Generasi Penerus Dinasti Mataram Benar-benar Sudah Berganti (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 18, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read

Agak Berbeda dalam Memaknai Kepergian Setiap Tokoh Internal

IMNEWS.ID – SUASANA pandemi Corona memang membuat banyak perubahan dalam kehidupan selama dua tahun berjalan ini, terutama dalam cara berkomunikasi yang mulai beralih dari penggunaan secara manual ke penggunaan peralatan teknologi Informatika Telekomunikasi dan digital. Tak terkecuali, sikap dan pola pikir manusianya juga ikut berubah, yang sebelumnya selalu kelihatan responsif secara pisik ketika mendapat kabar duka atau lelayu dari sanak-famili maupun handai-taulan, kini tidak seresponsif itu karena takut ancaman bahaya virus Corona dan bumbu-bumbunya.

Perubahan seperti itu, seakan tak mengenal batas wilayah, strata sosial dan sebagainya, termasuk pemandangan yang terjadi di Keraton Mataram Surakarta dalam dua tahun ini sejak awal pandemi, di saat sejumlah tokoh silih berganti meninggalkan keluarga besar masyarakat adat penerus Dinasti Mataram itu. Kalau tokoh-tokoh seperti GPH Djatikusumo, KGPH Kusumoyudo, BKPH Prabuwinoto, GPH Haryo Mataram dan KPA Winarno Kusumo wafat jauh sebelum ada pandemi, begitu pula kepergian KPH Satryo Hadinagoro dan sang istri, GKR Galuh Kencana.

Namun kepergian GKR Sekar Kencana, KPH Broto Adiningrat, GPH Nur Cahyaningrat dan beberapa abdidalem jurusuranata serta KRAy Retnodiningrum, benar-benar ”pergi” di saat pandemi sedang melanda. Artinya,  kepergian sejumlah tokoh terakhir ini sungguh berpengaruh pada suasana psikis kalangan masyarakat adat, mengingat keluarga besar penerus dinasti sudah terbelah serta terkotak-kotak sejak 2004 yang diperparah oleh peristiwa 2017.

Dalam suasana pandemi seperti inilah, mendung duka yang menyelimuti keluarga besar masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta nyaris tak terdengar atau nyaris tak mengundang perhatian publik secara luas. Karena sudah dalam keadaan terbelah bahkan terkotak-kotak, sikap responsif tentu akan sangat terpengaruh, setidaknya membuat repot ketika akan mengeksekusi niat baiknya untuk datang melayat. Apalagi, ketika negara sedang gencar-gencarnya membatasi ruang gerak setiap warganya dengan aturan 5 M, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mencuci tangan dan membatasi mobilitas.

GENERASI PERTAMA : KPH Broto Adiningrat adalah salah satu kerabat sentana yang segenerasi dengan Sinuhun PB XII, tetapi sudah mendahului para pengikut perjuangan Gusti Moeng yang hingga kini masih berjuang melawan ancaman kehancuran Keraton Mataram Surakarta. Dia meninggal di akhir tahun 2020 di saat pandemi Corona sudah melanda. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tak Perlu Melihat Sekat-sekat

Dengan realitas seperti itu, di masing-masing belahan dan kelompok yang berada dalam kotak-kotak, tentu melahirkan sebuah sikap dalam memaknai kepergian sejumlah tokoh di atas. Oleh sebab itu, bisa jadi sikap memaknai yang dimiliki masing-masing belahan tentu berbeda-beda, begitu pula bagi masing-masing yang berada dalam kotak-kotak tersebut.

Namun, bagi seorang abdidalem pemerhati budaya dan keraton dari sisi spiritual seperti KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, sikap yang dimiliki untuk memaknai meninggalnya semua tokoh tersebut di atas, pada intinya sama besarnya dalam memberi penghormatan dan doanya. Karena, menghormati garwadalem KRAy Retnodiningrum yang paling akhir meninggal belum lama ini (iMNews.id, 17/5), adalah sama halnya menghormati Sinuhun PB XII, lembaga Keraton Mataram Surakarta dan masyarakat adatnya.

Begitu juga ketika memberi penghormatan saat meninggalnya KPH Satryo Hadinagoro dan istrinya, GKR Galuh Kencana, kemudian GKR Sekar Kencana, KPH Broto Adiningrat, GPH Nur Cahyaningrat, atau sejumlah tokoh yang lebih dulu meninggal seperti KGPH Kusumoyuda dan KPA Winarno Kusumo, menurutnya perlu dan penting. Semua penghormatan yang diberikan, tanpa perlu melihat para tokoh itu berada di belahan mana atau di kotak mana, karena doa yang dipanjatkan kepada Sang Khalik untuk masing-masing tokoh itu adalah sama pula, tanpa melihat sekat-sekat itu.

