Pesan Bijak Bung Karno : “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah” (2-habis)

  • Post author:
  • Post published:November 11, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read

Tak Terbatas Golongan Tertentu dan Dalam Konteks Sangat Luas

IMNEWS.ID – PESAN bijak Bung Karno dalam singkatan yangt berbunyi ‘’Jas Merah’’, kalimat lengkapnya berbunyi ‘’Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah’’, adalah pesan ‘’wanti-wanti’’ bagi segenap bangsa warga NKRI ini. Pesan ini tentu dimaksudkan sekali diucapkan dan ‘’diamini’’ segenap bangsa NKRI, waktu itu, untuk selalu diingat dan selalu diwujudkan serta dipertahankan selama bangsa dan NKRI ini ada di muka bumi ini.

Karena pesan bijak itu diucapkan dan disepakati saat bangsa dan NKRI ini didirikan, bahwa esensi isi dan maknanya ditujukan untuk semua warga bangsa dan NKRI, bukan tertuju pada golongan tertentu, suku tertentu ataupun generasi tertentu. Melainkan, warga bangsa lintas generasi, lintas golongan, lintas suku, lintas partai dan sebagainya.

Menganalisis dan mengkaji lebih lanjut pesan bijak itu, tentu wajar apabila menyandingkan dengan realitas suasana kehidupan bangsa dan NKRI ini, dari waktu ke waktu, sejak pesan bijak itu diucapkan Proklamator sekaligus Presiden pertama RI itu. Sebab, di balik pesan bijak itu harus kita pahami juga sekaligus sebagai alat ukur untuk menakar antara makna kalimat yang dimaksud , dengan kenyataan yang diharapkan bisa diwujudkan segenap warga bangsa dan pemerintah representasi NKRI.

SELALU INGAT SEJARAH : Sinuhun PB X yang membangun monumen Tugu Lilin di pertigaan Penumping, Laweyan, Solo, sebagai bentuk dukungan terhadap peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, sekaligus teladan yang baik bagi generasi penerus untuk selalu ingat sejarah jasa-jasa para pendahulunya.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Oleh sebab itu, ketika kita menyaksikan suasana kehidupan riil warga bangsa di dalam NKRI yang tetap tegak dengan Pancasila, UUD 45 dan terikat kuat dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika sekarang ini, melahirkan beberapa pertanyaan. Sudahkah warga bangsa dan penguasa yang mengelola NKRI yang berganti-ganti ini ‘’mundhi dhawuh’’ dan ‘’mikul dhuwur-mendhem jero’’ pesan bijak ‘’Jas Merah’’ tersebut? Kapan lagi untuk mewujudkan pesan bijak itu?, mengingat usia bangsa dan dalam wadah NKRI ini sudah 76 tahun.

‘’Bung Karno (Presiden 1 RI) sudah berpesan, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Termasuk, jangan sampai melupakan Keraton Mataram Surakarta dan para tokoh pemimpin seperti Sinuhun PB VI ini. Bahwa keraton dan banyak pahlawan yang dilahirkan, yang telah andil besar dalam melahirkan negeri ini. Momentum peringatan Hari Pahlawan ini, harus kita maknai untuk mewujudkan apa yang dimaksud ‘Jas Merah’ itu,’’ ujar Gusti Moeng selaku Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta, baik saat menjawab pertanyaan para awak media seusai peresmian Monumen Sinuhun PB VI di Selo, Boyolali, maupun saat berbincang dengan iMNews.id, kemarin.

Momentum peringatan Hari Pahlawan yang baru lewat sehari dari tanggal 10 November, hari ini, memang sangat masuk akal untuk melakukan insterospeksi. Salah satunya sudah dilakukan Bupati Boyolali M Said Hidayat dengan meresmikan Monumen Sinuhun PB VI menjadi nama di pusat kawasan objek wisata Selo, maupun pernyataan tegasnya saat menjawab pertanyaan para awak media di lokasi peresmian, belum lama ini (iMNews.id, 5/10).

