Insiden di Keraton Surakarta 2017, Jadi Ancaman Kebhinekaan
IMNEWS.ID – LAHIRNYA Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara (FKIKN) di Kota Surakarta tahun 1994 yang ditandai dengan berlangsungnya Festival Keraton Nusantara (FKN) pertama, merupakan semangat untuk menjaga keutuhan bangsa yang juga NKRI. Sebab, semua keraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat yang menjadi anggota FKIKN itu adalah para pemilik wilayah yang tersebar di Nusantara ini, yang bersepakat untuk mengorbankan wilayahnya dan ikut mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 serta membentuk sebuah bangsa yang disebut bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, bangsa Indonesia atau NKRI terdiri dari suku-suku yang tersebar di Nusantara dan masing-masing memiliki cirikhas yang beda dan sangat beragam. Tetapi, keragaman itu menjadi potensi kekuatan yang luar biasa di berbagai bidang, dan menjadi cirikhas NKRI yang tiada tandingannya. Ibarat sebuah taman, warna-warni suku bangsa itu akan selalu memancarkan keindahannya apabila dirawat, dipupuk dan disirami.
Para pendiri bangsa seperti sepasang Proklamator, Soekarno-Hatta, sangat sadar terhadap potensi itu, ketika memulai merintias kemerdekaan dan berupaya mewujudkan sebuah bangsa yang terbingkai dalam NKRI. Begitu pula, para perintis kemerdekaan seperti beberapa tokoh dari ”nagari” Mataram Surakarta yang silih-berganti mempersiapkan fundamen bangsa ini, di antaranya Sinuhun Paku Buwono (PB) X, seorang raja yang memiliki kematangan sikap dan pola pikir dalam kehidupan yang berbhineka.
Sikap Keraton Mataram Surakarta di tangan Sinuhun PB X dan XI dalam ”mempersiapkan” sebuah bangsa dalam negara yang bhineka, jelas sekali contoh-contohnya seperti yang banyak disinggung dalam naskah yang disusun Dr Purwadi (Ketua Lokantara). Di sana, dilukiskan bagaimana Sinuhun PB X ikut menandaskan peristiwa Sumpah Pemuda, ikut menyeponsori lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan elemen-elemen kebhinekaan lainnya.
Taman Bhineka yang Indah
Dari catatan Dr Purwadi yang diterbitkan Lokantara juga menyebut, begitu NKRI lahir di saat Sinuhun PB XII sudah jumeneng (1945-2004), estafet membangun sebuah taman yang bhineka semakin intensif dilakukan, yaitu ketika diajak Ir Soekarno (Presiden RI 1) berkeliling Nusantara, beberapa saat setelah 17 Agustus 1945. Safari keliling di daerah yang menjadi wilayah eksistensi keraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat itu, dimaksudkan untuk membantu Sang Proklamator dalam menjelaskan misi dan visi menjalin silaturahmi untuk membentuk sebuah bangsa dengan bingkai NKRI.
”Jadi, beberapa waktu setelah proklamasi kemerdekaan, Sinuhun (PB XII) diajak Ir Soekarno berkeliling di keraton/kesultanan se-Nusantara. Intinya, dijelaskan bahwa kemerdekaan sudah dicapai dan tali silaturahmi semua elemen berupa suku-suku perlu dirajut. Bersepakat menyatu dalam sebuah bangsa yang diikat dalam NKRI. Sinuhun diajak untuk meyakinakan para raja/sultan/datu/pelingsir adat untuk bergabung,” jelas Dr Purwadi dalam kesempatan ‘ngobrol’ santai dengan iMNews.id di Solo, beberapa waktu lalu.
Dan catatan yang menjadi bagian hasil penelitian Dr Purwadi itu dibenarkan GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua FKIKN. Musyawarah agung para raja, sultan, datu, pelingsir adat untuk melahirkan FKIKN di tahun 1994, begitu banyak pernyataan di antara mereka yang mengakui peran ketokohan Sinuhun PB XII ketika bangsa yang majemuk ini dibangun. Dan oleh karena itulah, semua bersepakat untuk memberi penghormatan kepada Sinuhun PB XII menjadi ”sesepuh” FKIKN, yang kemudian bersepakat menetapkan Gusti Moeng sebagai Sekjen dan Keraton Mataram Surakarta disepakati sebagai kantor sekretariat jenderal FKIKN.
Pejelasan Dr Purwadi dan pengakuan Gusti Moeng selaku Sekjen FKIKN itu, jelas melukiskan secara riil bagaimana perjalanan keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat yang menjadi simbol kebhinekaan itu bersepakat untuk menyatu dalam sebuah bangsa dengan bingkai NKRI. Dan dengan merawat simbol-simbol kebhinekaan itu, bangsa ini menjadi besar, berkembang dan maju, meskipun dalam perjalanannya kemudian juga menghadapi tantangan (disintegrasi) yang besar sampai di usia 76 tahun ini.
