Krisis “Kawruh” Budaya dan Sejarah Kraton Serta SDMnya, Juga Lumpuhnya Sumber Informasi
IMNEWS.ID – SEIRING dengan pergantian zaman yang diikuti dengan pergantian generasi, terlebih paradigma tentang Kraton Mataram Surakarta yang juga berubah, telah terjadi proses legitimasi baru antara kraton, segala produk peradaban dan masyarakat adat pendukungnya. Pergantian zaman dan generasi serta perubahan paradigma sebenarnya memang biasa, menjadi konsekuensi logis yang rasional, bahkan dianggap natural.
Tetapi, untuk sebuah semangat dan visi besar menjaga eksistensi kraton yang terus dicarikan “wiradat” (sarana/cara) agar semakin berumur panjang lebih dari 200 atau 280 tahun, rupanya perlu perhatian serius urusan mengendalikan proses legitimasi baru di atas. Sebab, pengendalian proses inilah yang akan menentukan sukses dan kualitas keberhasilannya, karena proses selanjutnya diharapkan berjalan natural.

Harapan keberlanjutan proses agar berjalan secara natural itu, tentu berkaca dari pemandangan rutin kerja adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta dalam dua dekade terakhir. Dari sana, tampak sekali perbedaan antara periode sebelum Bebadan Kabinet 2004 terbentuk, pasca terbentuk hingga sebelum ada “insiden mirip operasi militer 2017” hingga pasca-“ontran-ontran” pengusiran Bebadan Kabinet 2004.
Ketika mengamati jalannya upacara adat “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” yang digelar Bebadan Kabinet 2004, Senin Kliwon (20/10) yang tepat jatuh pada 28 Bakda Mulud Tahun Dal 1959 di tahun 2025 ini, tampak sekali ada jarak atau kesenjangan. Yaitu jarak antara pemahaman/penguasaan “kawruh” tentang ritual itu dengan unsur manusianya generasi elemen masyarakat adat tertentu, selain kerabat sentana.
Karena, hanya dalam tiga periode berurutan pada rentang waktu 50-an tahun atau sekitar 5 dekade antara 1970 hingga kini, sudah terjadi pergeseran penguasaan/pemahaman “kawruh” luar biasa di kalangan masyarakat adat termasuk kerabat sentana, apalagi publik secara luas. Dan tidak bisa diingkari, selama tiga dekade sejak NKRI lahir (1945) hingga tahun 1970-an, sebenarnya sudah terjadi pergeseran serius.
Maka dengan melihat profil daya dukung berbagai elemen masyarakat adat di atas, sebenarnya telah terjadi krisis pemahaman/penguasaan berbagai “kawruh” tentang Budaya Jawa dan cara-cara untuk menjaga eksisteni kraton. Tidak hanya terjadi krisis generasi yang menjadi daya dukung legitimasinya, tetapi juga krisis pengetahuan dasar sebagai landasan hidup peradabannya, termasuk pengetahuan untuk bertahan hidup.

Dengan mencermati situasi dan kondisi yang tampak dari periode ke periode, maka peta keadaan riil dan permasalahannya sudah jelas. Solusi dan cara-cara untuk memperbaiki dan menyiapkan proses yang akan berjalanpun, seharusnya sudah bisa disiapkan. Dengan melihat peta keadaan, solusi dan arah proses “perbaikan” yang harus dilalui, seharusnya juga sudah bisa diukur potensi capaian dan tujuannya.
Seperti pernah disinggung KPH Edy Wirabhumi dalam rapat koordinasi dengan kalangan pengurus Pakasa cabang untuk persiapan hari Jadi ke-94 Pakasa tahun 2025 ini, memang benar Pakasa di zaman setelah 80 tahun republik ini memang Pakasa “reborn” atau “New Pakasa” yang sudah jauh dari saat lahir 94 tahun lalu. Tetapi dalam konteks membangun daya dukung legitimasi kraton, Pakasa adalah bagian, tapi penting.

