Pentas Seni “Sekaten Art Festival 2025”, Memberi Pemahaman Aset Seni Kraton

  • Post author:
  • Post published:September 2, 2025
  • Post category:Regional
  • Reading time:4 mins read
You are currently viewing Pentas Seni “Sekaten Art Festival 2025”, Memberi Pemahaman Aset Seni Kraton
"JALAK LAWU" : Spesies burung "Jalak (khas Gunung) Lawu" yang kini sudah tak diketahui wujudnya, ternyata gerak dan warna khasnya sudah diabadikan dalam karya yang diberi nama tari "Jalak Lawu". Tarian itu disajikan sebuah sanggar dari Kabupaten Magetan di ajang Sekaten Art Festival, Senin (1/9) malam. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Warga Tawangmangu (Karanganyar) Baru Tahu di Kraton Ada Tari “Srimpi Lobong”

SURAKARTA, iMNews.id – Pentas seni tari “Sekaten Art Festival 2025” malam keempat digelar di Pendapa Sitinggil Lor Kraton Mataram Surakarta, Senin (1/9). Pentas ini termasuk baru beberapa kali disajikan di sela-sela upacara adat hajad-dalem Sekaten Garebeg Mulud mulai menjelang 2017. Karena sejak Bebadan Kabinet 2004 berdiri, agenda pentas tari digelar untuk menandai ritual tingalan jumenengan.

Seperti diketahui, agenda pentas tari yang diinisiasi dan dikelola GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta, semula dimaksudkan untuk menandai dan menyemarakkan ritual tingalan jumenengan Sinuhun PB XIII, mulai 2004. Namun setelah Sinuhun memilih “jalannya sendiri”, agenda pentas tari dipindah ke acara ritual Sekaten.

“KELANA RAJA” : Siswa baru di SMA St Yosef yang memerankan tari “Kelana Raja” ini, termasuk menarik perhatian penonton dan publik secara luas. Karena, penari itu mengaku warga Jogja dan belajar menari di tempat asalnya. Sejauh ini, Kraton Surakarta punya tafsir sendiri atas kisah di Kraton Kediri itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pemindahan agenda pentas tari untuk menambah bobot upacara adat Sekaten Garebeg Mulud yang pelan-pelan menemukan menemukan format ideal antara kebutuhan spiritual religi yang dipancarkan kagungan-dalem Masjid Agung dan unsur apiritual kebatinan yang disajikan dari panggung seni tari. Meskipun, dari keramaian pasar malam, juga tersaji barang-barang dagangan yang punya nilai edukasi makna filosofi.

Dari perjalanan situasi dan kondisi yang diikuti iMNews.id sejak 1985, periode ritual Sekaten Garebeg Mulud jauh sebelum 2017 kraton pernah menyajikan pertunjukan seni pedalangan di kompleks Pendapa Sitinggil Lor dan Pendapa Sitinggil Kidul. Namun, situasi dan kondisi kraton yang mulai kurang kondusif akibat friksi tahun 2004 dan muncul kembali menjelang 2017, terpaksa meniadakan pentas wayang kulit.

PUNYA KOLEKSI MENARIK : Sanggar Sekar Kencana (Tawangmangu) yang “memborong” waktu sajian pentas “Sekaten Art Festival 2025” dengan 6 judul tari itu, ternyata punya koleksi karya tari kreasi baru yang menarik. Di antaranya, sajian tari “Sekar Puri” yang rata-rata diperagakan penari dewasa dan serius.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Begitu memasuki “ontran-ontran” lanjutan pada periode 2017 berupa “insiden mirip operasi militer”, di sela-sela Sekaten Garebeg Mulud diisi pentas seni “Sekaten Art Festival” yang dikelola dan diinisiasi Gusti Moeng, walau berada di luar kraton. Seterusnya, agenda kegiatan itu berjalan rutin tiap tahun, termasuk di saat pandemi Corona, yang berlanjut hingga ritual “Sekaten Garebeg Mulud 2025” ini.

Dalam dinamika situasi dan kondisi secara umum maupun secara khusus yang terjadi di Kraton Mataram Surakarta, iMNews.id mencatat banyak hal yang menguntungkan sekaligus merugikan, baik bagi masyarakat adat kraton maupun publik secara luas. Salah kerugiannya, baru diketahui secara jelas dari arena pentas di malam keempat “Sekaten Art Festival” di Pendapa Sitinggil Lor, Senin (1/9) semalam.

“GEYOL DENOK” : Tari “Geyol Denok” juga sajian Sanggar Sekar Kencana (Tawangmangu) yang cukup menghibur penonton. Inilah salah satu unsur hiburan ringan bagi para pengunjung ritual Sekaten Garebeg Mulud, dari nilai-nilai adukasi ideal lain yang ditampilkan seluruh rangkaian ritual khas Mataram Surakarta itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di antara rombongan warga dari Tawangmangu (Karanganyar) yang terdiri dari anggota sanggar tari, kalangan orangtua penari dan para supporternya, memberi pernyataan yang cukup mengejutkan saat ditanya seorang pemandu acara pentas (MC), semalam. Wanita berusia 50-an yang mengaku anggota rombongan supporter itu menegaskan, dirinya baru sekali itu menyaksikan tari “Srimpi Lobong”, milik kraton.

Wanita itu sedikit berkisah saat ditanya bagaimana kesan-kesannya menyaksikan pentas seni “Sekaten Art Festival”?. Dia menjawab, senang sekali karena baru sekali itu dirinya menyaksikan sajian tari “Srimpi Lobong” yang menurutnya sangat beda dengan sajian tari lainnya. Menurutnya, tarian itu membuat suasana hening dan membuat dirinya “merinding” karena terbawa oleh suasana saat karya PB VIII itu disajikan.

SRIMPI LOBONG : Tari “Srimpi Lobong” aset lembaga Kraton Mataram Surakarta yang sedang dicatatkan sebagai karya HAKI di Ditjen Perlindungan Kemenbud ini, memang memiliki kekuatan daya tarik lebih dari berbagai sajian tari lain di event “Sekaten Art Festival 2025”. Sosialisasinya perlu ditingkatkan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Semalam, tari “Srimpi Lobong” disajikan di urutan tengah oleh Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta. Tarian yang diperagakan 4 penari itu tersaji sangat indah, penuh estetika dan etika, yang membuat benar-benar beda dengan 9 judul/repertoar tari berbagai jenis sajian sanggar-sanggar peserta pentas. Walau hanya 20 menit, tetapi wibawanya bisa “menghipnotis” 200-an penonton yang hanya bisa diam.

Terlepas akibat kelemahan sisi publikasi dan edukasi banyak pihak atas kisah yang dialami wanita di atas, pentas malam keempatyang diisi Sanggar Sekar Kencana (Tawangmangu), Dan Dance Studio, RNR Studio Pruduction, SMA St Yosef, sanggar tari dari Kabupaten Magetan dan kraton, semalam sukses dan menghibur. Pentas akan berlanjut di malam kelima, Selasa malam (2/9) nanti, mulai pukul 19.30 WIB. (won-i1)