didatangi memenuhi permintaan pelantikan pengurus Pakasa cabang dan wisuda penerima gelar sesebutan. Ketua Pakasa Cabang Sidoarjo KMT Rizki Niswarini Budayaningrum mengagendakan, tanggal 30 Januari pihaknya akan menggelar pelantikan pengurus Pakasa hasil restrukturisasi fungsionaris dan upacara ”wisudan”.
Ada hal menarik yang tidak jauh dari antara variabel ”wiradat” dan ”Nut jaman kelakone”, ketika melihat peristiwa sang putra mahkota KGPH Mangkubumi didaulat berfoto bersama di tengah para penabuh gamelan. Dari sisi realitas generasi milenial peristiwa foto bersama di kalangan mereka yang segenerasi saat ini, itu sebuah trend pergaulan biasa yang menjadi ciri-ciri mereka, tetapi dipandang dari sisi variabel ”perjalanan”, ”wiradat” apalagi ”akomodatif”, yang dilakukan Gusti Mangku (sebutan akrab KGPH Mangkubumi-Red), itulah contoh variabel ”Nut jaman kelakone” sebagai bentuk memelihara (variabel) ”pengharapan” kelangsungan ”eksistensi” keraton untuk mampu menembus segala zaman ke depan.
Memang tak akan ada kata sempurna untuk semua yang dihasilkan dari makhluk manusia, tetapi manusia diberi kesempatan untuk terus melengkapi kehidupannya dengan semua yang dibutuhkan, bahkan diinginkannya. Termasuk, ketika Keraton Mataram Surakarta yang sudah punya Pakasa, tetapi butuh legalisasi secara administrasi dari pemerintah (NKRI). Begitu pula butuh Lembaga Hukum Keraton Surakarta (LHKS), apalagi sebuah payung besar bernama Lembaga Dewan Adat yang mendapat pengesahan Kemenkumham AHU – 0039342.AH.01.07 tahun 2016 (30/3/2016) dan putusan penetapan Mahkamah Agung No : 330K/Pdt/2020.
Dalam ”perjalanan” ke depan untuk satu atau dua dekade saja, ”eksistensi” Keraton Mataram Surakarta sangat mungkin ”butuh” kelengkapan baru ketika sebuah perubahan memerlukan kelengkapan yang lain lagi. Karena, walau tinggal ”sak megroking payung”, gerak maju keraton yang sekadar menjalankan tugas menjaga daulat di bidang budaya itu, juga memerlukan organ-organ kelengkapan sesuai kebutuhannya. (Won Poerwono-bersambung)