Multi Tafsir Paugeran Adat yang Menjadi Konstitusi Dinasti Mataram (3-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 30, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

”Nut Jaman Kelakone” dengan Sentuhan Kawicaksanan ”Pandita-Ratu”

iMNews.id – MULTI TAFSIR yang menjadi sifat dan ciri khas paugeran adat yang dianggap sebagai konstitusi Dinasti Mataram, memang tak banyak mempengaruhi atau menimbulkan reaksi pro-kontra berlebihan di saat lembaga masyarakat adat yang menggunakannya masih memiliki kekuatan dan kedaulatan penuh di berbagai bidang layaknya sebuah negara. Artinya, antara yang setuju dan tidak setuju, tetap saja ada, meskipun skalanya lebih kecil dan tidak menimbulkan reaksi sebagaimana sering terjadi di alam demokrasi sekarang ini.

Kalau dicermati lebih lanjut, tata nilai paugeran adat yang selama ratusan tahun menjadi pedoman sikap dan perilaku serta kebijakan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sebuah lembaga masyarakat adat Dinasti Mataram, tetap saja berlaku dan dilegitimasi oleh warga masyarakat adat dan peradaban secara luas, meskipun unsur-unsur subjektivitas seorang pemimpin adat yaitu ”Raja” atau ”Sinuhun” mulai Sultan Agung Hanyakrakusuma, bahkan sejak Panembahan Senapati, hingga Keraton Mataram berakhir di Surakarta Hadiningrat dengan belasan pemimpin dinasti yang menggunakan simbol Sinuhun Paku Buwono itu, pengaruhnya tetap ada, mulai dari porsi kecil, sedang hingga besar.

Subjektivitas seorang ”Raja” atau Sinuhun inilah, rupanya yang mewarnai perjalanan tata nilai paugeran adat itu, yang sangat mungkin bisa ditafsirkan lebih dari satu makna, meskpun cara menafsirkannya tidak terang-terangan seperti yang sering terjadi di zaman demokrasi seperti sekarang ini. Karena seorang ”Raja” atau Sinuhun memiliki subjektivitas dan kekuasaan penuh, tentu nyaris tidak ada orang yang berani menyatakan sikap beda atau kontra secara terang-terangan atau atraktif, sensasif, apalagi anarkistis seperti zaman sekarang.

Melihat sebuah proses perjalanan paugeran adat yang oleh seorang ”kerabat” berpangkat ”KP” itu dipersepsikan selalu berubah-ubah (iMNews.id, 28/4), sebenarnya adalah bentuk sebuah perjalan proses dialektika yang terus terjai dan bergerak, seiring perubahan zaman atau peradaban. Dan proses perubahan yang terjadi, tetap dipandang sebagai hal biasa atau keniscayaan akan terjadi, hingga mirip proses perubahan tata nilai hukum di alam modern nan demokratis seperti yang dikenal dengan ”amandemen”.

Oleh sebab itu, karena tata nilai paugeran adat itu tidak tertulis tetapi ada dalam konsep pemikiran seorang pemimpin adat dan para pendukungnya yang ada dalam sistem kepemimpinan politik monarki dari masa ke masa, sebuah perubahan yang terjadi dan apabila ada hal yang berbeda dalam pelaksanaan kebijakan politik pemerintahan setiap ”Raja” atau ”Sinuhun”, sepertinya hanya benar adanya, mirip konsep pemimpin politik monarki di Eropa yang melukiskan bahwa ”Raja tidak pernah/bisa (di)-salah-(kan)” atau ”The King Can Do No Wrong”. Ciri-ciri kepemimpinan monarki inilah yang sangat mungkin ditiru para pemimpin adat di Nusantara, terutama Mataram, meskipun yang menonjol adalah unsur-unsur subjektivitasnya yang didominasi sifat-sifat adatnya.

