Ada Delapan Sajian Gending dan Tari yang ”Tidak Perlu” Fungsi MC
IMNEWS.ID – KEJANGGALAN bukan berarti negatif atau tidak baik. Karena kejanggalan yang tampak di setiap berlangsungnya upacara adat di Keraton Mataram Surakarta, itu hanyalah pandangan atau persepsi orang yang melihat dari luar lembaga masyarakat adat atau warga peradaban secara luas. Dan realitasnya, memang tidak pernah ada peran, fungsi dan tugas pemandu/pengatur acara atau MC dalam upacara-upacara adat yang selama ratusan tahun dijalankan keraton.
Mungkin memang banyak yang tidak ”ngeh”, tetapi masih banyak juga warga internal lembaga masyarakat adat yang ikut menjadi bagian dari tata nilai adat, bisa memahami dan mengenal hal yang dipersepsikan janggal oleh orang luar. Bahkan sudah menjadi kebiasaan yang melekat, hingga menyatu dalam kerangka pikiran dan kehidupannya secara utuh (lahir-batin).
Karena upacara adat itu telah menjadi struktur yang lengkap dan bisa berjalan dengan sistem yang sudah mapan sampai ratusan tahun, maka bagi warga lembaga masyarakat adat yang menjadi bagian dari aktivitas adat tradisinya tidak melihat ada kejanggalan. Jadi kesimpulan sementara, semua upacara adat di keraton bisa berjalan tanpa dipandu/diatur seorang MC/juru pranatacara karena sudah ada sistem. Tetapi bagi orang luar melihat itu sebagai sebuah kejanggalan, hanya karena belum pernah melihat sistem beroperasinya sebuah aktivitas upacara adat.
Tombol untuk mengoperasikan sistem itu, adalah kalender Jawa yang terinci dalam nama tahun, satuan windu (delapan tahun), bulan, hari, weton pasaran dan sebagainya. Semua agenda kegiatan adat yang dijalankan di keraton, sudah tersusun rinci dengan simbol penanggalan/kalender yang sudah menjadi bagian sistem pengingat bagi warga peradaban, khususnya warga internal masyarakat adat sampai ratusan tahun.
Sistem itu bahkan sudah tersusun sejak Sultan Agung Prabu Hayakrakusuma, sebagai pendiri Mataram Islam sekaligus yang menyusun dan mengkolaborasikan antara kalender Islam dan Jawa, yang kemudian dimiliki dan dijalankan warga peradaban hingga kini. Contohnya, apabila datang Tahun ”Dahl” yang muncul sewindu atau delapan tahun sekali, pasti harus menggelar upacara adat ”adang sega” (menanak nasi) dengan ”dandang” (pusaka) bernama Kanjeng Kiai (KK) ”Dhudha”, bila tiba hari-weton ”Anggara Kasih” (Selasa Kliwon) ada gladen tari Bedaya Ketawang dan ”ngesis wayang”, bila yang datang bulan Mulud berarti ada Sekaten beserta prosesi gunungan Garebeg Mulud dan seterusnya.
Kalender Jawa yang dimiliki Keraton Mataram Surakarta dan kini menjadi milik warga peradaban secara luas, bisa disebut sebagai tombol utuk mengoperasikan sebuah sistem aktivitas upacara adat apa saja yang selama ini masih dimiliki keraton. Mulai dari ”wilujengan nagari” peringatan berdirinya Keraton Mataram Surakarta tiap tanggal 17 Sura, ”wilujengan nagari Mahesa Lawung” (100 hari setelah 17 Sura), hingga ritual tingalan jumenengan tiap datang bulan, tanggal dan wetonnya.
”Paling hanya mengingatkan saja. Kalau dulu Pengageng Parentah Keraton, sekarang Pengageng Sasana Wilapa. Dua bebadan ini yang punya fungsi mengingatkan kalau waktu upacara adat sudah dekat. Lalu ‘paring dhawuh’ yang sifatnya juga mengingatkan pelaksanaannya. Sudah, itu saja. Jadi, tidak perlu ada pemandu/pengatur protokoler agenda. Begitu juga saat upacara adat berlangsung, tidak perlu ada MC atau sejenisnya. Karena, sistem yang disusun dan dibangun, sudah berjalan sampai 200 tahun. Jadi, sudah mapan”.
