Hartini Masih Menunggu Kepastian Kasus Perampasan Tanah Miliknya

  • Post author:
  • Post published:December 3, 2020
  • Post category:Hukum
  • Reading time:4 mins read

SUKOHARJO-smnusantara.com – Kasus perampasan tanah pekarangan milik Hartini (47) warga Desa Begajah, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, yang di duga kuat telah di ‘rampas ‘ oleh sejumlah tetangganya yang di dukung kepala desa setempat telah dilakukan konsulidasi dari berbagai pihak terkait, namun hingga kini masih belum ada keputusan hukum yang sah atau masih tidak menentu.

Konsulidasi itu berlangsung di Kantor Bupati Sukoharjo yang dihadiri Hartini, Sukito (asisten pemerintahan dan kesra sekda Sukoharjo), Sri Murdiyanto (Lurah Begajah), Drajad Wibowo (team leader OSP 2 Jateng), Sutanta (Kepala Satker PIP Kabupaten Sukoharjo,) Sabarudin Hulu SH,MH (Ombudsman Perwakilan Jateng). Dalam konsulidasi yang sucup a lot itu, Hartini tetap bersikeras kepada pendiriannya, agar tanah miliknya di minta untuk di kembalikan. “Saya tetap ingin tanah saya yang telah di bangun jalan desa, tetap saya minta dikembalikan, saya tidak mau kalau di beri uang ganti rugi” ujarnya

Permasalahan ini berawal ketika Hartini menggugat dan melapor kepada Ombudsman Perwakilan Jawa Tengah, pasalnya dia merasa tanah miliknya d irampas warga secara paksa, bahkan dengan ancaman dan intimidasi. “Tanah saya bersertifikat No 288 dengan luas 408 m2 dan yang di rampas 3 x 13 meter” jelasnya, sembari menambahkan, sehubungan perampasan tanah itu dilakukan dengan cara tidak terpuji, maka Hartini meminta tanahnya dikembalikan seperti semula, sesuai dengan yang tertulis di dalam sertifikat.

Hal ini dilakukan, karena jika suatu saat kalau dia memiliki kepentingan dan tanahnya akan di jual, pihaknya tidak menemui kendala dan kesulitan. Bahkan dalam perkembangannya, Hartini merasa tidak nyaman, pasalnya ada ancaman dari pihak-pihak tertentu. Bahkan kasus perampasan tanah ini menurutnya, juga melibatkan Kepala Kelurahan Begajah, SM yang juga ikut bertanda tangan sebagai pihak yang mengetahui. “Mengapa sebagai lurah kok diam saja, ketika menyaksikan sebagian warganya mengintimidasi,  mengancam dan memaksa tanah saya untuk diserahkan” lanjutnya

Diceritakan, pada 3 Mei 2019 Hartini mendapatkan undangan dari kantor Kelurahan Begajah yang isinya untuk dimintai konfirmasi tentang surat nikah. Sebagai warga yang baik, Hartini memenuhi undangan itu, tetapi sesampainya disana (Kantor Kelurahan), Hartini langsung di bawa di suatu ruang yang ternyata disana sudah ada 5 tetangganya, termasuk Ketua RT 02, Dukuh Sengon. Mereka berlima itu, masing-masing DB, AM, ED, SS dan BSH. “ Kelima tetangga aya tersebut memaksa dengan cara mengintimidasi dan mengancam, agar saya menyerahkan sebagian tanah, dengan alasan untuk digunakan jalan kampung” paparnya

Sebagai perempuan, tentu Hartini ketakutan dan menangis, meski dengan terpaksa harus menanda tangani surat pernyataan tersebut. Dimana, sebelumnya surat itu sudah disiapkan (di ketik rapi), bahkan anehnya SM, sebagai Lurah juga ikut menandatangani (mengetahui). “Saya sebagai wanita yang lemah dan merasa tertekan pada saat itu, namun saya tidak terima, saya minta dikembalikan sebagian tanah saya itu, sesuai dengan gambar di sertifikat ” tandasnya

Menurut pendamping kasus perampasan tanah ini, Sri Wahono mengatakan, surat pernyataan sebelumnya sudah di buat oleh pihak kelurahan. Dengan demikian surat pernyatan itu tidak sah. Pasalnya, surat pernyataan itu ber-kop surat Kelurahan Begajah, tulisan sudah di ketik sebelumnya (bukan tulisan tangan Hartini) dan masih ada beberapa lagi ketidakabsahan yang mendukung, sehingga surat pernyataan itu tidak berlaku di mata hukum . “Ini jelas merupakan unsur pemaksaan, maka kami melaporkan ke Ombudsman pada tanggal 19Maret 2020 sebagai jalan penyelesaian kasus tanah milik Hartini ini “ tandasnya Sementara itu, Sabarudin Hulu, Kepala Keasistenan Pemeriksaan Ombudsman Perwakilan Jawa Tengah mengatakan, kasus dugaan perampasan tanah milik Hartini sekarang ini, sudah pada  tahap mediasi, , jika terlapor telah terbukti melakukan Mal Administrasi, maka pihaknya baru akan menentukan status terlapor. “Dari tahapan itu, ditemukan unsur pidana atau tidak, kalau memang ada, maka kasus ini akan diteruskan pihak kepolisian atau dilaporkan polisi, untuk menanganinya” ujar Sabarudin. (Hong)