SAMPAI AKHIR HAYAT : Boleh dikatakan, sesepuh di Keraton Mataram Surakarta yang bernama KPH Broto Adiningrat itu, menjadi salah satu tokoh pejuang tata nilai adat sampai akhir hayatnya, karena memilih berada di belakang Gusti Moeng sampai tutup usia di bulan Desember 2020 dan dimakamkan di kompleks makam Kiai Ageng Henis, Laweyan.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hak Prerogatif dan Subjektivitas

Unsur-unsur subjektivitas inilah yang banyak dipandang KPH Adipati Poerbodiningrat, seorang sentana dalem yang banyak mewarisi sifat-sifat ayahandanya bernama KPH Daryonagoro (alm), eks Pengageng Parentah Keraton (antara 1970-1990-an) di masa jumenengnya Sinuhun PB XII, sebagai unsur menonjol dalam setiap kepemimpinan seorang ”Sinuhun”. Sentanadalem yang aktif di organisasi partai (Ketua DPD Golkar Solo periode 2020-2025) ini, tidak menampik apa yang dilakukan Sinuhun PB XIII selama ini, karena merasa memiliki kewenangan menggunakan hak subjektivitasnya, menggunakan hak prerogatifnya (secara bebas) dan menggunakan kewenangannya menerapkan diskresi.

”Kalau raja sudah berkehendak, siapa yang berani melawan atau menolak. Apalagi, dulu raja sering langsung menyatakan siap menjadi tameng atau berada terdepan untuk membela kebijakan atau diskresi aturan yang dikeluarkan. Jadi, kalau tata nilai (paugeran) adat berubah-ubah, itu karena raja punya hak prerogatif penuh. Raja punya hak subjektivitas. Tetapi memang, dulu raja punya lembaga ”paranpara nata” dan ”paranpujangga nata”, yang tugasnya memberi pertimbangan,” papar Ketua DPD Golkar Solo yang akrab disapa RM Koesrahardjo itu, saat dihubungi iMNews.id lewat telepon, kemarin.

Proses perubahan oleh banyak faktor, termasuk oleh sikap subjektivitas seorang ”Raja” atau ”Sinuhun”, sudah lama diantisipasi para cerdik-pandai atau dari kalangan pujangga misalnya, yang kemudian diakomodasi dalam kalimat ”Nut jaman kelakone”. Apa saja yang ”owah gingsir” atau berubah, dalam hal ini adalah tata nilai paugeran adat yang tidak tertulis itu, sudah diantisipasi dalam sikap ”Nut jaman kelakone”.

Mungkin saja, kerabat yang berpangkat ”KP” itu mempersepsikan bahwa hukum adat yang berubah-ubah itu bisa dibenarkan, karena masuk dalam katagori ”Nut jaman kelakone” itu, sehingga dijadikan alasan atas kesulitannya mendefinisikan tata nilai adat tersebut. Apalagi ketika menyentuh soal tata nilai adat dalam menentukan seorang permaisuri, menurut KPHA Poerbodiningrat, hal itu bisa menjadi hak prerogatif dan subjektivitas seorang ”raja” atau ”Sinuhun”, karena contohnya permaisuri Sinuhun PB III yang dikenal dengan nama Kanjeng Ratu Beruk, hanyalah berasal dari anak seorang abdidalem, yang mendapat pendidikan dan latihan (diklat) sebagai abdidalem bedaya, baru kemudian diambil sebagai garwa prameswari.

Tata nilai adat dalam soal ini, bisa disebut sebagai pengecualian dalam sejarah konstitusi (tidak tertulis) Dinasti Mataram. Sebab, KPHA Poerbodiningrat persyaratan yang beda tentang siapa yang berhak menjadi permaisuri ”Sinuhun”, baru terjadi pada Sinuhun PB III. Dia tidak menyebut Sinuhun PB XIII ini juga telah menempuh kebijakan berbeda, yaitu dengan menggunakan kewenangan diskresi, yaitu mengangkat permaisuri dari luar persyaratan yang lazim dilakukan banyak pendahulunya, minimal ”buyut dalem”.

