Publik Benar-benar Menyaksikan Ada Seorang “Nata Tanpa Labuh Karya” (seri 3 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:December 6, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Publik Benar-benar Menyaksikan Ada Seorang “Nata Tanpa Labuh Karya” (seri 3 – bersambung)
MONUMEN PENANDA : Dinding tembok bangunan di ujung barat yang dekat kediaman keluarga Sasana Putra, kini masih bolong dan tinggal menunggu waktu roboh lebih luas. Pemandangan itu menjadi monumen penanda zaman Sinuhun PB XIII bertahta. (foto : iMNews.id/Wob Poerwono)

Tampilnya Seorang Pengemban Tahta di Kraton, Bukan Berdasar “Pilihan”

IMNEWS.ID – MUNGKIN karena zaman sudah modern dan teknologi semakin canggih, memudahkan setiap orang bisa mengakses segala macam informasi. Termasuk informasi data pribadi dan riwayat seseorang, apalagi yang bersangkutan menjadi tokoh publik. Sekalipun, yang disebut tokoh publik itu lahir dari dan besar serta banyak berkecimpung di dalam lingkungan internal masyarakat adat seperti lembaga kraton.

Maka, jika pada zaman kerajaan dahulu ada peran seorang pemimpin yang menonjol terutama dalam kekaryaannya yang bermanfaat bagi publik, belum tentu diketahui atau dikenal publik. Maka, riwayat Kraton Mataram Islam dengan para tokoh pemimpin Sinuhun Paku Buwana, I-II di Ibu Kota Kartasura dan II hingga XIII di Ibu Kota Surakarta, juga tidak akan dikenal/dipahami publik jika tidak “dipublikasikan”.

Tetapi memang, dari deretan para tokoh pemimpin Mataram Surakarta itu tidak semua dikenal karena karya-karyanya. Di seri-seri sebelumnya sudah jelas sekali ada yang “terpaksa” dikecualikan, karena memang tidak punya karya. Persis seperti judul dan tema besar artikel ini, “Publik Benar-benar Menyaksikan Ada Seorang Nata Tanpa Labuh Karya”. Dalam soal itu, Mataram Surakarta benar-benar pada titik nadir.

Tetapi yang berlalu, biarlah berlalu. Riwayat Sinuhun PB XIII (2004-2025) sudah selesai, karena wafat pada 2 November lalu. Masyarakat adat yang memegang teguh Budaya Jawa pasti memahami makna “Mikul dhuwur, mendhem jero”. Selalu berusaha mengubur dalam-dalam riwayat negatif/buruk leluhurnya, tetapi berusaha mengingat, memuliakan dan meneladani kebaikannya saja. Itu semua sudah menjadi keniscayaan.

KARYA PENANDA : Jambore Keris Nasional 2025 yang sempat dihadiri Kemenbud Fadli Zon, menjadi penanda karya Sang Adipati Anom. Karyanya akan dicatat sejarah bersama karya-karya berikut saat sudah bertahta sebagai PB XIV. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pelajaran yang bisa dipetik dari riwayat ketokohan Sinuhun PB XIII, justru soal kemudahan publik mengakses informasi mengenai riyawat perjalanan hidupnya sampai akhir hayat, sebagai pemimpin tahta di Kraton Mataram Surakarta. Dengan kemajuan teknologi informasi, publik secara luas bisa mengetahui riwayatnya. Bahkan tentu saja karya-karyanya semasa memimpin lembaga kraton, yang sudah menjadi “tradisi”.

Kalau setelah dilacak melalui teknologi informasi sama sekali tidak ditemukan jejak karyanya, itu bukan tertutup oleh sesuatu, tetapi karena memang tidak punya karya. Karena, semua karya yang lahir pada era Bebadan Kabinet 2004 hampir semuanya murni karya seluruh jajaran “Bebadan” yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng. Dan pada dekade terakhir, “diteruskan” KGPH Hangabehi.

Walau faktanya seperti itu, tetapi mungkin saja dalam tatacara penulisan sejarah tentang riwayat seorang pemimpin adat di lingkungan Kraton Mataram Surakarta ke depan, bisa saja semuanya berbunyi “yasan-dalem” (semasa) “jumeneng-dalem” Sinuhun PB XIII. Karena, tradisi yang sudah berjalan ratusan tahun sejak awal Mataram Islam didirikan Panembahan Senapati, memang seperti itu tatacaranya.

Meskipun akan diperlakukan seperti itu, tetapi kemajuan teknologi informasi akan memudahkan publik mengakses semua informasi tentang riwayat seseorang dan karya-karyanya secara pilah dan tegas garis pembatasnya. Bahkan tidak hanya itu, publik juga akan dimudahkan untuk mengakses informasi pribadi riwayat orang-orang di sekitar pemimpin adat, khususnya keluarga Sinuhun PB XIII.

PERGAULAN INTERNASIONAL : Mengikuti pameran keris dan demo jamasan keris di Belanda, akhir Oktober 2025, menjadi bagian pergaulan internasional yang penting bagi KGPH Hangabehi. Peristiwa itu akan dicatat sejarah sebagai karyanya. (foto : iMNews.id/Dok)

Misalnya, Sinuhun PB XIII dalam beberapa waktu di akhir hayatnya selalu diklaim mengeluarkan begitu banyak “dhawuh” dalam wujud surat (SK) untuk berbagai keperluan yang bertabrakan dengan kepentingan resmi dan sah berbagai pihak lain. Padahal faktanya, berdasar putusan Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo tahun 2016, dia mendapat putusan bebas dari segala ancaman hukum karena “cacat permanen”.

