Awal Sejarah Kekerabatan ”Warga Mataraman” dengan Mataram Surakarta
PONOROGO, iMNews.id – Masyarakat Kabupaten Ponorogo yang direpresentasikan warga Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) Cabang Ponorogo, tadi malam menggelar acara mengenang sejarah yang sampai kini diberi nama ”Wilujengan Bubur Menang” di Masjid Umar bin Khotob, Desa Bandaralim, Kecamatan Badegan. Acara yang dimulai pukul 20.00 dan baru berakhir sekitar pukul 00.00 WIB itu, dihadiri Bupati Ponorogo H Sugiri Sancoko SE MM yang dalam pidato sambutannya mengakui adanya hubungan benang-merah (kultural, historial, emosional) antara masyarakat Ponorogo dengan Keraton Mataram (Kartasura dan Surakarta) juga.
Acara yang diinisiasi Pakasa Cabang Ponorogo pimpinan KRRA MN Gendut Wreksodiningrat selaku ketuanya itu, secara resmi menjadi agenda event daerah yang rutin diadakan sejak kepengurusan organisasi Pakasa cabang terbentuk dalam dekade terakhir. Acara itu selain dibuka dengan wilujengan, dilanjutkan dengan doa bersama untuk memohon keselamatan warga Ponorogo, bangsa dan NKRI serta Keraton Mataram Surakarta dengan segala isinya.
Melalui kopi riwayat singkat ”Wilujengan Bubur Menang” yang dikirim lewat WA-nya kepada iMNews.id, Ketua Pakasa Kabupaten Ponorogo KRRA MN Gendut Wreksodiningrat menjelaskan, latar belakang sejarah diadakannya ritual tepat pada tanggal 21 Desember, kira-kira seperti penjelasan dalam riwayat singkat itu. Intinya, wilujengan itu diadakan sebagai refleksi masyarakat Ponorogo untuk mengenang peristiwa sejarah lahirnya ”Bubur Menang, Desa Menang dan dan peran serta makna masyarakat Ponorogo menjelang hingga saat pindahnya Ibu Kota ”Nagari” Mataram dari Kartasura ke Surakarta, antara tahun 1742-1745.
”Kira-kira seperti itu latar belakang sejarah yang bisa saya kumpulkan dari berbagai sumber. Sekiranya masih ada yang kurang, bisa disempurnakan dari sumber yang lain. Dan itulah arti penting dari wilujengan yang kami adakan rutin tiap tahun. Karena, dari situlah makna penting dan asal-usul Ponorogo, wilayah ”Mataraman”, leluhur Mataram dengan segala kekayaan seni budaya dan spiritual religi yang diwariskan kepada kami semua,” papar KRRA Gendut.
Dari catatan riwayat singkat dan hasil penelitian Ketua Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi dan penjelasan KRT Ahmad Faruq Wreksabudaya (dosen IAIN Ponorogo) yang dihimpun dari tempat terpisah menyebutkan, wilujengan ”Bubur Menang” yang digelar rutin tiap 21 Desember itu, untuk memperingati upaya Sinuhun PB II untuk merebut kembali Ibu Kota ”nagari” Mataram di Kartasura yang diobrak-abrik dalam peristiwa pemberontakan Mas Garendi di tahun 1742. Akibat Ibu Kota rusak karena beberapa infrastruktur ”perkantoran” pusat pemerintahan ”nagari” dibakar, Sinuhun PB II untuk sementara memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Ponorogo.
”Jadi, Ponorogo yang memiliki aset pesantren Gebang Tinatar asuhan Kyai Mohammad Khasan Besari, pernah dijadikan Ibu Kota Mataram selama kurang-lebih 3 tahun oleh Sinuhun PB II. Di pusat kota (Kabupaten Ponorogo kini-Red), masih ada beberapa sisa bangunan infrastruktur pemerintahan yang merupakan jejak-jejak sejarah Ibu Kota Mataram,” tutur Dr Purwadi dari sejarah Kabupaten Ponorogo yang dia susun, yang juga dibenarkan KRT Ahmad Faruq Wreksabudaya di tempat terpisah.
Dalam riwayat singkat juga disebutkan, hubungan kekerabatan antara semua elemen yang dibawa Sinuhun PB II dengan semua elemen masyarakat Kabupaten Ponorogo waktu itu, bisa bersinergi menyusun kekuatan selama sekitar 3 tahun. Dan dengan petunjuk mbok Rondho Suryaning Wulang di sebuah desa yang menjadi persinggahan pasukan Sinuhun PB II, diperoleh strategi pertempuran seperti cara menyantap ”bubur”, dan dibantu segenap elemen masyarakat Ponorogo, termasuk senapati RT Jayengrono, Bupati Ponorogo RT Surobroto dan para santri Gebang Tinatar asuhan Kyai Moh Khasan Besari, Ibu Kota Kartasura bisa direbut kembali. (won)