KALANGAN INTELEKTUAL : Meski banyak yang masih keracunan ”bakteri” stigma buruk masa lalu yang ditimpakan kepada Keraton Mataram Surakarta, tetapi banyak juga kalangan intelektual kampus yang mendapatkan kebenaran sejarah tentang bagaimana besarnya sumbangan ”nagari” Surakarta Hadiningrat untuk lahirnya NKRI dan memelihara tata nilai adat peradaban bangsa ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Yang Ideal Sabda Pandita-Ratu

”Kalau menurut saya, karena kebanyakan Sinuhun (minus PB II dan PB III) menggunakan paugeran syarat minimal buyutdalem sebagai calon permaisuri, maka itu yang kita pegang sebagai paugeran, tata nilai atau hukum adat. Meskipun paugeran tidak tertulis, tetapi sesuatu yang merupakan produk pandita-ratu yang dikeluarkan raja atau Sinuhun, pasti sudah melalui pertimbangan matang dan bijak”.

”Meneladani hal baik yang dilakukan pendahulunya, tetapi tidak meninggalkan saran/pertimbangan paranpara nata dan paranpujangga nata. Sekali lagi, itu yang saya pelajari dari setiap yang jumeneng,” papar KPP Wijoyo Adiningrat dalam beberapa kali ngobrol dengan iMNews.id, belum lama ini.
Mencermati beberapa penjelasan di atas, ada dua hal menarik yang bisa dijadikan pemandu arah agar tidak melahirkan persepsi bahwa setiap orang apalagi yang berasal dari luar masyarakat adat atau tidak memiliki asal-usul secara adat, dibenarkan atau boleh secara bebas menginterpretasikan paugeran adat dinasti yang kemudian dijadikan pintu masuk untuk menjalankan kepentingannya di dalam masyarakat adat.
Apalagi mengingat, tata nilai paugeran adat yang dijadikan konstitusi dinasti itu hanya lisan dan tersimpan di benak para tokoh dan warga masyarakat adat, alias tidak tertuang dalam tulisan hitam-putih.

Para pendahulu, termasuk para tokoh pemimpin adat Dinasti Mataram, sudah sejak awal memiliki sikap akomodatif terhadap segala perubahan seperti yang dirumuskan dalam kalimat ”Nut jaman kelakone”. Termasuk, mengakomodasi keputusan dan kebijakannya sendiri yang sangat subjektif dan acapkali keluar dalam bentuk diskresi-diskresi itu.

Namun, ”Nut jaman kelakone” yang membenarkan berubah-ubahnya tata nilai adat seperti yang dipahami ”kerabat” bergelar ”KP” itu, tentu bukan perubahan yang liar atau tanpa kendali. Sebab, perubahan yang liar tanpa kendali apalagi terkesan dipaksakan, hanya akan melahirkan ketidakseimbangan. Dan perubahan yang demikian, sangat mengesankan keluar atau terlahir dari ketidaksadaran atau datang dalam bentuk bisikan dari luar atau misi pesanan orang lain yang tidak peduli estetika keluhuran budi, idealisme keseimbangan antara pikiran dan perbuatan, antara etika dan ambisi dan sebagainya.

Berikut, perubah-perubahan yang ideal dalam perjalanan sebuah peradaban adat, akan memiliki semangat menjaga keseimbangan apabila melalui proses selektif seperti yang disebut dalam konsep ”Sabda Pandita-Ratu”. Meskipun berubah atau mengakomodasi perubahan apabila melalui seleksi dengan sentuhan ”kawicaksanan” sebagai produk perpaduan ”Sabda Pandita-Ratu”, akan mudah diterima semua yang menjalankan bentuk baru tata nilai adat tanpa gejolak, walau terus berubah setiap saat, kini dan di waktu yang panjang ke depan. (Won Poerwono-bersambung)