Karena posisinya bagian penting dari semua potensi daya dukung legitimasi itu, maka perlu prioritas penanganan pada titik-titik penting krisis yang terjadi. Baik di titik krisis pemahaman dan penguasaan pengetahuan mendasar untuk bekal mendukung kerja adat, maupun krisis potensi SDM-nya. Bahkan krisis potensi daya dukung dari SDM kerabat-sentana yang terus menyusut jumlahnya, padahal itu strategis.
Pergeseran potensi penguasaan/pemahaman “kawruh” yang terjadi dalam lima dekade sejak tahun 1970-an hingga kini, memang sudah bisa diketahui jawabannya ketika sudah dipahami rentetan sebab-akibatnya. Dan salah satu titik strategis yang menjadi penyebabnya, masyarakat adat “tidak siap” ketika tokoh seperti KRMH Sapardi Rio Yosodipuro (1990-an) dan KPA Winarno Kusumo (2018) ternyata “begitu cepat” mendahului.
Begitu cepat kepergian dua tokoh yang langsung atau tidak telah menjadi sumber informasi tentang berbagai “kawruh” Budaya Jawa dan sejarah kraton sebagai representasi resmi kraton, adalah bagian dari penyebab fatal dalam kausalitas terjadinya krisis di atas. Karena, begitu kehilangan dua tokoh pada rentang waktu 30 puluhan tahun itu, nyaris tak ada yang “mampu” dan “representatif” menggantikannya.
Dengan asumsi di luar kelembagaan Kraton Mataram Surakarta segala informasi tentang Budaya Jawa yang berkait dengan sejarah kraton dianggap “bias”, maka sebenarnya sebelum KRMH Rio Yosodipuro tampil aktif mulai tahun 1980-an, sumber informasi tentang hal-hal penting di atas nyaris tidak ada. Ini bisa dimaknai, bentuk aktivitas pemahaman/penguasaan “kawruh” dalam rangka proses regenerasi juga tidak ada.

Media massa (cetak) yang berkembang mulai tahun 1970-an dan mengalami modernisasi di tahun 1980-an, memang bisa disebut menjadi sumber informasi. Tetapi, kehadirannya tidak bisa menggantikan peran tokoh-tokoh representasi lembaga kraton yang benar-benar punya dedikasi untuk pelestarian Budaya Jawa, menjaga kelangsungan kraton, sekaligus melakukan proses regenerasi penguasaan/pemahaman “kawruh” di atas.
Sanggar Pasinaon Pambiwara baru didirikan Kraton Mataram Surakarta di tahun 1993, adalah satu-satunya lembaga transfer pengetahuan Budaya Jawa dan sejarah kraton yang juga layak menjadi sumber informasi resmi. Tetapi, kelahirannya tidak serta-merta bisa mengatasi krisis “kawruh” dan krisis SDM daya dukung pelestarian Budaya Jawa dan sejarah kraton dimaksud, karena “out-put”-nya tak terarah dan fokus ke situ.

Lahirnya Sanggar Pasinaon Pambiwara sebenarnya punya peluang besar bisa mengisi kekosongan peran sumber informasi, karena di tahun 1990-an “krisis” itu sudah benar-benar terasa. Tetapi, karena arah dan tujuan lembaga ini memang bukan semata-mata untuk keperluan itu, maka ketika KRT Kalinggo Honggopuro muncul sebentar lalu dilanjutkan KPA Winarno Kusumo hingga akhir hayat (2018), soal krisis tetap tak tersentuh.
Sepeninggal KPA Winarno Kusumo yang bersamaan kraton “dikuasai” sekumpulan orang yang sama sekali tak “berkompeten dan berkemampuan” dalam pelestarian Budaya Jawa dan menjaga kelangsungan kraton, krisis itu menjadi semakin parah. Ketika Bebadan Kabinet 2004 kembali memegang otoritas sejak 17 Desember 2022, Sanggar Pasinaon Pambiwara sebagai satu-satunya sumber informasi representatif kraton, “nyaris lumpuh”. (Won Poerwono – bersambung/i1)




