Bunyi Gending Manguyu-uyu Bisa Sampai 2 Jam untuk ”Mengundang Sowan”
IMNEWS.ID – KEARIFAN adat di Keraton Mataram Surakarta dalam bentuk isyarat yang berupa bunyi konser gamelan yang menyajikan gending ”Manguyu-uyu”, ternyata durasinya bisa mencapai 120 menit. Konser gamelan yang ditabuh secara bergantian antara seperangkat Kiai Semar Ngigel yang berada di Bagsal Pradangga dengan Kiai Kaduk Manis yang ada di teras Paningrat, jelas dimaksudkan untuk isyarat mengundang semua yang wajib sowan, dan kini para tokoh yang dihadirkan sebagai tamu undangan.
Isyarat dua perangkat gamelan yang ditabuh bergantian menyuguhkan gending ”Manguyu-uyu” (mengundang/menyambut) itu, bermaksud agar semua yang wajib sowan dan para undangan untuk segera merapat lalu mencari tempat duduk yang disediakan. Gendhing-gending itu, adalah khas dan secara khusus diperdengarkan dalam pisowanan agung ritual tingalan jumenengan yang digelar di Pendapa Sasana Sewaka.
Sampai di sini, apa yang disebut sebagai kejanggalan yang bisa diidentifikasi dalam sajian tarian sakral Bedaya Ketawang, jelaslah menjadi kejanggalan ritual tingalan jumenengan secara keseluruhan karena sajian tari itu berada di dalamnya. Tetapi sekali lagi, kejanggalan itu sangat positif adanya, karena terjadi di dalam sebuah aktivitas adat budaya di lingkungan masyarakat peradaban Mataram, sementara pembandingnya adalah situasi dan kondisi kehidupan secara luas di luar masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta.
Perbedaan yang membuat kesan janggal itu, bila diurai lagi memperlihatkan di satu sisi sebuah aktivitas adat bisa berjalan lancar dalam durasi sampai 3 jam lebih tanpa hadirnya seorang MC atau pemandu/pengatur acara. Di sisi lain, masyarakat modern yang banyak memiliki aktivitas bertemakan tradisional maupun bercirikan modern, sudah sangat terpola dan terkesan ada ”ketergantungan” dengan hadirnya MC sebagai pemandu atau pengatur acara.
Antara keduanya, hingga kini tetap berjalan di lingkungan masing-masing, dan tentu masing-masing memiliki alasan tersendiri. Bila di lingkungan masyarakat adat menggelar ritual misalnya tingalan jumenengan, cara mengundang para ”peserta” pisowanan dan tamu undangannya dengan ”ungeling gangsa” yang menyajikan gending ”Manguyu-uyu” sampai 2 jam lamanya. Oleh karena itu, selain tidak ada gungsi dan job diskripsi MC, di keraton atau segala aktivitas di internal keraton, sangat jarang menggunakan/memiliki perangkat sound system yang memadai, misalnya seperti yang digunakan di ruang Pendhapi Gedhe Balai Kota Surakarta.
Tak Perlu Sound System
Mengapa setiap acara di dalam keraton bisa berjalan tanpa MC yang berarti tanpa perangkat sound system, itu karena aktivitas ritual yang dijalankan di internal masyarakat adat keraton itu selalu dilakukan dan terus berulang, nyaris monoton, rutin setiap tahun dalam waktu yang panjang. Ritual tingalan jumenengan misalnya, dilaksanakan rutin dan berulang selama ”nagari” (negara Mataram Surakarta) eksis, yaitu selama 200 tahun (1745-1945), bahkan terus berlanjut hingga kini.
Padahal, sebelum ”negara” Mataram ibukotanya pindah ke Surakarta, ritual tingalan jumenengan juga dilaksanakan secara rutin ketika Ibu Kota Mataram berada di Kartasura berlangsung 40-an tahun (1703-1745), di Ibu Kota Kerta/Plered berlangsung selama 90-an tahun (1613-1703) dan di Ibu Kota Kutha Gedhe berlangsung sekitar 25 tahun (1588-1613). Sebuah aktivitas yang dilakukan secara rutin dan berlangsung sampai 300-an tahun, sangatlah wajar apabila terbentuk sebuah sistem baku yang bisa berjalan sendiri, urut dan runtut mirip kerja otomatis atau tanpa awak setelah tombol power ”on”-nya ”disentuh”.
Bedanya dengan aktivitas di luar masyarakat adat yang terkesan ”bergantung” pada kehadiran MC/pemandu/pengatur acara atau juru pranatacara, itu karena aktivitas tersebut diselenggarakan oleh orang/kelompok orang yang berbeda-beda. Konsep-konsep dalam kehidupan modern untuk aktivitas apapun, semisal forum ilmiah dan tradisional seperti resepsi/hajat pengantin sekalipun, sangat perlu dipandu/diatur oleh sosok MC atau sejenisnya ditambah perangkat sound system memadai, dengan harapan agar dicapai hasil yang efektif, efisien, esensial, jelas dan tegas sebagai ciri-ciri perilaku modern.
