Kini, Publik Menunggu Komitmen Para Penerus Dinasti Mangkunegaran
IMNEWS.ID – SETELAH peristiwa wafatnya KGPAA Mangkunagoro (MN) IX pada hari Jumat Legi dinihari tanggal 13 Agustus (iMNews.id, 13/8), kini sudah lebih dari ritual peringatan ”pitung dina” atau tujuh hari, tak lama lagi akan menginjak upacara adat peringatan 40 hari meninggalnya Sang Penjaga Budaya. ”Berpulang” hanya tinggal 4 hari menjelang peringatan ”wiyosan jemenengan” ke-32 itu, kini menjadi pengingat-ingat publik secara luas terutama yang memperhatikan eksistensi dan perjalanan Dinasti Mangkunegaran.
Sebab, kata kunci ”wiyosan jumenengan”, tentu akan dihubungkan dengan siapa tokoh yang memperingati ulang tahun tahta itu, yang tak lain adalah KGPAA MN IX. Dan ketika yang akan berulangtahun tahta wafat di tanggal 13 Agustus (2021), daya nalar publik tentu terkoneksi dengan referensi berupa pertanyaan apakah dinasti itu akan berlanjut?.
Ketika secara faktual disebut bahwa anak lelaki dari KGPAA MN IX salah satunya GPH Paundra Karna Jiwanagara, adalah anak tertua dari 4 orang (dari dua istri), tentu saja pertanyaan apakah dinasti akan berlanjut sudah terjawab, meskipun ”belum sepenuhnya”. Kemudian, ketika sudah ada sosok figur yang disebut-sebut bisa menjadi ”jaminan” berlanjutnya dinasti, publik pasti akan bertanya kapan proses suksesi atau penetapan calon KGPAA MN X itu akan dilakukan?.
Mengenai adanya kata bersayap ”belum sepenuhnya”, itu karena mengingat proses terjawabnya pertanyaan siapa yang menggantikan, merujuk pada dasar paugeran adat, yang dikombinasi (dimatangkan) melalui mekanisme kesepakatan, karena terciptanya ruang dialog dan musyawarah. Dua hal itu bisa ditempuh hingga menghasilkan keputusan yang ”win-win solution”, sehingga tidak perlu terjadi ”ontran-ontran” ketika anak lelaki sulung yang bernama GPH Paundra Karna Jiwanagara dan si bungsu GRM Bhre Wira Cakra Hutama bisa berbagi tugas tetapi tetap bersama-sama tampil memimpin.
Tetapi, seperti apa jadinya atau bagaimana komposisi formasi yang bisa diciptakan agar keduanya bisa tampil memimpin dengan ideal, tanpa mencederai ”konstitusi” paugeran adat?, baiklah ditunggu ”tanggal mainnya”. Sebab, sudah ada peristiwa serupa baik yang terjadi di Pura Mangkunegaran sendiri, yaitu ketika ayah keduanya yaitu KGPAA MN IX tampil di tahun 1988. Begitu pula tatkala ada proses suksesi di Keraton Mataram Surakarta tahun 2004, saat KGPH Hangabehi tampil menggantikan ayahandanya.
Proses tampilnya pemimpin adat di dua lembaga masyarakat adat yang sama-sama bagian keluarga besar Dinasti Mataram itu, patut dijadikan ”kaca brenggala”, terutama dari tatacara menentukan waktu yang ideal (secara adat) untuk menetapkan pemimpin penggantinya, setelah pemimpin adat sebelumnya wafat. Melihat yang terjadi di ”Kadipaten” Mangkunegaran, setelah Sri Paduka (SP) MN VIII wafat tanggal 5 September 1987, baru kira-kira 100 hari kemudian dan jatuh pada tanggal 24 Januari 1988 KGPH Sudjiwo Kusumo ditetepkan jumeneng nata sebagai KGPAA atau SP MN IX.
Meski dari tatacara menentukan waktu yang baik untuk menetapkan seorang pemimpin penerus dinasti dianggap sudah ideal karena sesuai paugeran adat, tetapi itu bukan jaminan bahwa proses penetapan dan upacara adat jumenengan nata bisa berbuah manis. Karena, proses untuk menuju momentum 24 Januari 1988 itu, tetap saja dihadang oleh keributan atau friksi hebat yang disebut ”ontran-ontran” (jilid 1) di tahun 1988 itu, karena ada pihak (kerabat) yang ingin memunculkan tokoh lain sebagai calon SP MN IX, dengan dasar dan alasan-alasan yang dimilikinya.
Tetapi, ”ontran-ontran” itu bisa diatasi karena tentu saja sudah dicapai melalui ruang dialog atau musyawarah, yang kemudian menghasilkan kesepakatan atau keputusan yang ”win-win solution”. Sampai menempuh tahap itupun, ternyata tidak menjamin perjalanan berikutnya mulus dan bisa melenggang nyaman, karena ternyata masih ada upaya-upaya untuk ”melengserkan” SP MN IX melalui mosi tidak percaya yang keluar dari lembaga Himpunan Kerabat Mangkunegaran (HKMN).