”Itulah sikap saya sebagai abdidalem pemerhati budaya Jawa dan keraton. Saya hanya ingin mengungkapkan apa yang saya rasakan, bahwa diri saya ternyata bisa diterima di manapaun. Karena niat saya tulus dan ikhlas, demi terwujudnya kembali kewibawaan keraton yang berharkat dan bermartabat. Kalau kemudian saya dipandang ada manfaatnya, misalnya bisa menjadi jembatan untuk kembali bersatunya putra-putridalem dan seluruh kerabat besar masyarakat adat, sumangga. Silakan dipakai”.

”Tetapi kalau dipandang tidak ada manfaatnya, ya enggak apa-apa. Tetapi niat saya, hanya ingin mengabdikan diri sesuai dengan ‘gawa-gawene’, seperti yang diminta Gusti Moeng saat menyerahkan SK kekancingan gelar sesebutan untuk saya beberapa waktu lalu,” ujar buyut (cicit) mbah Abdullah, abdidalem jurusuranata di Masjid Kepatihan di zaman Sinuhun PB X itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

MENJADI SAKSI : KRT Hendri Rosyad yang ikut melayat saat jenazah KRAy Retnodiningrum disemayamkan di Pendapa Sasanamulya, sekaligus menjadi saksi peristiwa pertemuan para pelayat dengan tuan rumah keluarga yang ditinggal almarhumah istri Sinuhun PB XII. Termasuk datangnya Sinuhun PB XII yang disambut KGPHP Tedjowulan dengan sungkem di depan kursi roda yang membawanya memasuki pendapa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ada Oknum-oknum Penghalang

Banyak celah yang bisa dimaknai sebagai jalan terbuka ke arah rekonsiliasi total di antara putra-putri dalem bersama seluruh kerabat masyarakat adatnya, di antaranya momentum melayat, karena ternyata sudah banyak tokoh yang lebuh dulu meninggal setidaknya dalam lima tahun terakhir atau bila batasnya diambil sejak insiden 2017. Namun, semua itu terserah atau kembali kepada keluarga besar masyarakat adat yang merasa terbelah atau terkotak-kotak untuk melihat celah dan kesempatan itu, kemudian memanfaatkannya.

Begitu pula, terserah dan kembali kepada sikap masing-masing yang merasa terbelah dan terkotak-kotak, ketika melihat sepak terjang abdidalem KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, orang swasta, tidak punya kepentingan apapun, mandiri dalam berinisiatif dan punya tujuan demi keutuhan kembali keluarga besar masyarakat adat untuk kembalinya kejayaan Keraton Mataram Surakarta. Dia mengaku tidak diminta atau disuruh pejabat tokoh siapapun untuk menjalankan misinya itu, karena dirinya bukan kelompok dari manapun dan siapapun.

Misi demi bersatunya kembali keluarga besar masyarakat adat untuk kembalinya kejayaan Keraton Mataram Surakarta itu, dengan tulus dan ikhlas untuk membantu mewujudkan salah satu poin isi deklarasi yang dibacakan Gusti Moeng di topengen Kori Kamandungan, maupun saat bersama Rian D’Masiv diwawancarai para awak media di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa beberapa waktu lalu. Salah satu poin penting itu, adalah keinginan Gusti Moeng dan kalangan masyarakat adat yang terwadahi dalam LDA, untuk bersatu dan rukun kembali dengan semua putri/putridalem serta kerabatnya, demi kembalinya kejayaan Keraton Mataram Surakarta.

Pada kesempatan terpisah, salah seorang kerabat yang kini menjabat Ketua DPD Golkar Surakarta, KPHA Poerbodiningrat berharap, semua putra/putridalem Sinuhun PB XII segera bersatu dan rukun kembali untuk bersama-sama mengembalikan kejayaan dan kewibawaan Keraton Surakarta Hadiningrat. Menurutnya, ada tiga atau empat oknum yang perlu segera menyingkir, karena oknum-oknum itu menjadi penghambat atau penghalang bagi terciptanya kembali kerukunan dan keutuhan putra/putridalem dan seluruh kerabat yang pernah terpecah.

”Saya setuju kalau penghalang dan penghambat upaya bersatu dan rukunnya kembali kalangan putra/putridalem Sinuhun PB XII itu, karena ada oknum-oknum itu. Ini yang seharusnya disingkirkan. Jadi, intinya selama ini putra/putridalem tidak rukun. Maka, sulit mengatasi ancaman yang ingin menghancurkan keraton,” tandas anak sulung mantan Pengageng Parentah Keraton KPH Daryonagoro (alm), yang bernama kecil RM Koesrahardjo itu. (Won Poerwono-bersambung)