Rezim yang Membiayai Desakralisasi Tumbang, Para Dalang Kehilangan “Juragan”
IMNEWS.ID – ZAMAN keemasan seni pertunjukan wayang kulit yang telah membuat sukses Ki Anom Suroto (alm) dan Ki Manteb Soedharsono (alm), juga dirasakan para seniman dalang yang aktif di organisasi Senawangi, Ganasidi dan Pepadi. Dan itu hanya terjadi pada zaman rezim Orde Baru (Orba). Selama 32 tahun rezim pemerintahan yang didominasi Golkar itu, para dalang dan beberapa seniman lain naik kasta tinggi.
Pada seri sebelumnya (iMNews.id, 29/10/2025) sudah dijelaskan skema “mata rantai” jatuhnya kesenian wayang kulit akibat mengalami delegitimasi terhadap lembaga sumbernya, Kraton Mataram Surakarta, juga mengalami desakralisasi dan demitologisasi materi sajian kesenian wayangnya. Akibat perlakuan tiga hal yang masif, sistemik dan terstruktur melalui mata-rantai itu, wayang kulit hanya menjadi tontonan biasa.

Sama dengan dengan seni “mbarang” (ngamen) atau pertunjukan seni modern yang masuk lingkaran industri seni budaya, wayang kulit sudah diasumsikan publik sebagai seni “jalanan” dan bisa tersaji dalam wujud apa saja sesuai “order skenario”, sesuka figur dalang atas order “juragan” dan para penanggapnya. Tiga proses “perusakan” itu, berawal dan berlangsung selama 30-an tahun Golkar mendominasi rezim Orde Baru.
Di dalam skema mata-rantai alur proses “perusakan”, masih ada instrumen lain untuk mengalirkan dana guna membiayai “tugas” skenario (delegitimasi, desakralisasi, demitologisasi) dari rezim kekuasaan, sebelum atau bersamaan menuju lembaga kampus. Bahkan bisa bersamaan, ketika skenario dikomando menuju Pepadi dan Senawangi, karena ada pengembangan program tugas selain yang dikerjakan dua maestro dalang di atas.
Instrumen kelembagaan lain itu adalah misalnya organisasi pengusaha yang bergerak di berbagai bidang seperti konstruksi bangunan (Gapensi), listrik (AKLI), infrastruktur jalan, air (Akaindo), Kadin, Iwapi dan sebagainya. Selama rezim Orde Baru (1966-1998), beberapa organisasi itu dikuasai Golkar (pengusaha) sebagai saluran dana proyek pembangunan sarana/prasarana di berbagai daerah (kabupaten/kota).
Dari sejumlah organisasi yang dikendalikan Golkar itu, dana bisa dikumpulkan untuk membiayai kegiatan pentas wayang kulit dan beberapa kesenian lain (ketoprak), guna “brain washing” dan membentuk memori publik sesuai order skenario rezim kekuasaan. Setelah delegitimasi terhadap kraton, desakralisasi dan demitologisasi terhadap wayang kulit sukses, diharapkan masyarakat melupakan kraton dan “lupa wayang”.

“Lupa wayang” dalam makna proses agar melupakan atau menganggap wayang tidak lagi bermanfaat bagi kehidupan masyarakat luas, bahkan dianggap memberi pengaruh negatif. Proses melupakan karena wayang dianggap berpengaruh negatif, terjadi di saat-saat akhir dua maestro dalang bertugas, menjelang hingga awal tahun 2.000 (abad 21). Karena di saat itulah, peran Ki GPH Benowo sangat intensif dalam “pisuhan”.
Begitu rezim Orde Baru “tumbang” bersamaan dengan proses perubahan Golkar menjadi partai mulai 1999, mulai saat itulah mata-rantai “komando” menjalankan “skenario perusakan” wayang mulai “kalang-kabut kocar-kacir”. “Juragan” sumber dana yang membiayai dua maestro dalang “petugas utama” itu “tiarap”, walau Senawangi, Ganasidi dan Pepadi masih bisa menggali entah dari mana, yang jelas sangat kecil.

