Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung, Upacara Adat di Tiga Lokasi Terpisah

  • Post author:
  • Post published:October 20, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung, Upacara Adat di Tiga Lokasi Terpisah
SEMUA HADIR : Upacara adat "Donga Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung" di lokasi kedua di Pendapa Sitinggil Lor, beberapa tokoh penting di jajaran Bebadan Kabinet 2004 hadir hampir lengkap. Di situ ada KGPH Puger, KGPH Hangabehi, KPH Bimo Djoyo Adilogo dan KRMH Suyo Manikmoyo. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tampak Sekali Kebesaran Islam yang “Melindungi” Unsur Hindu dan Budha

SURAKARTA, iMNews.id – Bebadan Kabinet 2004 Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat “Silujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” di tahun 2025 yang jatuh pada Senin Kliwon, Bakda Mulud, Tahun Dal 1959. Upacara yang satu ini adalah unik, karena memperlihatkan kebesaran Islam dalam “melindungi” keberadaan minoritas unsur Hindu dan Budha seperti terlukis dalam doa, serta digelar di tiga lokasi terpisah.

Upacara adat yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa dan Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA), dimulai dari dapur atau “koken” Gandarasan. Donga wilujengan yang dipimpin abdi-dalem RT Irawan Wijaya Pujodipuro hanya berlangsung sekitar 30 menit, lalu diadakan prosesi untuk membawa semua uba-rampe upacara dari “koken” Gandarasan menuju kompleks Pendapa Sitinggil Lor.

DI SITINGGIL LOR : Pisowanan kedua dari rangkaian upacara adat “Donga Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, berlangsung di Pendapa Sitinggil Lor. Di sini, doa dipimpin abdi-dalem juru-suranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro yang berisi unsur-unsur Hindu, Budha dan Islam dalam lafal Bahasa Jawa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Prosesi membawa uba-rampe upacara adat di antaranya kepala kerbau, dikawal sejumlah prajurit Bregada Tamtama tanpa iringan Korsik Drumband Bregada Tamtama. Sesampai di Pendapa Sitinggil Lor, sudah menunggu para kerabat sentana dan abdi-dalem dari berbagai elemen sekitar 300 orang. Setelah semua uba-rampe “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” ditata di atas meja, RT Irawan Wijaya kembali memimpin doa.

Ketika “donga Wilujengan Nagari” dipandu abdi-dalem juru-suranata RT Irawan ini, terasa sekali ada yang unik tetapi mengesankan kebesaran Islam yang menjadi ciri Mataram Surakarta yang sudah dirintis pendiri Dinasti mataram, Sinuhun Panembahan Senapati. karena, hal yang unik itu terletak pada bacaan doa yang melukiskan unsur-unsur Hindu dan Budha selain Islam yang semua dikemas dalam lafal Bahasa Jawa.

Upacara di Pendapa Sitinggil Lor selesai dalam waktu sekitar 45 menit, dan “pisowanan” kecil berakhir. Sekitar pukul 13.15 WIB sebagian besar peserta upacara di Pendapa Sitinggil Lor bergegas menuju mobil dan bus yang akan mengangkut ke tempat upacara ketiga atau terakhir di hutan lindung Krendawahana. Namun, KGPH Hangabehi dan dua adiknya yaitu KPH Bimo Djoyo Adilogo dan KRMH Suryo Manikmoyo tidak ikut.

Konvoi sejumlah mobil pribadi dan bus dipandu mobil patroli Satlantas Polresta Surakarta segera meluncur  menuju hutan lindung Krendawahana yang ada di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Hanya sekitar 40 menit jarak 15 KM dari Kraton Mataram Surakarta ke hutan Krendawahana ditempuh, semua peserta upacara menata barisan dikawal para prajurit menuju “punden” lokasi upacara.

MEMIMPIN DOA : Abdi-dalem juru-suranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro memimpin doa yang merangkum beberapa unsur dari Hindu, Budha yang ditutup dengan unsur Islam sebagai cirikhas upacara adat “Donga Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, berlangsung di Pendapa Sitinggil Lor, Senin (20/10) siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Perjalanan prosesi membawa uba-rampe upacara adat “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, yang dipandu Korsik Drumband Bregada Prajurit Tamtama dan sejumlah bregada prajurit lain tiba dalam lima menit. Karena, start prosesi menuju lokasi upacara “punden berundak” di Alas Krendawahana itu, hanya berjarak sekitar 200 meter. Semua uba-rampe ditata, dan RT Irawan Wijaya kembali memimpin “donga wilujengan”.

Donga Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung tidak selama doa-doa yang dikumandangkan saat berlangsung ritual khol memperingati berdirinya “nagari” Surakarta Hadiningrat 17 Sura 1670 yang dilengkapi, tahlil, dzikir, shalawat Sultanagungan dan syahadat Quresh. Donga wilujengan yang dulu dikenal untuk upacara “Sesaji Raja Wedha” itu, hanya lafal doa tiga unsur yang diakhiri secara Islam dalam Bahasa Jawa.