Plus-minus di antara dua produk peradaban itu tentu selalu menyertai sebagai pelengkap, tetapi ada hal esensial yang sangat membedakan yang bernama dimensi estetik. Dimensi ini yang justru menjadi cirikhas yang mendominasi produk peradaban Jawa/Mataram bernama tarian sakral Bedaya Ketawang, yang sebenarnya menjadi simbol esensial ritual itu, tetapi berada dalam bungkus ritual tingalan jumenengan tersebut.
Meskipun masing-masing peradaban memiliki ukuran estetika dalam produk-produknya, tetapi estetika tarian sembilan wanita dengan dandanan yang khas itu, bisa merepresentasikan kualitas estetika bahkan etika (tatanilai) warga peradaban yang melegitimasi. Sebab, puluhan orang bahkan ratusan orang, ”bersedia” diperintah bunyi gending Ketawang Puspawarna Slendro Manyura, untuk bergerak dalam wujud ungkapan/sikap hormat dan ”laku dhodhok” (berjalan sambil jongkok) menuju tempat ”seba” atau ”paseban” yang disediakan dalam ”pisowanan agung”.
Sebuah tatailai etika yang menjadi satu dengan unsur estetika, ketika gending yang dikumandangkan berbareng antara gamelan ”Monggang Ageng” dan ”Kiai Udan Arum” menjadi pertanda upacara adat tingalan jumenengan segera dimulai. Karena, begitu gending keempat itu berbunyi, semua sentana dan abdidalem reh Parentah Keraton, harus segera menampatkan diri di ”paseban” yang disediakan dalam ”pisowanan agung” itu.
Manfaat di Balik Kejanggalan
Satu-satunya bunyi suara orang mengucapkan kalimat laporan, adalah ketika pejabat ”Bupati Gantung Seba” yaitu wanita bergelar Nyi Mas Tumenggung, melapor kepada Sinuhun Paku Buwono dan semua yang hadir, bahwa semua sentana dan abdidalem reh Parentah Keraton sudah sowan dan siap mengikuti upacara. Iringan gamelan dalam irama ”Pathetan” Pelog 5 Ageng yang segera terdengar (gending kelima), juga menjadi tanda keluarnya para penari Bedaya Ketawang yang diarak masuk oleh Bupati Gantung Seba.
Begitu semua penari yang berjumlah sembilan sudah berada di posisi masing-masing, yaitu di tengah-tengah upacara adat tingalan, gending Ketawang Ageng segera diperdengarkan. Gending keenam ini, sebagai pertanda berlangsungnya tarian sakral Bedaya Ketawang, yang sekaligus menjadi iringannya. Konser gending sekaligus tarian yang diiringinya, akan berlangsung dalam durasi 90 menit (aslinya lebih dari 120 menit).
Tanpa aba-aba MC atau juru pranatacara, begitu selesai membawakan tarian bersamaan dengan berakhirnya gending Ketawang Ageng, Bupati Gantung Seba ”ngirid” (memimpin) barisan para penari keluar dari Pendapa Sasana Sewaka untuk menuju bangsal Bedaya yang letaknya di bagian belakang pendapa. Saat itulah, bunyu gamelan berganti irama gending ”Pathetan” Pelog 5 Ageng sebagai gending ketujuh.
Gending isyarat masuknya para penari ini, hanya berlangsung belasan menit, karena segera dilanjutkan dengan gending Ketawang Undur-undur Kajongan, laras Slendro Pathet Manyura sebagai gending kedelapan. Gending ini sebagai pertanda, Sinuhun Paku Buwono ”jengkar” atau berdiri dari singgasana untuk meninggalkan tempat upacara.
”Gending itu, katanya menjadi tanda kalau pisowanan berakhir (bubar). Suatu saat saya pernah tertidur pulas akibat ‘terhipnotis’ suara gamelan dan gerakan tarinya, juga langsung tersadar/terbangun ketika gending itu berhenti. Ini sebenarnya bisa saya pahami sebagai salah satu bentuk terapi kejiwaan. Karena, bisa membuat sejuk suasana, tenteram di hati. Ada titik singgung dengan bagian terapi, yang saya lakukan saat saya masih melayani terapi holistik, beberapa tahun silam,” ungkap KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito.
Sebuah sisi positif yang dipahami pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual itu, memang menjadi salah satu fakta yang justru punya nilai manfaat di balik kejanggalan yang dipersepsikan orang luar. Dan sebenarnya, banyak nilai manfaat keberadaan peradaban Jawa yang telah dirawat Dinasti Mataram secara turun-tumurun hingga kini, dan Keraton Mataram Surakarta telah membuktikan berbagai nilai manfaatnya terhadap kehidupan publik secara luas, apalagi terhadap republik ini. (Won Poerwono-bersambung)