Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 7 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:November 19, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Memahami di Balik “Bangunan”, “Tahta”, Konsep “Ratu” dan “Bibit, Bobot, Bebet” (seri 7 – bersambung)
KEKUATAN DOA : KGPH Hangabehi punya pribadi yang bersahaja, jauh dari kesan suka "flexing". Calon pemimpin ini lebih sering berada dalam suasana doa dan khidmat, ketika mengikuti berbagai upacara adat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

KPP Nanang Susilo : “Semoga KGPH Hangabehi Menjalani Semua yang Menjadi Syaratnya…”

IMNEWS.ID – DALAM catatan Kanjeng Pangeran Panji (KPP) Nanang Susilo Sinduseno Tjokronagoro, harus ada enam dari sejumlah “lampah-lampah” yang menjadi syarat dan harus dijalani seseorang yang sedang menuju tahta sebagai Sinuhun Paku Buwana (PB). Persyaratan adat berupa ritual atau spiritual religi maupun spiritual kebatinan itu memang panjang, oleh karenanya bisa dilakukan bertahap dalam beberapa hari.

“Saya berharap Kangjeng Gusti (KGPH) Hangabehi pasti juga akan menggenapi semua syarat lampah-lampah itu. Apalagi beliau dekat para sentana pinisepuh dan sesepuh yang akan memandu. Terutama Gusti Moeng yang sudah sejak awal mempersiapkan segalanya untuk Kangjeng Gusti Hangabehi dan proses pergantian tahta sekarang ini. Ya, memang segalanya harus disiapkan dengan baik,” ujar KPP Nanang kepada iMNews.id.

Menjawab pertanyaan saat dihubungi kemarin, sentana darah-dalem Sinuhun PB V dan X itu menyebutkan ada 6 hal penting yang tidak tampak dijalani pada proses jumenengan tokoh pesaing yang mengaku “putra mahkota” itu, Sabtu (15/11). Yaitu (1) tidak ada prosesi wilujengan menjelang penobatan, (2) tidak ada ziarah ke makam para leluhur dan (3) tidak ada prosesi gladi (latihan) yang disebut karena mungkin terburu-buru.

Perihal terburu-buru yang disebut KPP Nanang Susilo, sangat mendekati kebenaran karena peristiwa “deklarasi” di depan peti jenazah itu, jelas melukiskan sebuah siasat untuk “mencuri kesempatan”. Yaitu untuk mendahului start karena merasa bersaing dengan calon lain (KGPH Hangabehi). Baginya, melanggar etika dianggap biasa, tetapi dengan cara begitu dirinya merasa memenangkan start yang berefek psikis.

“KANCA KAJI” : KGPH Hangabehi juga meneladani para leluhurnya yang selalu dekat dengan “lembaga kapujanggan” kraton khususnya para abdi-dalem “Kanca Kaji”. Menjadi seorang Sinuhun Paku Buwana, juga diharapkan menjadi “pemimpin agama”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hal penting yang dilanggar berikutnya adalah (4) tak ada gelar tarian sakral Bedhaya Ketawang, (5) tidak ada penyematan keris pusaka seperti lazimnya raja Mataram dan (6) tak disaksikan perwakilan trah “Catur Sagatra”. Poin terakhir itu adalah para saksi lengkap dari Kraton Jogja, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman, selain kerabatnya sendiri (para sesepuh) yang mewakili Kraton Mataram Surakarta.

“Karena dari enam hal penting itu semuanya tidak terpenuhi atau tidak dijalani, maka dari persyaratan ini jumenengan Sinuhun PB XIV itu tidak bisa disebut sah. Terlebih, hampir semua persyaratan itu harus terjadi dan disaksikan semua kerabat dan perwakilannya, terutama unsur sesepuh untuk poin 6. Saya berharap, Kanjeng Gusti Hangabehi akan menggenapi 6 hal penting itu,” harap KPP Nanang Susilo.  

Baik oleh KPP Nanang Susilo maupun para sentana-dalem lain menyebut pelaksanaan semua persyaratan yang secara lengkap tidak bisa dilakukan dalam sehari atau dua hari, ketika dianalisis lebih lanjut memang rasional. Karena, donga wilujengan untuk menjadi “Adipati Anom” saja perlu waktu, berdasar pertimbangan tepat (hari/weton pasaran) dan harus disaksikan oleh semua kerabat internal dalam sebuah upacara adat.

Prosesi ziarah ke makam para leluhur, adalah suatu keharusan atau mutlak harus dipenuhi oleh KGPH Hangabehi, minimal ke Astana Pajimatan Imogiri (Bantul-DIY). Untuk melaksanakan syarat inipun, juga perlu persiapan dan menentukan waktu yang tepat serta luang. Karena, untuk satu titik lokasi di Imogiri saja, pasti akan memakan waktu mengingat jumlah tokoh leluhurnya banyak, belum yang ada di lokasi lain.

MEMIMPIN UPACARA : KGPH Hangabehi sudah lama dipersiapkan menuju tahtanya yang sudah “di depan mata”. Dia “dilatih” memimpin upacara adat Garebeg Mulud yang memang sudah sangat dia pahami menjadi tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin adat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Latihan atau “gladen” sangat diperlukan untuk menggelar upacara adat jumenengan nata, seperti yang pernah dilakukan “Bebadan Kabinet 2004” terhadap Sinuhun PB XIII (alm). Karena, upacara adat ini akan melibatkan beberapa unit kerja dan bagian di antaranya para penari Bedhaya Ketawang, para abdi-dalem karawitan yang akan mengiringi dan kehadiran para saksi perwakilan dari trah “Catur Sagatra”.

