Andi Zate Mengikuti Jejak Pembuka Jalan Masuk ke Suriname

  • Post author:
  • Post published:February 1, 2021
  • Post category:Seni
  • Reading time:7 mins read

Belajar pada Is Haryanto, Tapi Menghasilkan Produk Milenialitik

iMNews.id – VARIABEL Lord Didi Kempot (alm) ternyata tidak berdiri sendiri atau mandiri, dalam persoalan mendunianya genre musik keroncong dangdut (congdut) atau lagu dangdut Jawa sampai pada puncaknya, bersamaan dengan meninggalnya Sang Penjelajah, 5 Mei 2020.

Didi Kempot bersama kelompok musiknya di antaranya OKC Lare Jawi yang dikelola dalam wadah Didi Kempot Management (DKM), bisa dikatakan bukan variabel mandiri yang terpisah dari variabel-variabel lain dalam persoalan penjelajahan congdut/dangdut Jawa ke Suriname, kemudian ke Belanda.

Kira-kira satu atau dua dekade sebelum Didi Kempot bersama kelompok kerja musiknya sampai di Suriname dan Belanda mulai sekitar tahun 1996, para personel grup band Favourite seperti Is Haryanto, Ariyanto, Mus Mulyadi dan Mamiek Slamet, sudah mendahului menjelajah ke sana.

Mereka membawa musik berirama pop, keroncong yang sesekali terselip nuansa dangdut yang sebagian besar berlirik bahasa Jawa. Itu sangat masuk akal, karena di tahun 1980-1990-an, dalang/musisi tradisi Ki Nartosabdo sudah mendahului mengibarkan irama dangdut melalui karawitan (Numpak Perahu Layar) dan Rhoma Irama gencar-gencarnya ”kampanye” album-album dangdut.

Meski banyak variabel yang berpengaruh dalam proses mendunianya musik berirama congdut/dangdut yang mengiringi lagu-lagu berbahasa Jawa, tetapi boleh dikatakan ”Sang Raja Dangdut Jawa” Didi Kempotlah layak disebut tokoh yang mengeksekusi genre musik itu hingga ”booming” mendunia di tahun 2020.

“Saya bisa dikatakan menjadi bagian dari proses itu, meskipun lebih banyak berada di belakang layar. Dan saya berada di posisi itu sejak om Is Haryanto (alm) melibatkan saya di dapur rekaman Ariyanto Record (Arco) tahun 1996. Saat saya bergabung, grup Favourite Band sudah bubar,” ujar Andi Zate (49), pencipta sekaligus penyanyi lagu congdut/pop Jawa, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

Penulis sudah beberapa kali bertemu lelaki yang tinggal di Ndalem Soditan Permai, Gumpang, Kartasura, Sukoharjo itu, ketika bersama almarhum “Pujangga Dangdut Jawa” Didi Kempot sebagai mitra kerja, sejak awal tahun 2000-an lalu. Namun baru kali ini bisa “jagongan” dan berbincang panjang-lebar sampai beberapa waktu, walau hanya lewat telepon atau whatsapp (WA).

Namun justru dari sosok figur yang tak banyak dikenal publik atau media ini, banyak terkuak data informasi terutama soal proses mendunianya lagu-lagu dangdut/congdut/pop Jawa di satu sisi, dan reputasi serta popularitas Didi Kempot (alm) di sisi lain. Begitu pula, variabel-variabel lain terkait dalam soal korelasi antara dangdut Jawa, Suriname-Belanda, mendunia dan sederetan nama musisi yang terlibat di antaranya Didi Kempot.

BERSAMA PEMILIK RTV : Suami-istri pemilik Radio-TV (RTV) Garuda, Tomy Radji keturunan Jawa asal Suriname, berfoto bersama Didi Kempot (alm) saat berkunjung di Solo bersama rombongan dari Suriname, sekitar tahun 2016. (foto : iMNews.Id/Won Poerwono)

Ramah Kaum Milenial

Di satu variabel yang lain, Andi Zate bekerja pada Arco di Jakarta yang memiliki Ranu Suryanto sebagai ”aranger” (kerja aransemen), membuatnya terlibat ikut membantu menata aransemen lagu “Stasiun Balapan”, “Layang Kangen”, “Kuncung” dan sejumlah karya hit lain The Godfather of Broken Heart (alm). Lagu-lagu inilah yang membuka jalan bagi Didi Kempot, mulai menjelajah Suriname dan kemudian Belanda menjelang dan ketika memasuki abad milenial.

Masuknya karya-karya “Sang Pujangga Dangdut Jawa” bersama figur bintang dan kelompok musiknya, seakan mempertajam apa yang sudah diperkenalkan Is Haryanto, Ariyanto, Mus Mulyadi dan Mamiek Slamet. Karena jalan sudah dibuka para pentholan The Favourite Band itu, Andi Zate yang datang kemudian, tak sulit untuk bertemu produser musik Jawa asli Suriname keturunan Jawa, Pat Amatmarwan untuk berkolaborasi.

