Karena Kondisi Luar Biasa, Sesuatu yang “Wajib” Bisa Berubah (6-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 6, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Dari Juru Paes, Juru Pranatacara Hingga Wedding Organizer

IMNEWS.ID – KALAU hampir selama dua tahun dilanda ”Pageblug Mayangkara” pandemi Corona, muncul bentuk-bentuk kreativitas di bidang penyajian hajad resepsi atau pesta perkawinan adat terutama yang belatarbelakang cirikhas budaya di wilayah tertentu, misalnya gaya Surakarta, itu bisa dikatakan sebagai bentuk akselerasi dan adaptasi akibat situasi dan kondisi yang sedang terjadi.

Karena pemerintah mengeluarkan aturan protokol kesehatan Covid 19 dalam ukuran-ukuran tertentu mulai dari PSBB hingga PPKM Darurat, maka para praktisi aneka ketrampilan yang sering terlibat dalam peristiwa perhelatan tradisi perkawinan adat bereaksi dengan merumuskan cara-cara tersendiri dalam praktik untuk mengatasi atau menyiasatinya.

Dan peristiwa pernikahan secara agama yang disebut ijab qabul hingga bentuk-bentuk resepsinya yang menggunakan teknologi virtual atau zoom dari jarak jauh atau di tempat berbeda itu, langsung atau tidak langsung merupakan bentuk kreativitas atau inovasi baru yang masuk ke format upacara adat hajad atau resepsi perkawinan.

Meski inovasi yang memanfaatkan tekonologi informasi modern itu kini masih bersifat insidental dengan porsi pemanfaatan yang berbeda, sebaran wilayah yang masih terbatas di Nusantara ini, tetapi temuan itu akan terus disempurnakan dan bakal dijadikan model untuk dilakukan di masa-masa mendatang, yang diyakini bagsa-bangsa di dunia akan semakin modern dan menjadi masyarakat global.

Dengan kata lain, sentuhan modernisasi dan teknologi dalam format tatacara upacara adat perkawinan di berbagai gaya yang berlatabelakang peradaban di wilayah manapun
dilakukan, itu merupakan bentuk inovasi yang lahir akibat situasi dan kondisi luar biasa atau forcemajor. Dan di saat ”pageblug mayangkara” pandemi Corona ini, hal yang semula ”wajib” ada atau dilakukan, bisa berubah menjadi ”tidak ada” atau tidak dilakukan.

BERGANTI BUSANA : Dalam seminar berikutnya tentang tatacara upacara adat perkawinan Jawa gaya Surakarta yang berlangsung di Resto Orient, belum lama ini, Gusti Moeng memperlihatkan bagian dari kirab pengantin yang sudah diadaptasi publik secara luas menjadi bagian untuk berganti busana. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ijab Secara Virtual

Kondisi forcemajor berupa bencana kesehatan akibat menyebarnya virus Corona dengan berbagai varian baru sekarang ini, menghendaki agar tidak ada kontak fisik dan kerumunan. Maka, masyarakat tradisi yang berada di dalam masyarakat peradaban Jawa misalnya, ketika menggelar tatacara adat perkawinan gaya Surakarta juga bisa menyesuaikan ijab qabul untuk sepasang calon mempelai, tetapi bisa tidak bersanding tetapi berhadapan menggunakan zoom virtual.

Begitu juga petugas KUA dan saksi-saksinya, karena mematuhi protokol kesehatan juga cukup berhadapan lewat kamera zoom dan bersanding layar monitor yang dihubungkan internet atau secara virtual. Namun, sudah menjadi doa dan permohonan setiap insan, yang semuanya tentu bersepakat agar pandemi ini segera berakhir, agar kehidupan dan segala aktivitas di dalamnya kembali menjadi normal lagi.

Dengan begitu, maka jangan sampai terjadi ada inovasi yang mengharuskan tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta misalnya, terpaksa menjalankan tatacara ”panggih” atau ”pondongan” atau kirab dilakukan secara terpisah tetapi dipertemukan dengan teknologi virtual. Alangkah sedihnya kalau tiap-tiap calon pengantin punya impian bisa melangsungkan tatacara upacara adat gaya Surakarta, misalnya, tetapi tidak kesampaian gara-raga ”pageblug mayangkara” pandemi Corona sampai berkepanjangan ”tinggal” di Indonesia.

