Doa Tolak-balak di Tempat Pertemuan Sinuhun PB VI dan Pangeran Diponegoro
SOLO, smnusantara.com – RITUAL menanam kepala kerbau beserta organ-organ ”jerohan” yang kini dikenal menjadi sumber penyakit modern bagi manusia seperti kolesterol, asam-urat dan sebagainya di hutan lindung Krendawahana, menunjukkan bahwa di tempat itu menyimpan banyak simbol-simbol makna berbagai peristiwa di masa lalu. Termasuk, simbol sikap spiritual yang dimiliki KRA Gendut Hadipuro, yang meyakini upacara adat itu sebagai kearifan lokal untuk keperluan ”tolak-balak”.
”Sesaji Mahesa Lawung merupakan doa tolak balak yang perlu dilestarikan. Agar keluarga besar Keraton Mataram Surakarta dan seisinya, diberikan keselamatan, ketenteraman dan dijauhkan dari segala bencana. Permohonan serupa juga untuk NKRI,” tegas Ketua Pakasa Cabang Ponorogo yang dimintai pandangan dan komentarnya tentang ritual tersebut, tadi pagi.
Tokoh Pakasa terpandang dari ”Bumi Reog” Ponorogo itu, dalam catatan smnusantara.com, tergolong paling rajin dan setia serta konsisten menjalankan apa yang dimaksud dengan kata ”gawa-gawene”. Karena, isi kata yang bermakna konsekuensi logis untuk menjalankan segala tugas, tanggungjawab dan kewajiban sebagai abdidalem Keraton Mataram Surakarta itu, tampak selalu berusaha diwujudkan.
Oleh sebab itu, wajar pula ketika smnusantara.com mencatat tokoh yang satu itu tergolong rajin dan setia untuk sowan ke keraton pada setiap ada ritual digelar. Kesetiaan dan antusias seperti itu, selalu ditunjukkan KRA Gendut untuk mengikuti upacara adat Sesaji Mahesa Lawung, Senin siang (14/12), meski untuk kali ini terpaksa hanya mengajak rombongan kecil tidak lebih 5 orang.
Padahal, apabila tidak ada aturan protokol kesehatan (Covid 19) yang ketat, Pakasa Cabang ini mesti mangajak warganya sampai ratusan orang. Misalnya pada ritual Sesaji Mahesa Lawung, Desember 2019, di antara ratusan warga Pakasa, disertakan juga sejumlah unit seni Reog dan Kethek Ogleng, hingga menghebohkan halaman kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, sebelum ritual wilujengan nagari itu dimulai.
Berbagai Makna Simbolik
Yang terlukis dari cara-cara KRA Gendut Hadipuro bersikap, adalah contoh pemaknaan atau penyikapan terhadap makna ritual dan wilujengan nagari Sesaji Mahesa Lawung.Intinya, satu titik tempat di tengah hutan lindung kecil di Desa Tuban, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar itu, memiliki kekayaan makna yang luar biasa.
Apalagi, ritual yang konon hanya dimiliki Keraton Mataram Surakarta di antara empat pewaris Dinasti Mataram itu, biasanya dilakukan di dua tempat, yaitu di kompleks keraton berupa wilujengan nagari yang menggunakan doa secara Islam, dan di hutan lindung Krendawahana, Gondangrejo, Karanganyar, untuk memanjatkan doa secara Islam dan HIndu.
Satu ritual, untuk berbagai makna. Begitulah kira-kira kalimat yang tepat untuk menyebut Sesaji Mahesa Lawung. Yang pertama, ritual itu untuk merefleksi peringatan genap 100 hari berdirinya ”nagari” Mataram Surakarta Hadiningrat di atas tanah Desa Sala yang dibeli dari Ki Gede Sala, yang dideklarasikan Sinuhun PB II pada 17 Sura 1745 (Masehi).
Kedua, ritual itu juga untuk merefleksi tempat bersejarah yaitu adanya sebuah batu besar yang konon dijadikan prasasti karena menjadi pelenggahan (tempat duduk) Sinuhun PB VI saat bertemu Pangeran Diponegoro. Kedua tokoh perintis kemerdekaan yang kemudian sama-sama menjadi Pahlawan Nasional itu, sering bertemu di ”kerajaan” Kanjeng Kala Yuwati untuk mengatur strategi perang melawan Belanda.
Makna simbolik berikut, adalah sebuah sikap spiritual untuk merefleksi bahwa doa wilujengan nagari itu sangatlah wajar dilakukan, karena di titik punden-berundak yang dijadikan pusat doa adalah titik batas spiritual ”nagari” Mataram Surakarta Hadiningrat di ujung utara.
”Karena itu, ritual ini selalu mengingatkan kita akan batas-batas wilayah spiritual, yang secara simbolik mengingatkan bahwa kita sebagai manusia itu punya banyak keterbatasan. Selengkapnya, kalau batas spiritual di timur di ada di puncak Lawu (Sunan Lawu), di selatan Segara Kidul tempatnya Kanjeng Ratu Kencanasari dan titik batas barat ada di Gunung Merapi (arah Selo, Boyolali)”.
”Di semua tempat itu, kami melakukan ritual (SMNusantara.com, 16/12),” sebut GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) sekaligus Pengageng Sasana Wilapa, menjawab pertanyaan smnusantara.com di tempat terpisah, tadi siang.
Simbol Regenerasi Peradaban
Seperti sering diungkapkan KP Winarno Kusumo (alm) ketika menjalankan tugas sebagai juru penerang budaya di upacara Sesaji Mahesa Lawung, sampai akhir hayat 2019, upacara wilujengan nagari peringatan 100 hari yang dilakukan Sinuhun PB II hingga kini, sebenarnya merupakan perpaduan atau akulturasi dari sedikitnya dua peradaban.
Yaitu, peradaban (zaman) Medang Kamolan yang melahirkan tahun Jawa sebelum abad 6, kemudian berakulturasi ketika memasuki peradaban (zaman) Demak sebelum abad 15, sekaligus berakulturasi dengan peradaban (zaman) Mataram yang memadukan antara Islam dan Jawa.
Peralihan peradaban atau zaman itu, selalu diperbarui oleh generasi yang muncul kemudian, bahkan bisa dirunut urut proses dan pengaruhnya sejak Majapahit hingga Mataram Kartasura kemudian Mataram Surakarta.
Oleh sebab itu, wilujengan nagari yang bersimbolkan tampilnya doa secara Islam dan Hindu, sekaligus menjadi simbol regenerasi peradaban. Masih banyak hal yang disimbolkan dari upacara adat Sesaji Mahesa Lawung itu. Termasuk berbagai simbol keburukan yang mewakili misalnya aneka organ jerohan, binatang perusak yang disebut ”kutu walang ataga”, ”bekakak” dan ”buron wana” yang tidak sepantasnya ditangkap untuk diperdagangkan. (Won Poerwono-habis)