Di Rumah Tinggal yang Bertolak-Belakang dengan Nama Besarnya
iMNews.id – MEMILIKI nama besar sebagai seorang maestro pelestari seni lukis atau sungging wayang beber seperti yang disandang mbah Ning (Hermin Istiariningsih), ternyata tidak serta-merta identik dengan kebesaran harta-benda, posisi sosial, martabat dan kehormatan yang dimiliki.
Kebesaran namanya sama sekali tidak identik dengan seniman tradisi Ki Manteb Soedarsono, Ki Anom Suroto, Pujangga Dangdut Jawa Didi Kempot (alm) atau artis-artis terkenal yang baru belasan tahun berkarya tapi kaya-raya macam Rafi Achmad, gemerlapnya penyanyi Inul Daratista atau yang lain yang tanpa penghargaan sama sekali dari manapun.
Wanita kelahiran sebuah desa di bawah Gunung Penanggungan, Kediri (Jatim) 70 tahun silam itu, tetap tampak apa adanya, sebagai seorang ibu rumah tangga yang punya kesibukan biasa sehari-hari, mirip tetangga kategori ekonomi pas-pasan lain di kampungnya, Wonosaren, Kelurahan Jagalan, Kecamaran Jebres, Kota Surakarta atau Solo.
Penampilan kesehariannya juga hanya berdaster, ketika sibuk memasak di dapur, maupun berjam-jam duduk di bangku risban untuk sekadar mewarnai atau membuat sketsa lukisan wayang beber yang direncanakan. Sisa-sisa waktunya, kadang untuk mencuci pakaiannya sendiri, atau keluar ke gang di depan rumahnya, ketika pedagang sayur sudah memanggilnya.
Sementara, sang suami yang bernama lengkap Soetrisna atau mbah Tris (83), juga sibuk merawat dua ekor kucing, memberi makan beberapa ekor ayam bangkok dan selebihnya membantu sang istri, baik memasak atau ikut mewarnai lukisan yang sedang dikebut untuk diselesaikan.
Bangku Serba-guna
Semua kesibukan itu, berlangsung di dalam sebuah rumah berdinding kotangan, beratap selang-seling antara genting, seng galvalum dan plastik gelombang. Meski ada dapur kecil, ruang serba guna untuk berbagai fungsi, tetapi mbah Ning lebih suka berlama-lama di atas bangku risban, tempatnya beristirahat, melukis, mempersiapkan sayuran yang akan dimasak, sekaligus tempat jagongan bersama sang suami dan menjamu semua tamunya yang datang kepadanya.
Rumah berukuran 40-an meter persegi yang ditinggali berdua itu, bersanding dengan sebuah rumah kecil lainnya yang berada satu kompleks sebidang tanah berukuran sekitar 150-an meter persegi. Dari cerita mbah Tris, tanah itu adalah warisan dari orangtuanya, yang baru saja balik nama sertifrikat kepemilikannya dari nama orangtuanya Kanaya Rumeksa menjadi nama mbah Tris dan dua adiknya.
Proses ganti-nama tanah seluas 150-an meter persegi yang sempat menguras uang tabungan mbah Tris itu, kini masih menjadi pemikiran serius. Justru masalah tanah dan rumah tinggalnya yang lebih mirip bedeng itu, belakangan ini sangat menguras perhatian pasangan kakek-nenek yang seharusnya sudah lepas dari persoalan-persoalan itu.
”Niki lak tanah warisan saking tiyang-sepuh kula. Sakniki sampun balik nama. Mangke salajengipun kados pundi, enggih kersane diurusi sing ajeng manggen mriki. Kula kalih mbahe putri empun kesel,” ujar mbah Tris, sedikit menceritakan proses soal balik nama sertifikat tanah yang cukup melelahkannya.
Perihal tanah warisan itu, sudah lumayan lama ditinggali berdua saja dengan mbah Ning, karena tidak memiliki keturunan. Tetapi, di dekatnya masih ada rumah yang ditinggali dua anak, hasil perkawinan mbah Tris dengan istri terdahulu (almarhum), yang masing-masing sudah berkeluarga.
Sayang, hubungan antara mbah Tris dengan dua KK keturunannya, tak begitu harmonis, sehingga kehidupan mbah Tris bersama mbah Ning seakan ”tercampakkan” atau ”tak terurus”. Hidup keduanya seakan bersebelahan dengan orang lain sama sekali, yang seakan tidak saling mengenal.
Setia Ikut Suami
Karena persoalan hubungan yang tidak harmonis itu, sering membuat mbah Ning tidak kerasan tinggal di situ. Wanita pelukis wayang beber satu-satunya di Tanah Air ini, mengaku tidak mau tinggal di Kabupaten Malang (Jatim), tempat asal ayahandanya (Soekarman), atau Kediri (Jatim) tempat asal ibunya.
Mbah Ning tetap pada pendirian tegasnya, setia ikut suami (mbah Tris), meski ternyata kini makin tidak nyaman tinggal di rumah yang dijadikan Sanggar Lukis Wayang Beber ”Arini” di Kampung Wonosaren, Jagalan, Jebres, Solo itu. Padahal, mbah Ning adalah anak tunggal seorang pensiunan TNI veteran perang 10 November 1945 di Surabaya, Sertu Soekarman.
”Kula empun bertekad bulat melu mbah Tris, urip enten mriki. Yen entene ngeten niki, enggih empun, dilakoni mawon. Mangan sak-entene. Manggon enggih sakenteni. Sagete adol lukisan nggo mangan, enggih empun niku. Kula mboten ajeng njagakne (bantuan) sinten-sinten. Sagete mangan yen adol lukisan, enggih empun, pripun carane adol lukisan,” ujar mbah Ning yang tetap bersemangat hidup dari karyanya.
Menyimak sekilas kehidupan mbah Ning bersama mbah Tris, tentu sulit disebut sebagai hidup berkecukupan. Di sebuah garasi sempit di depan rumah, memang ada sebuah minibus yang baru tiga bulan dibelinya. Tetapi, sangat sulit mobil itu bisa disebut mewakili kesejahteraan atau kemakmurannya, baik sebagai warga biasa, apalagi sebagai seniman penyandang anugerah kebudayaan maestro pelestari lukis wayang beber.
Menyaksikan kehidupan sepasang seniman di rumah yang lebih pas disebut tidak layak huni (RTLH) itu, sungguh menunjukkan bahwa nama besarnya jelas tidak sepadan dengan wajah rumah, suasana kehidupan dan perlakuan yang diterimanya selama ini. Terlebih, kalau publik menyebutnya seniman yang langka dan menjadi salah satu aset bangsa. Benarkah demikian? (Won Poerwono-bersambung)