Untuk Mendoakan Sampai Proses “Adang”, Para Abdi-dalem Harus “Menginap” di Kraton
SURAKARTA, iMNews.id – Jenis upacara adat yang sangat langka khususnya bagi Kraton Mataram Surakarta sebagai penerus Mataram Islam yang dirintis Sinuhun Panembahan Senapati, digelar di “Kraton Kulon” Jumat malam (5/9). Ada 45 abdi-dalem ulama termasuk 30-an abdi-dalem Juru-Kunci dari Astana Pajimatan Imogiri dan Kutha Gedhe, mengucap doa, tahlil dan dzikir sebagai awal rangkaian tatacara ritual “adang”.
Upacara adat “adang” di Tahun Dal kalender Jawa yang kini jatuh Tahun 1959, digelar jajaran “Bebadan Kabinet 2004” dalam rangkaian tatacara yang panjang. Untuk upacara adat “adang sega” atau menanak nasi dengan “dandang Kiai Dhudha” itu, hanya digelar Kraton Mataram Surakarta dalam kurun waktu 8 tahun atau “sewindu” sekali. Ritual “adang” kali ini, benar-benar dicermati agar sesuai dengan paugeran adat.

Karena jenis upacara adat sangat langka yang hanya digelar 8 tahun sekali, maka jenis ritual yang hanya ada Kraton Mataram Surakarta ini termasuk “sangat tidak populer”. Nyaris tak dikenal publik secara luas, bahkan awam bagi sebagian masyarakat adat sendiri. Padahal, ritual ini meneruskan tradisi Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma sebagai pendiri Mataram Islam, bahkan Panembahan Senapati sebagai perintisnya.
Sinuhun Panembahan Senapati sebagai perintis Mataram Islam, mewarisi tradisi ini dari leluhurnya Ki Ageng Tarub dari tatacaranya saat menggelar hajad “mantu” putrinya, Dewi Nawangsih. Selain diawali dengan ritual “adang sepisan”, juga ditandai dengan membuat “bleketepe” dan memasang “ruwuhan” berbagai jenis dedaunan di kanan kiri pintu masuk rumah, yang semuanya menjadi simbol doa panyuwunan.

Ritual “adang”, terakhir digelar Sinuhun PB XII pada tahun 2001 atau sekitar 3 tahun sebelum “Sinuhun Amardika” (1945-2004) itu wafat. Ritual serupa berikutnya, digelar di tahun 2009, saat putra tertuanya menggantikan tahta sebagai Sinuhun PB XIII hingga kini. Ritual “adang Tahun Dal” 2009, disebut Gusti Moeng masih sesuai paugeran adat penuh, karena di bawah pengawasannya selaku Pengageng Sasana Wilapa.
Namun, “ritual adang” Tahun Dal pada sewindu kemudian yaitu tahun 2017, menurut Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) itu, dilakukan secara serampangan yang secera keseluruhan tidak mengikuti paugeran adat yang ada. Sebab itu Gusti Moeng menegaskan, penyimpangan dalam upacara adat itu tak hanya membuat kraton terpuruk, tapi berpengaruh pada situasi dan kondisi umum hingga kini.

Berkaca dari ritual di tahun 2017 yang waktunya tidak jauh dari peristiwa “insiden mirip operasi militer (April) 2017”, pelaksanaan upacara adat “adang” di Tahun Dal 1959 berusaha dijalankan sepenuhnya sesuai paugeran adat. Tahapan dan tatacaranya dilakukan secara urut, termasuk uba-rampe baku yang diperlukan dalam tiap tatacara adat itu, terutama gelar “donga wilujengan” yang sepantasnya.
Karena rangkaian upacara adat “adang” di Tahun Dal ini cukup panjang, maka Gusti Moeng memulainya di saat tepat sesuai tahapan tatacaranya, yang diawali wilujengan sebelum memulai mengumpulkan uba-rampe baku. Yaitu mengumpulkan unsur tanah dan air sebagai materi pembuat “keren” tungku, dari sejumlah mata air tertentu dan unsur tanah-pun diambil dari lokasi tertentu, seperti Masjid Demak dan makam Ki Ageng Sela.

Selesai mengumpulkan bahan-bahan makunya, termasuk potongan kayu bakar sebagai sumber energi menanak nasi “adang”, dilanjutkan dengan membuat “keren”. Bersamaan persiapan di Pawon Gandarasan itu, padi Raja Lele yang akan dimasak-pun didapat dan ditumbuk secara tradisional (ditutu) dengan “lesung” di Pawon Gandarasan. tatacara berikutnya, semalam digelar wilujengan untuk mengeluarkan “dandang” Kiai Dhudha.
Dimulai pukul 20.00 WIB Jumat malam (5/9), doa, tahlil dan dzikir dipimpin abdi-dalem juru-suranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro dimulai. Sekitar 45 orang dari abdi-dalem ulama kraton dan abdi-dalem juru-kunci Astana Pajimatan Imogiri dan Kutha Gedhe dilibatkan untuk mendukung wilujengan. Ratusan sentna-dalem jajaran Bebadan Kabinet 2004 dan beberapa elemen, ikut mendukung doa di pendapa “Kraton Kulon”.

Sekitar pukul 22.00 WIB donga wilujengan untuk “miyosaken dandang Kiai Dhudha” baru selesai, karena harus menunggu uba-rampe wilujengan dan dijeda trafo jaringan listrik rusak hingga listrik padam sekitar 30-an menit. Gusti Moeng menjadi pemegang otoritas pelaksanaan upacara adat semalam, yang ditandai dengan permintaan semua abd-dalem yang menggelar donga wilujengan untuk “menginap” di kraton.
Upacara adat berlanjut Sabtu pagi (6/9) tadi mulai pukul 08.30 WIB. Semua abdi-dalem ulama dan juru-kunci kembali menggelar donga, dzikir dan tahlil di depan ruang penyimpan “dandang” Kiai Dhdudha. Setelah itu, “dandang” dikeluarkan dan diarak menuju Pawon Gandarasan. Di sana, “dandang” dijamasi dan diiringi doa dan tahlil para abdi-dalem ulama di luar Pawon Gandarasan hingga pukul 12.00 WIB. (won-i1)