Pat yang sempat beberapa mengurus produksi album Didi Kempot di sebuah studio yangg ada di Praon, Nusukan, Banjarsari, kemudian menghubungkannya Andi dengan pemilik Radio-TV Garuda milik Tomy Radji. Radio dan TV nasional yang berkedudukan di Ibu Kota Paramaribo itu, kini dikelola generasi kedua Tomy Radji yang bernama Cindy sebagai Direktur Utamanya.

“Produser musik, Radio dan TV itu yang pernah memasyarakatkan om Is Haryanto), om Ary (Ariyanto), om Mus Mulyadi dan om Mamiek (Mamiek Slamet) di Suriname, kemudian Belanda. Setelah itu, giliran saya dan almarhum (Didi Kempot). Ujung dari proses itu, karya-karya congdut/dangdut/pop Jawa meluas ke berbagai negara dan menjadi ‘booming’. Jadi, tidak ada yang berdiri sendiri. Prosesnya seperti itu. Saya tahu, karena saya terlibat,” jelas Andi yang kini hidup dengan anak semata wayang, Clarista Wangi Pakerti (14) itu.

Meninggalnya Is Haryanto dan Ariyanto beberapa tahun lalu, membuat Andi Zate benar-benar harus mandiri berkarya di kampung halaman. Meskipun untuk menghasilkan 300-an karya lagu congdut dan pop Jawa yang banyak diarahkan agar ramah bagi kaum milenial itu, tidak pernah melupakan hubungan konsultatif teknis aransemen dengan Ranu Suryanto (Arco).

Dan karena tuntutan harus selalu dekat dengan remaja putrinya, terlebih dalam suasana pandemi “Pageblug Mayangkara” seperti ini, memaksa Andi banyak berinisiatif di rumah. Karena, studio Management Relink 24T yang didirikan di rumahnya, bisa dioperasikan sebagai kesibukan yang menghasilkan karya lagu dan bibit-bibit penyanyi baru yang ramah kaum milenial, serta tentu saja uang.

BERTEMU DI JATIM : Andi Zate, Didi Kempot (alm) dan Nur Bayan, saat ketiganya bertemu di Jatim jauh sebelum ”Sang Pujangga Dangdut Jawa” itu meninggal. Andi masih banyak membantu produksi lagu-lagu untuk para penyanyi di provinsi itu, termasuk Nur Bayan. (foto : iMNews.Id/dok)

Memunculkan Bibit Baru

Seiring dengan situasi pageblug yang masih melanda, Andi juga merubah peta jangkauan profesinya. Dari yang bertahun-tahun banyak berada di Jatim membantu munculnya penyanyi-penyanyi daerah di wilayah provinsi itu, sejak awal 2020 mulai terkonsentrasi untuk melahirkan generasi penyanyi baru di Solo Raya atau wilayah Jateng.

Staso Prasetyo anak lelaki tertua Didi Kempot (alm) dari istri Dian Ekawati, adalah salah satu yang ingin dibantu muncul ke industri musik nasional lewat jalur dangdut Jawa. Meskipun, tiga lagu yang sudah dipromosikan lewat YouTube oleh pemuda belia beranak dua ini, bukan karya Andi.

“Yang sedang saya promosikan bersama Kiki Atrika ini, benar-benar murni karya saya. Lagunya berjudul ‘Rasah Dipikir’, cocok untuk kaum milenial. Penyanyinya asal Kartasura sini saja. Nuansanya pop, tetapi liriknya campuran antara Bahasa Jawa, Belanda dan Suriname. Karena untuk pasar nasional dan internasional,” sebut Andi.

Lagu-lagu yang liriknya campuran beberapa bahasa yang didominasi bahasa Jawa, sudah banyak beredar di Suriname dan Belanda. Menjelang hingga awal tahun 2000-an, ada 4 album yang meledak terutama di Suriname. Antara lain bertajuk “Mailbox” yang dinyanyikan Ira Herlina, “Kudu Lilo” (Tya AFI), “Sarintul” (Didi Kempot), dan “Nuk” (Andi Zate-Ira Herlina).

Meski nyaris tidak “boom”, tetapi tiga lagu ”Duku Opo Salak”, ”Kawula Alit” dan ”Loro Tresno” yang dinyanyikan Safitri, sangat dikenal terutama di Jatim. Begitu pula lagu ”Lampu Mati” (Didi Kempot), ”Selingkuh Tipis” (Via Vallent) dan ”Mamah Muda/Mahmud” (Nella Kharisma), juga dikenal luas sampai di luar Jawa.

Karya-karya Andi Zate, hanya sedikit yang dinyanyikan sendiri. Meski bukan faktor utama, tetapi tulah yang ikut membuat dirinya tidak sekondang ”Pujangga Dangdut Jawa” Didi Kempot. Tetapi, penyanyi terkenal seperti Sundari Sukoco (Jakarta), Ratna Listy, Rena (KDI), Neo Sari bahkan Cak Diqin (Solo) dan Nur Bayan (Sidoarjo), adalah sederetan penyanyi yang ikut menikmati karya Andi. (Won Poerwono)