Memaknai Datangnya Tahun Baru Jawa 1 Sura dalam Suasana Pandemi (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 29, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Rekonstruksi Kalender Jawa, Esensi Pelestarian Peradaban

IMNEWS.ID – MEMAKNAI datangnya Tahun Baru Jawa Alip 1955 melalui pintu masuk 1 Sura, dalam suasana pandemi tahun kedua seperti sekarang ini, sangat tepat menjadi refleksi untuk menata kembali langkah-langkah ke depan. Setidaknya ada perenungan untuk merekonstruksi kembali susunan dan struktur peradaban, dimulai dari yang paling mendasar, di antaranya sistem waktu yang menjadi patokan mengukur semua aktivitas dalam kehidupan.

Ketika berbicara hal-hal mendasar yang menjadi salah satu esensi keberadaan dan perjalanan sebuah peradaban, sistem waktu akan menjadi simbol petunjuknya secara jelas. Dan simbol petunjuk sistem waktu yang bernama kalender Jawa Sultan Agung itulah, menjadi salah satu bukti bahwa peradaban bisa terus berproses menembus ruang dan zaman serta melahirkan gagasan-gagasan untuk merawat dan mengembangkan.

Oleh sebab itu, sangat patut dihargai pihak-pihak warga peradaban yang hingga kini masih peduli untuk meneliti, mempelajari, mengkaji dan melestarikan sistem kalender Jawa Sultan Agung yang telah menjadi simbol dan esensi mendasar peradaban tersebut. Salah satu di antara orang-orang peduli itu, adalah KRT Ahmad Faruk Reksabudaya MFil I (Magister Filsafat Islam) yang sehari-hari menjadi dosen pengajar di IAIN Ponorogo.

KENANGAN SEJARAH : Abdidalem ”Kanca Kaji” KRT Ahmat Faruq Reksabudaya MFil I
sempat berfoto bersama GKR Retno Dumilah, kira-kira seminggu sebelum kakak kandung Gusti Moeng itu meninggal. Almarhumah diakui sebagai salah satu putridalem yang peduli pada pelestarian nilai-nilai Mataram Islam. (foto : iMNews.id/dok)

Penetrasi Budaya ”Timur-Tengah”

Abdidalem ”Kanca Kaji” yang tinggal di Desa Klorogan, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun (Jatim) ini, bisa memahami kalau Keraton Mataram Surakarta sudah kehilangan beberapa kedaulatannya, karena sejak 1945 tidak lagi berstatus ”nagari” (negara) tetapi sudah menjadi bagian dari NKRI. Tetapi sangat disayangkan, beberapa kedaulatan yang hilang itu, termasuk kedaulatan dalam merawat nilai-nilai perkawinan adat Mataram yang berlandaskan Islam.

Meski begitu, masih banyak hal yang bisa disyukuri karena eksistensi Keraton Mataram Surakarta sejak 1945 hingga kini, masih bisa merawat, melestarikan dan menjaga hal-hal yang esensial mendasar. Yaitu sistem kalender Jawa Sultan Agung, meski hanya dikenal dan dipahami sebagian warga peradaban, baik di dalam lembaga masyarakat adat maupun di luar.

Meski kini dominasi ekspresi simbol-simbol Mataram dalam sistem waktu atau sistem kalender sudah sangat berubah oleh ”penetrasi” budaya Timur Tengah, tetapi IAIN Ponorogo dan KRT Ahmad Faruq Reksabudaya secara pribadi masih bisa diharapkan kemampuan dan kepeduliannya. Yaitu peduli dalam merawat dan melestarikan nilai-nilai peninggalan Mataram Islam, yang tonggaknya dipancangkan Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma pada tahun 1613.

RITUAL LABUHAN : Meski masih dalam suasana pandemi, Gusti Moeng tetap melakukan ritual ”labuhan” di laut selatan pantai Parangkusumo, Bantul (DIY). Ritual untuk mengisi tradisi di bulan Sura ini, dilakukan dengan rombongan sangat terbatas. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sistem Kalender Jawa/Islam

”Karya-karya (Sultan Agung/Mataram Islam) itu masih ada. Saya tinggal menyalin saja. Hampir semua masih relvan dengan kehidupan masa kini, bahkan mendatang. Meskipun, saya belum pernah mendengar ada lembaga yang secara khusus merawat sistem kalender Jawa/Islam (Sultan Agung). Tetapi mungkin ada, hanya saya yang belum tahu. Sultan Agung adalah raja Islam/Jawa yang bijaksana. Karena bisa melihat nilai-nilai manfaat pranata mangsa yang sudah ada sejak Tahun Saka, sebelum Islam masuk. Kalender yang diciptakan, tetap mengakomodasi pembagian waktu yang vital bagi kehidupan masyarakat petani itu,” jelas KRT Ahmad Faruq.