Menderita “stroke” hingga terganggu kemampuannya berbicara dan berpikir normal, menjadi “alasan” PN Sukoharjo tidak menjatuhkan hukuman terhadap dirinya sebagai terdakwa pada kasus “human traffiking” yang dilakukannya. Dengan akses informasi dalam wujud video YouTube yang selama beberapa waktu hingga masa Pandemi, publik secara luas juga bisa mendapat informasi dan memahami hukum sebab-akibatnya.

Begitu pula informasi mengenai penyalahgunaan SK Kemendagri No.430-2933/2017 (bukan No.420-2933-Red) yang dilakukan Sinuhun PB XIII. Karena, Sinuhun PB XIII menggunakan SK Kemendagri itu untuk membentuk badan pengelola kraton, mengangkat “GKR” dan menetapkan “putra mahkota”, jelas sudah dinyatan sebagai perbuatan melawan hukum. Bahkan, di situ ada kesalahan “dobel” yang tidak dibenarkan hukum.

Selain penyalahgunaan SK Kemendagri, perbuatannya membentuk badan pengelola, mengangkat “GKR” dan menetapkan “putra mahkota” sudah jelas tidak bisa dibenarkan secara hukum. Karena, yang bersangkutan sudah divonis menderita “cacat permanen”, yang berarti segala produk kebijakannya tidak punya kekuatan hukum. Oleh sebab itu, putusan Mahkamah Agung (MA) menegaskan vonis “cacat permanen” itu.

“SUTRESNA BUDAYA” : Para pecinta keris yang menjadi bagian para “sutresna budaya”, sudah menjadi bagian dari pergaulan KGPH Hangabehi. Pergaulan itu modal penting ketika kelak menjalankan tahtanya sebagai Sinuhun PB XIV. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pada kaitan berikutnya dengan putusan “cacat permanen” dan gugurnya semua produk kebijakan Sinuhun PB XIII, publik secara luas juga mudah mengakses informasi mengenai riwayat tokoh-tokoh yang “sudah bermasalah” dan kini getol berambisi “merebut” tahta. Kisah ini bahkan sempat membanjiri tuang digital karena banyak platform medsos pribadi mengunggahnya, baik yang mendukung maupun yang menolak.

Hingga kini memang belum ada yang mengakses informasi tentang riwayat pemilik gelar “GKR” dan anaknya yang didorong dengan “segala cara” untuk meraih tahta. Tetapi tidak lama lagi, riwayat tentang hal buruk/tak wajar yang mempermalukan banyak pihak, pasti akan ditunjukkan ke ruang publik. Karena, mengakses informasi data pribadi tentang riwayat kedua tokoh itu pasti tidak terlalu sulit.

Karena, kini sudah mulai muncul ke ruang publik banyak pertanyaan bagaimana seorang istri bisa diangkat menjadi “permaisuri”, dan bagaimana seorang anak bisa ditetapkan menjadi “putra mahkota”? Pertanyaan itu berlanjut, bagaimana mungkin logikanya anak yang lahir pada 26 September 2002, tetapi ibunya baru dinikahi seorang Sinuhun pada 4 Juli 2002?. Lalu, bagaimana bunyi akte kelahiran anak itu?.

Informasi tentang data pribadi itu diakses publik, bukan semata-mata bermaksud mempermalukan seseorang. Tetapi, ada hal yang berkait dengan pelanggaran persyaratan adat yang berlaku di lingkungan kraton. Tetapi mungkin karena standar etikanya sangat rendah, fakta-fakta yang digunakan untuk melanggar itu tidak dipahami sebagai bentuk pelanggaran etika berat, yang seharusnya tidak dilakukan.

KALANGAN AKADEMISI : KGPH Hangabehi juga sudah dekat dengan kalangan akademisi, misalnya Fakultas Teknik Unsarwi Taman Siswa (Jogja) sebagai bagian dari pergaulannya. Pergaulan ini modal penting untuk tahtanya kelak. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bagi yang benar-benar memahami etika Jawa apalagi hidup di lingkungan yang memegang teguh Budaya Jawa, ketika memiliki aib sedikit saja rasa malunya bukan kepalang. Sampai-sampai kehilangan akal untuk menutupinya. Tetapi, yang terjadi pada “GKR” satu ini, malah terkesan “bangga” dan semakin membabi-buta ulah dan ambisinya. Wajar bila kemudian, publik bertanya-tanya, dari mana asal-usulnya?.

Pelanggaran etika berat bagi paugeran adat, adalah pengangkatan permaisuri yang sudah bukan “gadis”, apalagi “pernah menikah”. Itu bisa dibuktikan dengan data waktu istri dinikahi dan data waktu upacara adat “Bhayangkari” untuk mengangkat permaisuri. Karena ini semua akan menentukan eksistensi seorang “putra mahkota”, bila punya anak lelaki. Kalau anaknya perempuan, di luar “kalkulasi” soal tahta. (Won Poerwono – bersambung)