PROTOKOL PENGHORMATAN : Korsik Drumband Bregada Prajurit Tamtama melakukan protokol penghormatan kepada Gusti Moeng dan kerabat sentana yang meninggalkan tempat upacara “Donga Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, keluar dari “punden berundak” Alas Krendawahana, Gondangrejo, Senin (20/10) siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Begitu RT Irawan Wijaya selesai memimpin donga wilijengan, ganti Gusti Moeng naik ke “Punden Berundak” untuk bermeditasi dan berdoa. GKR Ayu Koes Indriyah juga tampak mengikuti di belakangnya, juga para kerabat sentana dan para abdi-dalem dari berbagai elemen, termasuk beberapa Ketua Pakasa cabang, Putri Narpa Wandawa dan Pasipamarta. Upacara di “punden-berundak” ini, diakhiri sesorah KP Siswantodiningrat.

Wakil Pengageng Sasana Wilapa, KP Siswantodiningrat tampil untuk meriwayatkan awal mula adanya upacara adat “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa lawung”. Dalam “sesorah” itu disebut, upacara adat Sesaji Mahesa Lawung dimulai pada zaman Kraton Demak yang menggelar ritual “Sesaji Raja Wedha” untuk menghindarkan dari wabah penyakit atau “pageblug”. Oleh Sinuhun PB II, namanya diganti Sesaji Mahesa Lawung.

Saat KP Siswantodiningrat “sesorah”, di sebelah lokasi “pisowanan” itu berlangsung upacara kecil untuk mengubur kepala kerbau yang diiringi dengan shalawat. Bersamaan itu, juga dilepas beberapa jenis binatang agar hidup bebas di alam liar hutan lindung Krendawahana. Misalnya ular, burung dan belalang dilepas, meskipun hutan lindung itu sebenarnya nyaris habis dan kini berubah menjadi hunian manusia.

Sekitar pukul 14.45 WIB, “sesorah” berakhir bersamaan dengan penguburan kepala kerbau yang menjadi sombol Sesaji Mahesa Lawung. Selain banyak yang bergegas meninggalkan tempat, tetapi Gusti Moeng tertahan untuk melayani wawancara dengan beberapa wartawan dari berbagai media. Pada kesempatan itu, Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA menjelaskan berbagai hal yang berkait dengan ritual Mahesa Lawung.

MELAYANI WAWANCARA : Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat) melayani wawancara yang dilakukan sejumlah wartawan dari berbagai media setelah memimpin upacara adat “Donga Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, di hutan lindung Krendawahana, Gondangrejo, Senin (20/10) siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Upacara adat Mahesa Lawung ini adalah wilujengan nagari yang dilakukan Kraton Mataram Surakarta rutin tiap tahun. Jadi, upaya kraton untuk memohon keselamatan bagi ‘nagari’. Karena kraton ini sebelum 1945 adalah ‘negara’. Dan upacara adat wilujengan nagari Sesaji Mahesa Lawung ini, sudah dilakukan sejak zaman Kraton Demak. Mataram Surakarta ini hanya melanjutkan saja apa yang dilakukan para leluhur”.

“Wilujengan nagari Mahesa Lawung yang dilakukan Kraton demak dan para leluhur Dinasti Mataram, sedikit berubah saat Sinuhun PB II (1727-1749) jumeneng nata. Yaitu dilakukan pada 100 hari setelah 17 Sura Tahun Je 1670 yaitu setelah berdirinya ‘nagari’ Mataram Surakarta. Namanya berganti Wilujengan Nagari Mahesa Lawung,” ujar Gusti Moeng menjawab pertanyaan wartawan di dekat “punden berundak”, siang tadi.

MEMBAWA UBA-RAMPE : KRAT Seviola Ananda Reksobudoyo (Ketua Pakasa Cabang Trenggalek-Jatim) dan rombongan langsung bergabung membawa uba-rampe upacara sejak di Pendapa Sitinggil Lor hingga memasuki lokasi upacara aterakhir, area hutan lindung Krendawahana, Gondangrejo, Senin (20/10) siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Gusti Moeng juga menjelaskan posisi kelembagaan Kraton Mataram Surakarta selaku penanggungjawab dan pelaksana upacara adat itu, saat ditanya wartawan soal upacara serupa yang dilakukan lembaga Sinuhun PB XIII, “sesi” pagi Senin (20/10) sebelum yang digelar Bebadan Kabinet 2004. Menurutnya, kraton punya lembaga pengelola yang sah dan resmi dibawah Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat (LDA).

Menurutnya, Kraton Mataram Surakarta sudah memiliki kelembagaan yang menjalankan semua upacara adat dan kegiatan pelestarian Budaya Jawa serta menjaga eksistensi kraton. Kelembagaan yang sah dan resmi secara hukum itu dijalankan Bebadan Kabinet 2004 dan LDA yang memayunginya, karena merupakan perwakilan semua trah. Seharusnya Sinuhun PB XIII berada di dalamnya, untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. (won-i1)