Diikat Dengan FKIKN dan MAKN
Ikatan kebhinekaan atau kemajemukan itu, terus dipupuk di antaranya melalui event-event pertemuan silaturahmi sambil mempromosikan keanekaragaman mereka yang berbeda dan khas yang diinisiasi FKIKN. Bahkan sejak 1994, para raja, sultan, datu, pelingsir adat bersepakat, untuk menggelar event yang diberi nama Festival Keraton Nusantara (FKN) itu tiap 2 tahun sekali, tetapi di tahun 2014 disepakati untuk menggelar event itu rutin tiap tahun yang baru terwujud FKN di Kota Cirebon 2017.
Namun, dari sekitar 250 keraton / kesultanan / kedatuan / pelingsir adat yang tersebar di Nusantara sebelum 1945, dalam perjalanan kemudian tidak semuanya bisa eksis atau bertahan ketika menghadapi zaman yang berubah, terutama dinamika sosial, politik dan budaya bangsa ini. Ketika FKIKN resmi berdiri dalam sidang musyawarah agung para raja, sultan, datu dan pelingsir adat di Solo 1994, ”bunga-bunga” pengisi taman Nusantara itu hanya tersisa sekitar 80-an dan yang benar-benar bisa menjadi anggota FKIKN hanya tinggal 47 keraton / kesultanan / kedatuan / pelingsir adat.
”Sisanya (40-an lembaga masyarakat adat), mulai dua tahun lalu terwadahi dalam Majlis Adat Keraton Nusantara (MAKN). Untuk menjadi MAKN, jalannya juga berliku-liku dan melalui proses dalam beberapa tahun. Itu juga karena harus menghadapi dinamika sosial politik yang memang sulit dihindari. Yang jelas, visi dan misi MAKN, ingin menjadi mitra negara dan pemerintah, untuk memperkuat ketahanan budaya, ketahanan ekonomi berbasis budaya dan menjaga utuhnya kebhinekaan itu. Dan misi yang utama, bersama FKIKN ikut menjaga keutuhan NKRI. Karena, para anggota dua organisasi itu yang pernah melahirkan NKRI,” tandas KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Harian MAKN, menjawab pertanyaan iMNews.id di tempat terpisah, kemarin.
Melihat realitas dan potensinya, simbol-simbol kebhinekaan yang tersebar di seluruh Nusantara itu menjadi tugas bersama seluruh bangsa dan negara untuk menjaga keutuhan dan eksistensinya. Karena, kemajemukan itulah yang sudah terbukti menjadi keukatan, kebesaran dan cirikhas yang membanggakan dan dikagumi bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu, haruslah disadari para pengelola negara ini untuk tetap menjaga agar dinamika sosial, politik dan budaya dalam berdemokrasi, jangan sampai mengorbankan kebhinekaan bangsa yang sangat membanggakan ini.
Jangan Mengorbankan Kebhinekaan
Atas dasar itu, ketika mencermati dinamika sosial, politik dan budaya dalam kurun waktu satu sampai dua dekade terakhir ini, para stake holder negara ini perlu merenungkan lagi visi-misi dalam membangun bangsa dan bingkai NKRI pada 17 Agustus 1945. Karena, dalam kurun waktu itu telah bermunculan dinamika sosial dan politik yang sudah masuk batas membahayakan bagi keutuhan kebhinekaan bangsa ini, yang tidak hanya meliputi kemajemukan suku dan ras, tetapi mencakup pula agama dan antar golongan (SARA).
Dinamika sosial-politik yang bermunculan di setiap kesempatan Pilkada dan Pilpres dalam satu sampai dua dekade terakhir ini, benar-benar telah membelah potensi bangsa ini dan mencerai-beraikan kebhinekaan bangsa ini. Benih-benih sentimen SARA seakan dibiarkan berkembang menjadi sentiman politik identitas, padahal bisa merusak keindahan taman bunga Nusantara ini.
”Termasuk juga, membiarkan terjadinya insiden di Keraton Mataram Surakarta yang terlantar hingga sekarang. Itu sama halnya mengingkari sumpah dan janji para pendiri bangsa ini. Karena, Keraton Mataram Surakarta itu menjadi yang pertama mengisi taman Nusantara. Kalau membiarkan keraton terpuruk, berarti membiarkan taman ”bangsa” ini tampak buruk. Apa tidak akan rugi sendiri, kalau taman yang telah dibangun indah, dibiarkan rusak dan menjadi buruk?. Ini mengancam keutuhan kebhinekaan bangsa lo,” tunjuk KRT Hendri Rosyad Wreskso Puspito seraya mengingatkan semua pihak untuk waspada, ketika dimintai tanggapan iMNews.id di tempat terpisah, tadi siang.
Di sisi lain, nasib ”bunga” pengisi taman yang bernama Keraton Mataram Nusantara hingga menjadi terpuruk dan ditelantarkan seperti sekarang ini, diakui KRT Hendri sebagai liku-liku perjalanan sejarah di saat menjadi korban sebuah dinamika sosial politik. Tetapi di sisi lain, para stake holder negara perlu berpikir ulang untuk tidak mengorbankan keutuhan kebhinekaan bangsa ini, karena penelantaran bunga-bunga pengisi taman, bisa-bisa menjadi benih yang membahayakan keindahan taman Nusantara, yang pada gilirannya akan merusak daya tarik bangsa dan negara ini. (Won Poerwono)