Pandangan Prof Dr Soeripto Tentang “Nilai Ke-Surakarta-an”, Dibukukan Ki Dr Purwadi

  • Post author:
  • Post published:September 16, 2025
  • Post category:Regional
  • Reading time:4 mins read
You are currently viewing Pandangan Prof Dr Soeripto Tentang “Nilai Ke-Surakarta-an”, Dibukukan Ki Dr Purwadi
UNTUK SASANA PUSTAKA : Ki Dr Purwadi mempersembahkan buku biogriafi berjudul "Babad Prof Dr Soeripto" (mantan Dekan fakultar Kedokteran UGM) yang dia susun, kepada GKR Wandansari Koes Moertiyah sebagai tambahan koleksi di Sasana Pustaka Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Dok)

Cucu Empu Keris di Nganjuk (Jatim), Sukses Sebagai Intelektual Kampus UGM

JOGJA, iMNews.id – Banyak intelektual kampus pensiunan dosen dan guru besar UGM (Jogja), ternyata banyak memperhatikan “arah pandang” yang selama ini terkesan tertutup “kabut gelap”. Di balik nilai-nilai “Kejogjakartaan” yang belakangan banyak didengungkan, justru muncul nilai-nilai “Ke-Surakarta-an”. Ini sangat bisa dimaklumi, karena nilai-nilai piwulang luhur banyak berasal dari para Pujangga Surakarta.

Nilai-nilai yang selama ini dijadikan kata bijak dalam Bahasa Jawa (Sastra Jawa), ternyata bersumber dari “Serat Wulangreh” (Sinuhun PB IV), Serat Centhini (Sinuhun PB V), “Serat Wedhatama” (KGPAA MN IV) dan sebagainya. Selain diadopsi sebagai bahan ajar di jurusan Sastra Daerah (Jawa) berbagai universitas, nilai-nilai karya beberapa Pujangga Jawa Surakarta itu juga akan diklaim sebagai produk “peradabannya”.

SESUDAH BERDISKUSI : Tiga profesor mantan guru besar di UGM, termasuk Prof Dr Soeripto, berfoto bersama Ki Dr Purwadi dan Aditya Jatmiko (UGM) selaku MC, mengakhiri diskusi bedah buku biografi “Babad Prof Dr Soeripto” yang digelar di Jln. Plemburan, Sleman, DIY, Sabtu (13/9). (foto : iMNews.id/Dok)

“Maka, saya setuju dengan gagasan para tokoh mantan guru besar di UGM itu. Intinya, ada ketertarikan untuk menjernihkan cara pandang ke arah yang tepat secara proporsional. Di sini, nilai-nilai kejujuran dan kelugasan para tokoh intelektual kampus itu, sangat kami hormati dan kami junjung tinggi. Karena, memang begitulah adanya. Faktanya memang begitu,” ujar Ki Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat di Jogja).

Dalang “semi-pro” Ki Dr Purwadi yang dimintai konfirmasi iMNews.id, Selasa (16/9) siang tadi lebih lanjut menyatakan, ketertarikan para tokoh mantan intelektual kampus UGM untuk mencermati nilai-nilai “Kesurakartaan” itu, sudah maju selangkah lagi. Dimulai dari “deklarasi” kesamaan pandangan dan kesepakatan melalui pentas wayang kulit lakon “Ramayana”, berlanjut dengan penyusunan buku biografi.

“TIGA SERANGKAI” : Tiga profesor yang salah satunya menjadi objek penulisan biografi berjudul “Babad Prof Dr Soeripto (tengah), saat bersama-sama menunggu dimulainya sarasehan dan pentas wayang lakon “Ramayana” yang digelar warga Kentungan (Jogja) menyambut “17-an”, Agustus lalu. (foto : iMNews.id/Dok)

Dalam suasana peringatan “17-an”, pentas wayang kulit digelar warga Kentungan (Jogja) dan disajikan Ki Dr Purwadi itu, semangat ketiga intelektual kampus itu dideklarasikan. Berikutnya, berlanjut dengan penyusunan buku biografi yang menampung pandangan Prof Dr Soeripto tentang nilai-nilai “Kesurakarataan” itu. Salah satu pandangan yang sama dan disepakati itu, bahwa Majapahit berlanjut sampai Surakarta.

