Tahun Kedua Selama Pandemi Corona, Lebaran Tanpa Hajaddalem Garebeg Syawal

  • Post author:
  • Post published:May 15, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read

KRT Hendri Rosyad Pilih Mendoakan dari Rumah

IMNEWS.ID – DATANGNYA Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1442 H tahun 2021 ini, secara tidak langsung bisa menjadi penanda bahwa pandemi Corona yang melanda di Nusantara, sudah memasuki tahun kedua sejak ”berkunjung” ke Tanah Air awal di tahun 2020. Karena, dengan adanya aturan ketat protokol kesehatan (prokes) Covid 19, penyelenggaraan ritual hajaddalem prosesi gunungan Garebeg Syawal juga ditiadakan untuk kali kedua atau memasuki tahun kedua pada perayaan Lebaran tahun 2021 ini.

Lebaran tanpa hajaddalem gunungan Garebeg Syawal, begitu sebutan yang mendekati tepat bagi masyarakat khususnya di Solo dan sekitarnya ketika datang suasana perayaan Idul Fitri seperti sekarang ini. Dan untuk kali kedua atau tahun kedua ini, masyarakat di Kota Bengawan dan sekitarnya mulai dibiasakan untuk merayakan Lebaran tanpa keramaian ”ngalab berkah” gunungan yang habis didoakan di kagungan Masjid Agung Keraton Mataram Surakarta.

Keraton Mataram Surakarta, apalagi keluarga besar masyarakat adatnya yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dimpimpin Gusti Moeng, sudah menyatakan tetap berkomitmen untuk bersama-sama pemerintah ”memerangi” virus Corona yang sudah menyebar luas menjadi pandemik. Selain meniadakan ritual-ritual yang berpotensi mengundang kerumunan dalam jumlah luar biasa seperti halnya prosesi Garebeg Syawal, apalagi Garebeg Mulud, ritual yang terpaksa harus digelar tetap harus menyesuaikan aturan prokes.

Tak hanya aturan prokes yang harus ditaati, misal ketika Gusti Moeng menggelar hajaddalem ”Malem Selikuran” untuk merayakan lailathul qadar hanya berupa donga wilujengan, tahlil dan dzikir di kagungandalem Masjid Agung belum lama ini (iMNews.id, 3/5), ada beberapa alasan lain yang menjadi pertimbangan ditiadakannya sejumlah ritual itu. Seperti peniadaan prosesi gunungan Garebeg Syawal pada Lebaran tahun kedua ini, selain karena larangan Satgas Penanganan Covid 19 Kota Surakarta, juga karena potensinya tidak solid mengingat hingga kini friksi di internal masih berlangsung dan tak ada tanda-tanda akan berakhir.

KEMBALINYA GUNUNGAN : Foto arak-arakan prajurit membawa gunungan lanang keluar dari kagungandalem Masjid Agung, adalah bagian akhir ritual Garebeg Syawal sebelum 2017, sebelum akhirnya dijadikan rebutan di halaman Kamandungan. Kini di tahun kedua masa pandemi ini, pemandangan seperti itu tidak akan terjadi, karena aturan prokes Covid 19 melarang kegiatan yang mengundang kerumanan massa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, apapun alasannya yang bersifat subjektif urusan internal, bagi publik secara luas memang tidak sepenuhnya bisa memaklumi, karena tidak semuanya bisa memahami persoalan yang sebenarnya terjadi. Namun ketika alasan itu berupa keharusan mematuhi prokes karena masih dalam suasana pandemi Corona dan Jateng termasuk Solo masih berada di zona oranye, tentu akan mudah dipahami publik secara luas tanpa kecuali, termasuk ketika dua kali Lebaran tanpa ”ngalab berkah” Garebeg Syawal.

Jauh-jauh hari sebelum memasuki Ramadhan, Gusti Moeng selaku Ketua LDA maupun sebagai Pengageng Sasana Wilapa sudah mengisyaratkan bahwa tahun ini keraton belum memungkinkan bisa menggelar ritual Malem Selikuran dan prosesi gunungan Garebeg Syawal normal seperti sebelum ada pandemi. Karena, upacara adat di keraton, pada umumnya sangat berpotensi mengundang kerumunan orang dalam jumlah banyak, padahal itu yang seharusnya dihindari agar tidak terjadi klaster penularan baru yang kemudian dijadikan alasan untuk makin menyudutkan keraton.

”Tahun inipun, kami hanya mengadakan donga wilujengan Malem Selikuran di Masjid Agung, dalam jumlah yang terbatas dan dengan prokes yang ketat. Saya berharap, hajaddalem gunungan Garebeg Syawal sebaiknya juga ditiadakan. Karena melihat pengalaman, event ini selalu mengundang kerumunan, bahkn kurang terkendali pada saat ‘rayahan isen-isen gunungan’. La kalau yang rayahan pada tidak pakai masker, lalu setelah diusut ada yang positif, ‘kan tambah cilaka keraton. Bisa jadi alasan untuk menyalahkan. Keraton makin disudutkan. Kita patuhi saja semua aturan, biar mempermudah penanganannya (Covid 19). Biar cepat siran dari bumi Nusantara,” harap Ketua LDA yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang.