Mencermati apa yang dilakukan KRT Ahmad Faruq yang hingga kini selalu bersinergi dengan Keraton Mataram Surakarta di bawah Lembaga Dewan Adat (LDA) yang diketuai GKR Wandansari Koes Moertiyah, tampak bagaimana upaya-upaya pelestarian peradaban Mataram/Jawa dan nilai-nilai Islam yang melekat di dalamnya selalu dilakukan. Bahkan pada titik sentral yang sangat esensial dan mendasar, yaitu sitem kalender dan pembagian waktu yang menjadi pedoman dalam kehidupan warga peradaban secara luas.

Sebab itu, apa yang selama ini minimal selama pandemi Corona berlangsung dalam 2 tahun ini dilakukan LDA bersama segenap elemennya, merupakan langkah-langkah yang sangat mendasar dalam rangka mengembalikan wibawa, harkat dan martabat Keraton Mataram Surakarta. Berbagai aktivitasnya selama ini, seperti serangkaian kegiatan menyambut datangnya Tahun Baru Jawa Alip 1955 mulai tanggal 1 Sura lalu, adalah kegiatan-kegiatan dalam rangka merawat dan menjaga eksistensi dan kelangsungan Keraton Mataram Surakarta.

AMANGKURAT AGUNG : Tak lama lagi, Gusti Moeng selaku LDA Keraton Mataram Surakarta akan membawa rombongan terbatas untuk berziarah dalam ritual larap selambu makam Sinuhun Amangkurat Agung di kompleks Astana Tegalarum, Kabupaten Tegal/Slawi. Kegiatan itu untuk memaknai bulan Sura seperti yang dilakukan tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Diskusi dan Sarasehan

Hal yang mendasar dan esensial ini memang sulit bisa dipahami kaum milenial sekarang ini, bahkan generasi orang tua mereka sangat banyak yang sudah tidak paham atau tidak mau repot dengan segala macam ”etung” dan ”petung” seperti yang dipaparkan dalam sistem kalender Jawa/Islam, lengkap selama 12 bulan. Tetapi memang, mengenal kembali atau kembali memperkenalkan nilai-nilai peradaban Mataram/Jawa, perlu dimulai dari yang paling sederhana, yang mudah dipahami manusia di abad milenial ini, antara lain melalui karya-karya ”tangible” yang dikemas dalam promo destinasi wisata virtual, misalnya.

Namun, sebagai generasi warga peradaban yang sudah ”melek” asal-usul, melakukan refleksi di saat menyambut atau selama bulan Sura, sangatlah banyak manfaatnya. Forum-forum sarasehan dan diskusi sangat baik utuk ditempuh, apabila dikombinasikan dengan pemasaran destinasi wisata secara virtual. Tetapi pekerjaan ini, tentu pihak pemilik otoritas yang berada di depan memimpin.

Sementara, Gusti Moeng da berbagai elemennya biar melakukan kegiatan-kegiatan rutin yang selama ini bisa dilakukan di luar kelembagaan Keraton Mataram Surakarta, di mana dia menjabat sebagai Pengageng Sasana Wilapa. Walau berada di luar sejak April 2017, ketika datang bulan Sura seperti ini, aktivitas yang dilakukan dalam merawat dan menjaga peradaban Mataram, nyaris tidak menyisakan waktu untuk beristirahat.

Terlebih ketika pasangan ”Enam Srikandi Mataram” itu, kini tinggal Gusti Moeng dan adiknya, Gusti Ayu (GKR Ayu Koes Indriyah) serta GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani (anak tertua PB XIII) karena GKR Galuh Kencana, GKR Sekar Kencana dan GKR Retno Dumilah mendahului dipanggil Sang Khalik. Begitu juga satu-satunya putradalem PB XII yang paling aktif mengikuti Gusti Moeng, yaitu GPH Nur Cahyaningrat, juga sudah mendahului menghadap Sang Khalik. (Won Poerwono-bersambung)