”Selama 200 tahun itu di Surakarta thok lo. Padahal, sejak Sultan Agung, berapa ratus tahun itu…? Yang sering terdengar, kalau ada aba-aba dhawuh misalnya dari saya, atau Gusti Puger, atau (KGPH) Mangkubumi, tertuju kepada abdidalem ulama untuk menyampaikan ‘ujub’ wilujengan dan memimpin doa. Itu saja. Tak ada kalimat lain yang bersifat mengatur/memandu acara. Semua langsung berjalan mengalir begitu saja,” papar Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) sekaligus Pengageng Sasana Wilapa, melukiskan jalannya mekanisme prosedur bebadan (departemen) dan upacara adat, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Menciptakan Suasana Mencekam
Beberapa contoh yang disebut Gusti Moeng itu masih tergolong jenis-jenis upacara adat yang masih terdapat sedikit ungkapan kalimat, meskipun hanya berbunyi ”……tumuli katindakna”, misalnya dalam upacara adat ”wilujengan nagari pengetan adeging keraton” atau Sesaji Mahesa Lawung. Dalam ritual tingalan jumenengan atau kirab pusaka, malah sama sekali tidak terdengar aba-aba apapun.
Karena pada prinsipnya, khusus untuk kedua jenis upacara adat itu, justru menghindari suara ucapan yang dari mulut untuk keperluan apapun. Yang diharapkan hanya keheningan, diam dan seakan membisu yang justru diharapkan terwujud dalam upacara adat ini, bahkan banyak yang merasakan mirip suasana ”tintrim” mencekam dan serem.
Sifat-sifat berlangsungnya upacara yang hening, diam dan seakan membisu, sebenarnya juga dikehendaki agar terwujud pada jenis-jenis upacara adat lain seperti wilujengan gunungan Sekaten Garebeg Mulud, Garebeg Syawal, Garebeg Besar, pengetan adeging keraton, Mahesa Lawung dan sebagainya. Tujuannya agar semua yang ada dalam upacara adat itu, perhatiannya tertuju secara fokus dalam konsentrasi tinggi menikmati inti atau yang menjadi esensi upacara adat tersebut.
Terlebih bila upacara adat itu adalah tingalan jumenengan, semua yang sowan diharapkan menyiapkan diri terutama spiritual kebatinannya untuk hanya mendengarkan suara ungeling gending Ketawang Ageng yang didominasi suara sepasang ”kemanak” dan kendang. Ketukan birama tiga jenis instrumen itu secara ritmik dalam durasi aslinya sampai lebih 120 menit, tentu akan membuat semua yang sudah berkonsentrasi mendengarkan, seperti terhipnotis dan alam bawah sadarnya mengikuti irama musik itu memasuki alam imajinatif yang terbangun saat itu.
Sambil mendengarkan suara gamelan iringan gending Ketawang Ageng, citra visual berupa gerakan sembilan penari Bedaya Ketawang yang hadir dengan busana khasnya untuk tarian sakral itu, juga menghadirkan kekuatan tersendiri yang ikut mendorong untuk memasuki alam bawah sadar dan kemudian membawa ke alam imajinasinya. Karena gerakan yang serempak sembilan penari dalam beberapa pola yang berganti, tetapi dilakukan berulang-ulang dalam durasi sampai lebih 120 menit, akan menjadi gerakan pemandu yang hipnotistik.
Dan menurut pengalaman seorang kerabat pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, kalau ketika sowan benar-benar siap untuk menikmati tari Bedaya Ketawang yang sakral itu, hasil yang didapat adalah sentuhan secara spiritual kebatinan pula. Begitu besarnya kekuatan spiritual yang berhasil didatangkan melalui sajian tari Bedaya Ketawang dalam waktu lebih dari 120 menit itu, tentu bisa membuat siapa saja yang sudah dalam kondisi siap, langsung tertidur tetapi alam bawah sadarnya melayang mengikuti suasana yang terbangun dari sajian tari itu.
”Apalagi, kalau ada keinginan kuat untuk membuktikan hadirnya Kanjeng Ratu Kencana Sari atau Kanjeng Ratu Kidul dalam sajian tari itu. Proses terhipnotisnya sangat cepat. Tetapi, apa yang saya lihat dalam tidur (terhipnotis) itu, saya tidak menjumpai sosok Kanjeng Ratu Kencana Sari yang selalu dipersepsikan hadir dalam sajian Bedaya Ketawang”.