”Ontran-ontran” jilid 2 yang dihadapi SP MN IX setelah menikahi Prisca Marinan (GK Putri Mangkunagoro-Red) di awal tahun 1990-an itu, akhirnya juga bisa diselesaikan tak berlama-lama dan ”win-win solution” bisa dicapai. Tetapi, apakah itu berarti setelah paugeran adat menentukan waktu menetapkan calon pemimpin pengganti SP MN VIII setelah 100 hari bisa dipenuhi, lalu ada jaminan kelangsungan perjalanan tahtanya kemudian (setelah 24 Januari 1988) aman-aman saja? Fakta telah menunjukkan, jelas tidak.
Referensi berikutnya, datang dari Keraton Mataram Surakarta ketika Sinuhun Paku Buwono (PB) XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004. Didukung sejumlah pinisepuh seperti GPH Haryo Mataram SH (Rektor pertama UNS), KPH Kusumo Wijoyo dan KPH Broto Adiningrat, para kerabat yang dimotori Gusti Moeng (GKR Wandansari Koes Moertiyah) bersepakat untuk menunggu 100 hari lagi dalam menetapkan KGPH Hangabehi sebagai Sinuhun PB XIII.
Tetapi, dinamika politik internal masyarakat adat yang cepat memuncak saat itu, akhirnya diputuskan untuk menentukan tanggal 10 September 2004 untuk menggelar upacara adat menetapkan anak tertua dari 35 putra/putridalem Sinuhun PB XII menjadi Sinuhun PB XIII. Jadi, kira-kira pas 100 hari atau lewat beberapa jam setelah 100 hari sesuai hitungan hari dan weton terpenuhi, seakan-akan ”dipaksa” mengadakan upacara adat, untuk menetapkan pemimpin adat baru, untuk menggantikan Sinuhun PB XII.
”Saat itupun, sebenarnya para sesepuh masih keberatan. Kami juga sependapat, setuju dengan keberatan para pepunden itu. Karena, tentu lebih nyaman kalau berjalan benar-benar sesuai paugeran, dalam suasana yang bebas dari segala bentuk rongrongan. Tetapi, rupanya kami semua harus memutuskan lebih awal, karena situasinya tidak nyaman. Jadi, dari sisi waktu saja, sudah terasa kemrungsung. Apalagi, tanggal 31 Agustus sudah ada yang mendahului menetapkan Sinuhun PB XIII (KGPH Tedjowulan, di Sasono Purnomo-Red),” papar Gusti Moeng mengisahkan sedikit peristiwa suksesi 2004, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang.
Referensi yang disebut Gusti Moeng itu, tentu contoh pelaksanaan alih suksesi di lingkungan masyarakat adat (Keraton Mataram Surakarta) yang kini ia pimpin sebagai Ketua LDA. Bila dicermati, esensi dari penentuan waktu untuk menetapkan seorang pemimpin adat, memiliki dasar pemikiran yang sama antara Keraton Mataram Surakarta dengan Pura Mangkunegaran, mengingat sama-sama menjadi bagian dari Dinasti Mataram.
Artinya, paugeran adat yang sudah disepakati internal masyarakat adat secara turun-temurun itulah yang harus dijunjung tinggi, baik oleh masyarakat adat Dinasti Mangkunegaran maupun masyarakat adat yang kini dihimpun dalam LDA Keraton Mataram Surakarta. Termasuk soal menentukan waktu yang ideal untuk menggelar upacara adat dalam menentapkan seorang calon pemimpin baru, agar dalam waktu sekitar 100 hari itu, menjadi durasi yang cukup atau lebih longgar bagi pihak-pihak yang berwenang di internal masyarakat adat, untuk berdialog, bermusyawarah dan bermufakat untuk sepakat bulat.
Karena kelangsungan dinasti masih dianggap perlu dan penting, tentu saja keberadaan pemimpin adat juga dianggap perlu dan penting. Dengan demikian, jaminan kelangsungan dinasti dan produk-produk budayanya, pasti dianggap perlu dan penting. Oleh sebab itu, alat kontrol dan pemandu berupa paugeran adat itu, tentu juga dianggap perlu dan penting, untuk dijalankan dan ditegakkan.
”Dengan begitu, saya kira proses suksesi di Pura Mangkunegaran ini akan berjalan mulus, aman dan nyaman. Jauh dari ontran-ontran. Karena itu sangat tidak perlu, hanya akan membuang energi secara sia-sia. Karena, ontran-ontran akan merusak banyak hal, terutama kesempatan untuk berkarya jadi hilang percuma”.
”Publik dan generasi anak-cucu yang akan datang, sudah menunggu karya-karya nyata pemimpin adat yang baru. Karya-karya yang bermanfaat untuk merawat/membangun peradaban dan kehidupan secara luas,” harap KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, seorang pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual kebatinan di waktu dan tempat terpisah. (Won Poerwono-habis)