Penulisan buku berjudul “Babad Prof Dr Soeripto”, dilakukan oleh dalang “Semi Pro” untuk wilayah “dagangan pertunjukan wayang kulit”. Tetapi, karya dalang “Pro 100%” untuk sajian pentas wayang klasik penuh etika dan estetika itu, sudah dibedah dalam sebuah diskusi yang digelar di Sleman, Sabtu (13/9). Diskusi bedah buku itu, menghadirkan tiga narasumber, salah satunya tokoh intelektual yang ditulis.

MENJADI PENYAJI : Dalang “semi-pro” Ki Dr Purwadi menyadi penyaji dalam pentas wayang kulit klasik konvensional untuk memeriahkan suasana “17-an” yang digelar warga Kentungan (Jogja) menyambut “17-an”, Agustus lalu. Dia menerima tokoh Prabu Rama dari Prof Dr Hardiyanto untuk memulai pentas. (foto : iMNews.id/Dok)

Narasumber yang ditulis biografinya itu, adalah Prof Dr Soeripto, mantan Dosen Fakultas Kedokteran UGM. Dia adalah kelahiran Mojorembun, Kabupaten Nganjuk sekitar 82 tahun lalu. Yang menarik, profesor itu adalah cucu Empu Mayagati, pemilik besalen keris terkenal di Kabupaten Nganjuk. Besalen keris itu masih dilanjutkan trah-keturunan yang mengelola usaha pembuatan keris di Ngadiboyo, Rejoso, Nganjuk.

“Jadi, beliau (Prof Dr Soeripto) itu keturunan Empu Mayagati. Ahli pembuatan keris itu abdi-dalem kraton, seperti yang dituturkan Prof Soeripto. Dan guru besar Fakultas Kedokteran UGM itu menegaskan, bahwa Majapahit, Pengging, Demak, Pajang, Mataram, (Mataram Kartasura) dan Mataram Surakarta itu satu rangkaian urutan yang berkaitan. Rangkaian berkelanjutan itu berhenti di Surakarta,” tutur Dr Purwadi.

MELALUI WAYANGAN : Melalui pentas wayang kulit atau “wayangan”, Ki Dr Purwadi ikut berupaya memberi pemahaman nilai-nilai “Kesurakartaan” kepada publik secara luas, saat diundang pentas di mana-mana. Khusus di Jogja, intensitas pemahaman lebih ditingkatkan agar publik tidak mendapatkan informasi sesat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari pandangan Prof Dr Soeripto dan kajian Dr Purwadi, pada umumnya guru besar UGM punya garis keturunan dengan leluhur Kraton Mataram Surakarta. Seperti Prof Dr Panut Mulyono, mantan rektor UGM itu, adalah trah Hanggawangsa (Honggowongso-Red). Seorang tokoh yang hingga kini hanya dikenal sebagai nama jalan, termasuk di Kota Surakarta, ternyata adalah salah satu arsitek pembangunan Kraton Mataram Surakarta.

Prof Dr Panut Mulyono, menjadi narasumber kedua dalam diskusi “Bedah Buku” biografi Prof Dr Soeripto itu. Dia adalah trah Pangeran Gayam, seorang Pujangga dari Kraton Pajang (abad 16) yang juga leluhur RT Honggowongso. Tokoh ini dipercaya menjadi Bupati Kebumen dengan gelar Adipati Arumbinang. Narasumber berikutnya Prof Dr Hardiyanto, trah Kyai RNg Jasadipura, dan diantar Aditya Jatmiko (UGM) selaku MC. (won-i1)