”Saya hanya merasa berada di alam zaman keraton, entah berapa ratus tahun lalu. Begitu sajian tari selesai, saya terbangun dan berjalan seperti ada yang menuntun, di antaranya, sampai ikut berfoto dengan sembilan penari Bedaya Ketawang itu,” papar KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito mengisahkan pengalamannya mengikuti pisowanan tingalan jumenengan, jauh sebelum 2017, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Isyarat untuk Bergerak
Pengalaman KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito itu sekaligus mengungkapkan, bahwa mengikuti ritual tingalan jumenengan dan juga sejumlah upacara adat lain di keraton nyaris tak merasakan telah dipandu/diatur secara fisik oleh satu atau beberapa orang yang bertugas khusus di bagian itu. Semuanya seakan mengalir begitu saja dari awal hingga akhir, tanpa perlu diberi aba-aba atau komando, kecuali isyarat yang datang dari suara gamelan atau ”ungeling gangsa”.
Padahal, menurut KPH Raditya Lintang Sasangka yang sering mendapat tugas sebagai koordinator/pimpinan karawitan atau ”tindhih” abdidalem karawitan, upacara adat tingalan jumenengan adalah salah satu ritual di keraton yang durasinya paling lama dan hanya di satu tempat pisowanan yaitu di Pendapa Sasana Sewaka. Dalam upacara yang aslinya utuh berdurasi total sampai 3 jam itu, terdapat 8 gending karawitan yang disajikan sejak awal hingga seluruh rangkaian upacara itu berakhir.
Gending yang disajikan kali pertama adalah berupa gending ”pakurmatan” (penghormatan) yaitu ”Manguyu-uyu”, sebagai pertanda/ajakan semua yang wajib sowan, segera bersiap-siap menempatkan diri di zona masing-masing di Pendapa Sasana Sewaka dan bangunan pendukung di sekitarnya. Seperti diketahui, bangunan pendapa tempat pisowanan agung, cukup luas, tetapi dalam perkembangannya, diperlukan bangunan gedhong Sasana Handrawina yang ada di dekatnya, teras Bangsal Parasedya, halaman pendapa dan teras Bangsal Untarasana menjadi cadangan apabila yang sowan jumlahnya berlebih.
Dalam sekitar 10 menit, begitu gending ”Manguyu-uyu” diperdengarkan dari dalam pendapa, semua yang sowan mulia menempatkan diri sesuai zona kepangkatannya dalam kekerabatan, mulai dari kawula dalem, abdidalem garap, sentana, pangeran sentana, putra-putridalem, wayahdalem hingga undangan. Bagi yang kerabat, sebagian besar duduk bersila di lantai dan halaman, tetapi bagi undangan dan sederekdalem duduk di kursi yang disediakan di zona masing-masing.
Gending ”Manyu-uyu”, biasanya diperdengarkan mulai pukul 09.30 WIB, dan setelah itu disambung dengan sajian gending Ladrang Srikaton Pelog Barang, sebagai isyarat atau untuk menyambut ”miyosdalem” raja dalam hal ini Sinuhun Paku Buwono. Begitu Sinuhun sudah ”lenggah dampar tinangkil” atau duduk di singgasana bersanding dengan sederekdalem (saudara terdekat), segera terdengar gending Ladrang Wilujeng Pelog Barang, yang menjadi aba-aba bagi (wanita pejabat) ”Bupati Gantung Seba” yang berpangkat Nyi Mas Tumenggung untuk mempersilakan semua pejabat (bebadan/departemen) ”reh Prentah Keraton” masuk mengambil tempat duduk.
”Sampai di sini, sudah tiga dari delapan gending yang diperdengarkan untuk memberi isyarat atau aba-aba kepada siapa saja untuk menjalankan tugasnya dalam pisowanan itu. Jadi, tidak ada petugas pemandu/pengatur acara yang mengajak/memerintah semua yang hadir dalam pisowanan. Tidak perlu ada MC. Semua sudah berjalan, hanya karena mendengar gendingnya saja,” papar dosen pascasarjana FEB UNS yang kini sedang menyusun disertasi program doktoralnya, KPH Raditya Lintang Sasangka, yang juga Ketua Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, yang dihubungi iMNews.id secara terpisah. (Won Poerwono-bersambung)