Menurutnya, makna yang bisa dipetik dalam peringatan Hari Pahlawan khususnya bagi kaum milenial, adalah semangat menjaga negeri atau harkat dan martabatnya yang diinjak-injak penjajah. Keteladanan itu yang sudah diperlihatkan Sinuhun PB VI, karena berkolaborasi dengan Pangeran Diponegoro, melakukan perlawanan dengan Belanda di beberapa wilayah, hingga keduanya ditangkap Belanda dan dibuang ke pulau Halmahera.

‘’Siuhun PB VI lalu dipindah ke Ambon, tetapi Pangeran Diponegoro dipindah ke Makasar sampai meninggalnya. Sinuhun (PB VI) baru meninggal saat bebas dari penjara, lalu ditembak Belanda. Eyang (Letjend TNI) Djatikoesoemo yang mengurus proses pemindahan jasad Sinuhun PB VI di tahun 1957, mendapati ada lubang sebesar peluru di kepalanya. Dugaan semula jadi benar, Sinuhun meninggal ditembak kepalanya. Karena otopsi yang dilakukan saat itu mendiskripsikan demikian. Tahun 1957 dipindah ke Astana Pajimatan Imogiri (DIY), dan tahun 1964 ditetapkan sebagai pahlawan nasional,’’ paparnya.

REFLEKSI PARA PENDAHULU : Putra bungsu Proklamator Bung Karno, Guruh Soekarnoputra yang diantar Gusti Moeng saat berkunjung di Museum Art Gallery Keraton Mataram Surakarta beberapa waktu lalu, seperti sedang bersama-sama merefleksi hubungan para tokoh pendahulu mereka agar selalu ingat pesan ‘’Jas Merah’’. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Diskusi kecil yang terjadi antara RM Koes Rahardjo dengan peneliti sejarah Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat di Jogja) kemarin (iMNews.id, 10/11), sedang merumuskan tiga hal yaitu tentang ‘Jas Merah’, kepahlawanan (Hari Pahlawan) dan upaya membimbing kalangan generasi muda, terutama kaum milenial, untuk bisa memahami secara benar nilai-nilai dalam proses berdirinya NKRI hingga memasuki zaman sekarang ini. Menurut mereka, tiga hal itu sangat penting untuk diketahui titik-temu secara rasional, karena akan menjadi landasan perjalanan bangsa ke depan yang diharapkan tetap menjaga keutuhan NKRI, sesuai UUD 45, berlandaskan Pancasila dan berbingkai kebhinekaan.

RM Koes Rahardjo yang cukup lama berkecimpung di partai hingga kini, merasa risau karena pemahaman terhadap sejarah tidak kunjung tegak lurus apa adanya, walau berganti-ganti generasi hingga generasi milenial sekarang ini. Banyak sekali narasi yang membelokkan kebenaran sejarah, hingga lebih banyak merugikan eksistensi Keraton Mataram Surakarta, terutama nama baik para tokohnya.

‘’Tetapi saya sudah mulai lega, karena sekarang sudah mulai terbuka untuk merevisi narasi dan anggapan yang salah. Alam demokrasi telah memberi keberanian siapa saja untuk bersuara dan berpendapat, mengungkapkan kebenaran. Sebab itu, peringatan Hari Pahlawan sekarang ini, menjadi momentum penting untuk membenahi kesalahan-kesalahan yang terjadi.

Dr Purwadi membenarkan, sudah terlanjur banyak, masif dan begitu lama pendapat dan narasi yang sangat merugikan banyak pihak terutama Keraton Mataram Surakarta karena dilandasi kepentingan dan sama sekali bukan berdasar hasil penelitian ilmiah. Dalam pandangannya, banyak sekali tokoh di tanah air, termasuk tokoh pahlawan di Solo, yang terlanjur diyakini publik sebagai hal yang ‘’positif’’, padahal sebenarnya ‘’negatif’’ , demikian pula sebaliknya. (Won Poerwono-habis)