Mengingat begitu banyak tahapan atau “lampah-lampah” yang harus dipenuhi oleh seorang calon Sinuhun PB, maka harus ada panitia yang solid menjangkau semua bidang kerja adat dalam rangka jumenengan nata itu. Selain itu, susunan tahapan “lampah-lampah” juga harus ditata dan dikontrol ketat dan cermat, jangan sampai terkesan “asal ada” dan “asal jalan” sebagai sekadar bukti bagi seperti yang “baru saja lewat”.

Yang sangat mendasar untuk menjadi perhatian dan lebih dipahami, semua aktivitas upacara adat di Kraton Mataram Surakarta pada intinya adalah “ekspresi doa” untuk berbagai permohonan kepada Tuhan YME, Allah SWT atau Sang Hyang Tunggal. Oleh sebab itu, hampir semua “lampah-lampah” yang menjadi syarat untuk dijalani, harus dipahami sebagai ekspresi doa permohonan kepada Sang Khalik, sesuai keperluannya.

Karena, arah yang akan dituju adalah pencapaian tertinggi dan mulia, yaitu sebagai pemimpin yang akan memikul tugas, kewajiban dan tanggung-jawab besar bagi masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, lestarinya Budaya Jawa dan terjaganya peradaban kehidupan generasi jauh ke depan. Kehidupan peradaban, baik di lingkungan internal masyarakat adat sendiri, juga bagi bangsa dan negara dan peradaban dunia.

WERUH KAWULA : KGPH Hangabehi merupakan “calon Narendra” yang sudah akrab bergaul dengan berbagai elemen “kawulanya”, tidak sekadar “weruh”. Memimpin upacara adat Garebeg Mulud, adalah contoh nyata pergaulan yang menjadi tugas, kewajiban dan tanggungjawabnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Terhadap hal-hal penting yang dijelaskan di atas, bagi KGPH Hangabehi memang masih terbuka kesempatan untuk mempersiapkan diri dengan baik setelah melewati donga wilujengan menjadi “Adipati Anom”. Kesempatan itu perlu dipersiapkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, apalagi ada kalangan kerabat dan sesepuh serta pinisepuh “Lembaga Kapujanggan”, yang bisa diajak dialog dan dimintai saran/pertimbangan.

Bagi yang sudah terlanjur “ngawur” menabrak segala aturan, itu memang sudah menjadi arah jalan dan tujuannya sesuai pilihannya. Karena, yang bersangkutan memang sudah “cacat” dari awal atau dari “lahir” dalam makna memang bukan figur yang “terpilih” sebagai calon. Makna “terpilih”, adalah kekuatan yang datang dari luar jangkauan penalaran manusia, yaitu dari Sang Khalik yang tak mungkin bisa “direkayasa”.

Bila disaring dengan konsep “bibit, bobot, bebet”, KGPH Hangabehi memang bukan putra seorang garwa prameswari, karena faktanya Sinuhun PB XIII tidak punya permaisuri. Posisi ini sama dengan ayahandanya, Sinuhun PB XII yang tidak punya permaisuri, karena para tokoh “lembaga kapujanggan” tidak menyarankan mengangkat permaisuri. Tetapi, posisi seperti bukan harus diartikan untuk “merekayasa” demi ambisi.

Karena faktanya tidak punya “garwa prameswari”, maka aturan dari paugeran adat yang berlaku adalah putra tertua dari semua anak keturunan Sinuhun PB (XIII) yang bisa “dinobatkan” menjadi calon pengganti dan penerus tahta. Dari persoalan “bibit”, KGPH Hangabehi memang sudah benar-benar ber-DNA seperti darah ayahandanya (Sinuhun PB XIII), seperti yang diungkapkannya saat bertandang ke iMNews.id, 3 tahun lalu.

PEMIMPIN NYATA : Di mata berbagai elemen masyarakat adat termasuk kerabat, abdi-dalem Pakasa cabang dan abdi-dalem ulama, KGPH Hangabehi adalah pemimpin nyata calon Sinuhun PB XIV. Dia bukan pemimpin semu yang tak memahami diri dan lingkungannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, soal “bibit” ini mungkun menjadi masalah serius bagi seorang “adik” yang menjadi pesaingnya. Tes DNA mungkin tak akan menjadi pilihan untuk ditempuh dalam rangka membuktikan apakah sang pesaing benar-benar punya darah DNA Sinuhun PB XIII?. Naluri masyarakat adat lebih tajam untuk meyakini kebenaran dalam soal itu, karena serentetan perbuatan “tercela” sudah mengindikasikan kuat “dari mana asalnya?”.

Artinya, dalam terminologi kehidupan spiritual batin wong Jawa lebih meyakini, bahwa seseorang yang terpilih dan disiapkan menjadi pemimpin memang seperti disiapkan jalan ke arah yang dituju. Selama perjalan menuju arah pencapaiannya, terkesan jauh dari segala perbuatan tercela dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Sangat berbeda dengan yang memang tidak disiapkan, malah penuh cela dan rekayasa. (Won Poerwono – bersambung/i1)