“Keren” Akan Segera Dibongkar, Sisa Material yang Digunakan Akan Dilabuh
SURAKARTA, iMNews.id – Seluruh rangkaian tatacara upacara adat “adang” atau “mbethak” di Tahun Dal 1959 yang digelar Bebadan Kabinet 2004 Kraton mataram Surakartaini, berakhir pada Selasa Wage (9/9) siang tadi. Tatacara terakhir itu, berupa jamasan “dandang” Kiai Dhudha dan tiga “pendhereknya” di samping Pawon Gandarasan, dan setelah kering di “ruang pusaka”, dikembalikan ke tempat penyimpanan “Kraton Kulon”.
“Jadi, setelah selesai dipakai untuk ‘adang’, ‘dandang’ Kiai Dhudha dan tiga ‘pendhereknya’ dijamasi (dibersihkan) lagi. Mirip kegiatan dalam keluarga kita. Setelah selesai memasak, termasuk menanak nasi, peralatan yang digunakan ‘diisahi’ dan dikembalikan ke tempatnya. Kalau di kraton, baik saat mau menggunakan maupun mengembalikan, ada prosesinya. Saat ‘diisahi’ (jamasan)-pun juga ada tatacaranya”.

“Setelah semua rangkaian tatacaranya selesai, keren yang habis digunakan untuk upacara ‘adang’ akan dibongkar. Bongkaran dan sisa materi yang sudah digunakan, akan dilabuh ke segara kidul di Pantai Parangkusuma. Di Pawon Gandarasan harus bersih kembali, tidak boleh ada material yang tersisa. Soal waktunya kapan, menunggu saat yang tepat,” ujar KRMH Suryo Kusumo Wibowo menjawab pertanyaan iMNews.id.
Di sela-sela ikut terlibat menjalankan ritual jamasan siang tadi, Wakil Pengageng Sasana Prabu itu lebih lanjut menjelasakan kepada iMNews.id, rangkaian panjang tatacara upacara adat “adang” di tahun Dal itu itu, semuanya dijalankan lengkap dan urut sejak Tahun Dal 2017, 2009 dan 2001. KGPH Puger menegaskan, kalau ada sesuatu yang tidak sempurna dair proses ritual itu, berarti ada gangguan teknis dan nonteknis.

KGPH Puger (Pengageng Kusuma Wandawa dan Pengageng Sasana Pustaka) tidak hadir pada ritual “jamasan” yang dimulai pukul 10.00 WIB hingga selesai, Selasa Wage (9/9) ini. Tetapi putra sulungnya (KRMH Suryo Kusumo Wibowo), KGPH Hangabehi, KPH Bimo Djoyo Adilogo dan KRMH Suryo Manikmoyo mendapat tugas ikut “isah-isah” atau jamasan “dandang” Kiai Dhudha dan tiga jenis “dandang” lain “pendhereknya”.
Secara bergantian dari KGPH Hangabehi atau bersamaan dengan beberapa “wayah-dalem” Sinuhun PB XII lain seperti GKR Timoer Rumbai Kusumo Dewayani, GRAy Ratih dan beberapa abdi-dalem, dipimpin Gusti Moeng melakukan jamasan terhadap “dandang” yang dimulai dari “Kiai Dhdudha”. Shalawat Nabi dikumandangkan saat “Kiai Dhdudha” dikeluarkan dari “Pawon Gandarasan” ke tempat jamasan, di balik dinding tembok dapur itu.

Gusti Moeng berperan aktif menggosok dinding bagian dalam dan luar “dandang” Kiai Dhudha, bergantian dan bersama-sama KGPH Hangabehi dan GKR Timoer. Sementara, dua abdi-dalem Keparak duduk bersila berhadapan di atas bangku, menahan “dandang” yang diguyur air kembang setaman lalu digosok dengan spon kasar. Gosokan sampai merata dan guyuran air berulang-ulang dari abdi-dalem dan wayah-dalem, hingga bersih.
Secara bergantian, menggosok “angus” (noda hitam asap) dan menuangkan air dari “siwur” (gayung bathok) dilakukan KGPH Hangabehi, KPH Bimo Djoyo, KRMH Suryo Manikmoyo dan KRMH Suryo Kusumo mengikuti arahan Gusti Moeng yang memimpin upacara. Sementara, para sentana darah-dalem jajaran Bebadan Kabinet 2004, ikut mengawal dan menyaksikan tahap akhir ritual “adang” Tahun Dal 1959 berupa jamasan, siang tadi.

Sampai empat jenis “dandang” di antaranya Kiai Dhudha, Nyai Rejeki dan Kiai Tambur selesai dijamasi sekitar 2 jam, rangkaian tatacara ini dihentikan saat shalat Dhuhur. Setelah semua selesai menjalankan “isoma” sejenak, ritual berlanjut dengan prosesi “ngonduraken” Kiai Dhdudha dan tiga pendhereknya ke tempat penyimpanan semula di kompleks Kraton Kulon. Prosesi diiringi Shalawat Nabi oleh 18 abdi-dalem.
Ada 18 “abdi-dalem ulama” gabungan dari juru-suranata di Kraton Mataram Surakarta dan dari Astana Pajimatan Imogiri dan Kutha Gedhe, mendukung doa dan shalawat dalam ritual dan prosesi “ngonduraken dandang”. Rute prosesi dari Pawon Gandarasan melewati pintu dapur yang tembus ke halaman kompleks Museum Kraton dan tembus ke halaman Sasana Sewaka ujung selatan, yang terhubung ke jalan menuju Kraton Kulon.

Peristiwa budaya 8 tahun atau sewindu sekali yang terjadi di Kraton Mataram Surakarta ini, sungguh langka sehingga kurang populer atau dikenal masyarakat luas seperti sejumlah jenis ritual lain, misalnya Sekaten Garebeg Mulud, karena digelar tiap tahun sampai ke luar kraton. Sedangkan inti ritual “adang” Tahun Dal dengan semua tahapan tatacara adat itu, berlangsung terbatas dan tertutup di dalam kraton.
Dalam rangkaian ritual “adang” yang awalnya beriringan dengan puncak Sekaten Garebeg Mulud 2025, juga dihadiri elemen masyarakat adat Pakasa cabang. Sejak prosesi Gunungan, donga wilujengan, tahlil dan dzikir hingga pisowanan “ngalab berkah” nasi “dang-dangan” Kiai Dhudha, tampak Pakasa Cabang Ponorogo, Jepara, Kudus, Grobogan, Pati, Kota Bekasi, Trenggalek, Malang Raya dan sebagainya. (won-i1)