Bagi masyarakat luas, Lebaran tanpa ”ngalab berkah” gunungan Garebeg Syawal yang sudah berlangsung dua kali ditambah tanpa Garebeg Besar pada saat Idul Adha atau Lebaran Haji tahun lalu, rasanya mungkin biasa saja. Mengingat, ritual itu hanya ada di dua kota tempat dua kerajaan penerus Dinasti Mataram berada, yaitu Surakarta dan Jogja, yang memiliki upacara adat khas tersebut yang digelar untuk menyambut setiap hari besar Islam, terutama Idul Fitri, Idul Adha dan Maulud Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan Sekaten.

POTRET ABDIDALEM : KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito adalah potret abdidalem pemerhati budaya Jawa dan keraton yang bijak, karena memilih bertahan di rumah tetapi bisa mengumpulkan keluarga besarnya untuk bersilaturahmi, dalam suasana Idul Fitri dengan sentuhan nilai-nilai budaya Jawa. Bahkan bisa mendoakan keraton dan semua kerabat besar, walau tidak bisa ”ngalab berkah hajaddalem” Garebeg Syawal, karena ritual itu ditiadakan. (foto : iMNews.id/dok)

Namun bagi warga sekitar Kota Bengawan atau Sala atau Solo atau Surakarta yang pernah menjadi Ibu Kota nagari Mataram Surakarta (1745-1945) itu, sampai memasuki alam republik masyarakat setempat dan sekitarnya bahkan sampai jauh di Jatim, selalu merindukan datangnya Lebaran sambil ”ngalab berkah” hajaddalem gunungan Garebeg Syawal. Apalagi, datangnya Lebaran selalu dimeriahkan adanya event Maleman Pasa atau keramaian pasar malam selama Ramadhan, yang puncaknya saat takbir menggema di malam Lebaran, bahkan berlanjut sampai seminggu setelah Lebaran.

”Itu adalah kenangan masa kecil saya hingga remaja. Saya mengalami indahnya pasar malam menyambut Ramadhan, yaitu Maleman Pasa baik yang berlangsung di Alun-alun Lor maupun saat berada di Taman Sriwedari dengan nama Maleman Sriwedari. Mainan dan jajanan yang saya jumpai di Maleman Pasa dan Maleman Sriwedari, hampir sama dengan yang ada di Sekaten tiap bulan Mulud. Semuanya khas tradisi. Kemasan antara budaya dan spiritual keagamaannya, juga masih menonjol. Tetapi itu semua tinggal kenangan,” ujar KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito (62), seorang pemerhati keraton dan budaya Jawa dari sisi spiritual kepatinan yang dimintai pandangannya di tempat terpisah, tadi siang.

Menurut buyut atau cicit mbah Dullah (Abdullah-Red), seorang abdidalem ulama atau abdidalem jurusuranata yang bertugas di Masjid Kepatihan di zaman Sinuhun PB X (1893-1939) itu, memang terasa hampa berlebaran tanpa ”ngalab berkah” hajaddalem gunungan Garebeg Syawal, bahkan untuk kali kedua di tahun 2021 ini. Tetapi, sebagai warga bangsa dan bagian dari masyarakat adat yang terhimpun dalam LDA yang dipimpin Gusti Moeng, dirinya sangat memahami dan memaklumi situasi dan kondisi yang ada.

KRT Hendri Wrekso Puspito adalah potret abdidalem, representasi masyarakat adat yang bisa memahami langkah-langkah Gusti Moeng, baik dalam memimpin masyarakat adatnya secara internal, maupun dalam membawa lembaga untuk bisa bersinergi dengan pemerintah, terutama dalam menghadapi situasi dan kondisi akibat pandemi Corona. Oleh sebab itu, dirinya juga sangat mendukung langkah Gusti Moeng yang tetap menempatkan Sinuhun PB XIII untuk dihormati dan dicintai pada kedudukannya, agar tetap bersama-sama mendukung langkah pemerintah dalam penanganan Covid 19.

”Saya setuju prosesi gunungan Garebeg Syawal ditiadakan. Saya sedih dan merasa ada yang kurang, jika berlebaran tanpa ngalab berkah. Tetapi, saya harus bisa memahami upaya bersama untuk segera mengakhiri masa pandemi ini. Untuk itu, saya sangat menghargai keputusan Sinuhun meniadakan ritual yang biasanya mengundang massa itu. Bila perlu, operasional museum juga ditutup sementara, guna kepentingan yang lebih besar, yaitu penanggulangan pandemi Corona. Saya masih bisa menahan diri di rumah. Suasana seperti ini, malah kesempatan baik untuk mengajarkan nilai-nilai luhur budaya Jawa dalam bersilaturahmi dengan anak-cucu dan sanak-keluarga,” tutur. (Won Poerwono)