Tari Wireng
Solo, smnusantara.com – Dua orang prajurit bersenjata anggar dan tameng berlatih perang. Dalam irama gamelan yang rancak, saling pukul dan saling tangkis kemudian terjadi. Kedua prajurit sama saktinya hingga saat iringan karawitan berakhir, tak ada yang menang dan tak ada yang kalah.
Itulah tarian wireng. Dalam ranah tari tradisional Jawa, tarian tersebut banyak ditemui selain jenis bedhayan dan srimpen. Biasanya ciri khusus pada tarian tersebut memang mengisahkan tentang prajurit yang tengah menempa diri. Baik itu yang berpasangan atau pun tarian tunggal.
Menurut penuturan Wahyu Santosa Prabowo, Empu Tari, wireng berasal dari kata wira ing atau juga wira aeng. Jika diterjemahkan, asal kata tersebut artinya kurang lebih prajurit yang sedang berlatih. Misalnya saja seperti tarian bandayuda, bandabaya, eko prawira dan lain sebagainya.
”Karena itulah mengapa kemudian isi tariannya juga banyak mengisahkan para prajurit yang sedang olah perang,” jelasnya.
Perang Berjarak
Namun demikian, tidak semua jenis wireng selalu berkisah tentang prajurit yang sedang melakukan olah kanuragan. Pada jenis tarian tertentu ada pula yang pemaknaan perangnya itu menjadi berbeda. Tarian wireng yang memiliki filosofi perang yang berbeda itu adalah panji anem dan panji sepuh.
”Pada tarian ini, perang yang dikisahkan adalah perang batin. Bagaimana manusia berusaha mengendalikan hawa nafsunya,” kata dia.
Karena itu jangan heran jika dalam bentuk dari konstruksi geraknya juga tidak ada visualisasi gerak saling pukul atau saling tangkis. Sebab peperangannya berkesan lebih abstrak dengan banyak gerakan-gerakan simbol. Inilah yang membedakan dengan jenis-jenis tarian yang lain. ”Begitulah, Jawa memang kaya akan penafsiran. Hingga perang tidak berarti hanya adu fisik, tapi ada pula perang batin. Seperti dalam jenis tarian wireng, yang juga bukan sekadar olah kanuragan,” kata Irawati.(WK)