Dengan bubarnya rezim Orde baru, peta politik berubah total yang berimbas pada sumber dana dan biaya melanjutkan “order skenario” rezim kekuasaan. Mulai tahun 1999 peta sumber dana berubah, karena sejumlah organisasi profesi di atas, tak lagi didominasi orang-orang Golkar mengingat kabinet di pemerintahan yang punya dana dan proyek dikuasai koalisi banyak partai. Maka, “selesailah tugas” dua maestro dalang.
Walau tugas dua maestro dalang selesai, bukan berarti proses delegitimasi kraton, desakralisasi dan demitologisasi wayang kulit berakhir atau selesai. Yang selesai hanya “tugas” untuk dua maestro itu, karena sudah dianggap “sukses” yang buktinya citra seni wayang sudah benar-benar rusak di mata publik. Bersamaan itu, sumber dana dan sumber biaya sudah tak mengalir karena “salurannya” sudah dibongkar.
Dalam proses “perusakan” atau delegitimasi kraton, desakralisasi dan demitologisasi wayang kulit, masih ada satu mata rantai yang hampir terlewati. Mata rantai yang khusus ada di Jawa Tengah itu namanya “Pantia Tetap Wayang” (Pantap) Wayang Jateng yang diketuai Ir Sujadi, mantan pejabat di Surakarta dan Jateng yang juga fungsionaris Golkar. Ada gerakan menggelar wayang lebih masif menjelang Orba tumbang.
Praktik “Tiga De”, delegitimasi kraton, desakralisasi dan demitologisasi wayang kulit “gagrag” Surakarta pada “generasi kedua” lebih “beringas”, karena yang dikerahkan kalangan dalang usia muda, sasarannya di wilayah masyarakat Surakarta. Dalang muda yang dikerahkan seperti Ki Mudo Wibowo, Ki Sudirman dan Ki Susilo Thengkleng (Sragen), Ki Sukasdi (Sukoharjo), Ki Warseno Slenk dan sebagainya.

Sekitar 20-an dalang di bawah generasi almarhum Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedharsono, termasuk Ki Medot Samiyono, Ki Sumanto Brahimputro dan Ki Darmadi yang terkesan seakan-akan menjadi “penerus” dua maestro dalang di atas. Tetapi, air bah rezim Orde Baru sudah tak bisa “ditambak” Prabu Ramawijaya, dan dominasi politik kekuasaan hancur menggulung segalanya, termasuk organ-organ politik Golkar.
Kini, dua maestro dalang sudah “berpulang” dan “sukses” menaikkan dirinya ke strata sosial tinggi karena kekayaan yang dikumpulkan lebih 20 tahun menjadi “petugas” rezim kekuasaan. Keduanya juga sukses memulai proses “perusakan” seni wayang kulit karya peradaban, yang diteruskan para “petugas” penggantinya sejumlah dalang generasi muda. Proses “perusakan” terus terjadi, tetapi “juragan” sumber dana tak ada.

Generasi dalang seperti Ki Anom Dwijokangko, Ki Cahyo Kuntadi, Ki MP Prasetyo Bayuaji dan sejumlah dalang segenerasi dan di bawahnya, kini menghadapi “kerusakan” citra wayang kulit yang benar-benar tidak mereka sadari. Frekuensi pentas mereka tinggal 15-an kali/bulan, yang terus menyusut ketika memasuki masa pandemi, nilai job pentasnya tertinggi Rp 25 juta komplet/tampil, yang sulit dibagi setimpal.
Padahal, mereka terlanjur dituntut tampil serba “gebyar” mentereng di panggung, seperti tampilan dua maestro pendahulunya yang dibayar sampai Rp 250 juta/tampil. Maka kini, wajar kalau setelah “jejeran” dan pamer sabet perang “keprukan”, dalang lalu diam, “duduk manis”. Karena, fungsinya sudah diganti “dagelan”, musik dan joget bintang tamu lain, yang mengganti unsur “tuntunan” menjadi “full tontonan”.
(Won Poerwono – bersambung/i1)