Melihat sedikit inovasi yang lahir dalam suasana ”pageblug” Corona hampir dalam dua tahun ini saja, sudah melahirkan kreativitas-kreativitas yang ternyata diterima dan dibutuhkan warga peradaban. Artinya, sebuah bencana yang dipersepsikan selalu membuat penderitaan dan kerusakan atau distigmakan selalu negatif, tetapi ternyata melahirkan hal-hal positif dan bermanfaat bagi warga peradaban, setidaknya merangsang manusia untuk berfikir mencari cara-cara untuk mengatasi atau menyiasati, bila terpaksa tidak bisa menghindari.

Dan lahirnya juru paes pengantin (wanita), yang kemudian berkembang luas dan dikenal dengan juru rias untuk segala keperluan tidak hanya pengantin, memang tidak termasuk yang lahir akibat kondisi ”forcemajor”. Tetapi, begitu diizinkan untuk keluar dari keraton (Dinasti Mataram), dimiliki warga peradaban dan dikembangkan sedemikian rupa seperti sekarang, melewati proses pembentukan yang panjang. Dan dalam perjalanan ke depan, sangat dimungkinkan akan terus berubah seiring perubahan zaman, peradaban dan teknologi, ditambah akibat adanya kondisi ”forcemajor” seperti sekarang ini.

DIADAPTASI PRAKTISI : Beginilah contoh karya rias pengantin Jawa gaya Surakarta yang sudah diadaptasi publik secara luas, termasuk yang digeluti Virna Eko Saputri, seorang perias, praktisi, trainer dan pemilik Salon dan Rias Kecantikan dan LPK Vierna Aurella Nurochmad (VAN) di kawasan Kebakkaramat, Karanganyar yang bersiap menjadi ”WO”. (foto : iMNews.id/dok)

Masuk Sektor Ekonomi Kreatif

Juru paes sebagai profesi atau kemampuan/ketrampilan yang sebelumnya berasal dari lingkungan internal warga peradaban Mataram atau peradaban sebelumnya, lebih khusus lagi internal masyarakat adat keraton, memang belum mengenal nilai tukar atau upah. Begitu pula ketika masih berada di dalam lingkungan internal, menjadi ketrampilan yang terpisah tetapi sama-sama sebagai bagian dari sebuah ritual yang lakukan seseorang ahli kepada khususnya wanita yang hendak menjalani perkawinan.

Namun, ketika ketrampilan paes atau rias sudah diizinkan berada di luar keraton, ketrampilan itu memiliki nilai tukar atau upah untuk menghargainya sebagai profesi. Pada perkembangan berikut, profesi ahli paes atau juru paes yang berkembang menjadi juru rias, semakin mendapat posisi sebagai profesi di bidang jasa yang dikelola menggunakan nilai-nilai seperti usaha jasa kebanyakan yang kemudian masuk sektor ekonomi kreatif.

Seperti sebuah aktivitas yang dikelola Virna Eko Saputri (40), seorang perias sekaligus pemilik salon rias dan kecantikan serta lembaga kursus pendidikan (LKP) Vierna Aurella Nurcohmad (VAN) yang berlokasi di pinggir jalan Solo-Surabaya di kawasan Kecamatan Kebakkramat, Karanganyar, bisa dikatakan praktisi atau expert di bidang rias, busana dan segala daya dukungnya. Bahkan, juga bisa mengurusi pengorganisasian kegiatan yang diperlukan untuk sebagian hajad tatacara upacara adat pengantin Jawa, seperti yang dimaksud dalam ”Wedding Organizer” (WO).

”Ini saya juga sedang ancang-ancang untuk bikin WO. Ini sedang mencari partner yang tepat untuk menjalankan WO tersebut. Mudah-mudahan, pandeminya segera berlalu. Kami berdoa, begitu kami siap beroperasi, suasananya sudah kembali memungkinkan,” harap Virna.

Apa yang digeluti Virna itu, memang belum termasuk level ”WO” yang kini bisa menginisiasi semua keperluan kegiatan pesta perkawinan dari hulu hingga hilir. Karena, untuk menguasai manajemen di bidang itu, memang diperlukan manajerial untuk beraneka skill yang didukung cukup modal finansial, peralatan, tenaga dan segala daya dukung yang banyak jumlah, ragam dan pihak. Termasuk, sebuah skill yang kini menjadi sangat mendasar dan sangat dibutuhkan, yaitu juru pranatacara atau pambiwara. (Won Poerwono-bersambung)